Kepala Eijkman: Penggunaan Sel Dendritik Butuh Biaya Sangat Tinggi

17 April 2021 16:30 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio. Foto: Youtube/@DPMPTSP DKI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio. Foto: Youtube/@DPMPTSP DKI Jakarta
ADVERTISEMENT
Vaksin Nusantara yang digagas eks Menkes Terawan Agus Putranto menggunakan metode pendekatan sel dendritik dalam pengembangannya. Hal ini berbeda dengan vaksin-vaksin yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengaku tidak mengetahui biaya yang diperlukan dalam metode itu. Namun, metode sel dendritik untuk pengobatan kanker disebut membutuhkan biaya cukup tinggi.
"Saya tidak punya data soal biaya (vaksin Nusantara). Hanya, untuk kanker itu biayanya cukup tinggi, karena terapi jadi sangat tinggi," kata Profesor Amin dalam diskusi MNC Trijaya bertajuk 'Siapa Suka Vaksin Nusantara', Sabtu (17/4).
Infografik serba-serbi vaksin Nusantara Terawan. Foto: kumparan
Prof Amin mengatakan vaksin yang menggunakan sel dendritik bersifat individual. Namun, kata dia, vaksin dengan metode itu dapat diberikan secara massal meski tetap harus diperlakukan secara individual.
"Sesuai dengan namanya, vaksin dendritik, saya tidak bicara vaksin Nusantara, tapi vaksin dendritik itu adalah sifatnya individual. Hanya bisa diberikan kepada orang yang sama, yang jadi sumber sel dendritik itu," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Tentu bisa dilakukan dengan orang banyak, tapi masing-masing orang harus diproses sendiri. Kalau polanya (massal) bisa dilakukan, terhadap banyak orang bisa dilakukan, tapi masing-masing harus diperlakukan secara individual," jelas Prof Amin.
Lebih lanjut, Prof Amin menuturkan jika pengembangan vaksin mengacu pada kaidah ilmiah yang disepakati, maka tak akan menimbulkan polemik.
"Kalau kembali ke kasus ini, sebetulnya kalau para peneliti dan BPOM juga badan lain yang mau ikut menilai mengacu pada dokumen yang sama, yaitu protokol penelitian yang sudah disepakati dan disetujui, itu yang dijadikan pedoman semuanya," ucap dia.
"Karena saya melihat masih ada beberapa hint inkonsistensi terhadap protokol yang disepakati. Mungkin hulunya dari situ, artinya ketika kita menyiapkan dokumen awal yang harus dipegang bersama, itu yang harus dijadikan acuan," tutup Prof Amin.
ADVERTISEMENT
****
Saksikan video menarik di bawah ini: