Kepala BRIN Sebut Pengembangan Vaksin Corona di RI Terkendala Fasilitas

18 Agustus 2021 16:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengungkapkan pengembangan vaksin dalam negeri masih terkendala sejumlah hal.
ADVERTISEMENT
Salah satunya berkaitan dengan fasilitas Good Manufacturing Practice (GMP) untuk menghasilkan produk berstandar uji praklinis dan uji klinis. Menurut Handoko, sejauh ini belum ada alat produksi GMP yang sudah terstandar dan tersertifikasi.
"Khususnya bagaimana kita bisa menyediakan mini untuk produksi terbatas mini GMP. Karena ini perlu untuk apa? Untuk menghasilkan produk yang terstandar, untuk diuji, jadi ini baru diuji praklinis maupun uji klinisnya. Karena untuk melakukan uji obat, vaksin, dan imunomodulator itu harus terstandar. Tapi alat produksinya itu enggak ada," jelas Handoko dalam Webinar Kemerdekaan: Riset untuk Merah Putih dilihat dari YouTube LIPI, Selasa (18/8).
Ia menjelaskan, sebagian industri farmasi di Indonesia sudah memiliki GMP, tapi belum semuanya bersertifikasi dan terstandar. GMP yang digunakan juga hanya untuk dua platform saja, yakni inactivated virus dan protein rekombinan.
ADVERTISEMENT
Kendala ini jugalah yang terjadi dalam pengembangan vaksin corona Merah Putih oleh enam lembaga, termasuk di antaranya LIPI. Sebab, alat GMP untuk memproduksi vaksin kini hanya dimiliki oleh PT Bio Farma.
Handoko menyebutkan, bisa saja alat GMP itu dipinjam untuk pengembangan vaksin. Namun, harus ada proses pembersihan, pengaturan ulang, dan disertifikasi kembali. Proses tersebut bisa memakan waktu hingga 4 bulan lamanya.
Melihat proses produksi vaksin corona di Gedung 43 Bio Farma Bandung, Jawa Barat. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
"Artinya kalau ini alatnya, misalnya production lainnya Bio Farma oke, kita pinjamkan dulu untuk vaksin Merah Putih. Harus di-cleansing, processing, reprocessing, dibersihkan, dan lainnya, disertifikasi ulang," tuturnya.
"3-4 bulan habis itu waktu sehingga praktis kita mengokupasi 3-4 bulan production lain Bio Farma, itu tentu problem besar," imbuh dia.
Dari masalah inilah, BRIN mulai tahun ini berencana bakal menyediakan GMP agar bisa dipakai bergantian oleh lembaga-lembaga lain untuk pengembangan dan riset vaksin, obat, suplemen, dan lainnya.
ADVERTISEMENT

BRIN Ungkap Indonesia Tak Punya BSL-3 untuk Primata

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Tak hanya itu, Handoko menyampaikan Indonesia sebenarnya telah memiliki fasilitas Animal Bio Safety Level 3 (BSL-3) untuk primata. Saat ini, fasilitas BSL-3 untuk primata sudah tersedia di Cibinong, Bogor.
Namun, di sisi lain, Indonesia belum siap sepenuhnya dengan fasilitas BSL-3 untuk primata tersebut, begitu juga harus dibangun untuk kapasitas yang lebih besar.
Seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) duduk di dahan pohon. Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
"Karena makaka (sejenis monyet) besar dan animal BSL-3 harus jauh lebih besar. Kita baru tahu belum ada yang siap [dengan] animal BSL-3 untuk primata di negara kita. Jadi itu pun akan kita bangun aja yang sekelas bisa 30-40 ekor di Cibinong," ungkap Handoko.
"Kenapa di Cibinong? Karena teman-teman zoologi untuk me-manage, handle animal BSL-3 primata harus ada dokter hewan yang tersertifikasi, teman zoologi. Kebetulan di sana ada bangunan gedung yang bisa dialihfungsikan sehingga investasi bisa seminimal mungkin. Meskipun tidak bisa selesai tahun ini, setidaknya kuartal I tahun depan, tetapi pokoknya kita sediakan," tutup dia.
ADVERTISEMENT