COVER KONTEN SPESIAL: Retak Keluarga Karena Pilpres

Ketika Hoaks Politik Membuat Panas Ruang Keluarga

13 Juni 2019 9:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
COVER KONTEN SPESIAL: Retak Keluarga Karena Pilpres Foto: Argy Pradypta / kumparan
zoom-in-whitePerbesar
COVER KONTEN SPESIAL: Retak Keluarga Karena Pilpres Foto: Argy Pradypta / kumparan
ADVERTISEMENT
Keasyikan Tatik (23)—bukan nama sebenarnya—menyaksikan pertandingan bulu tangkis ganda putra Indonesia Master 2019, Januari lalu, terusik. Ibunya tiba-tiba melempar obrolan soal etnis salah satu calon presiden yang berlaga di Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Heran dengan bahasan mendadak itu, Tatik menyela, “Dapet info dari mana?” Alih-alih mendapat jawaban, sang Ibu malah memarahinya karena tersinggung pertanyaan itu. Situasi semakin panas ketika ayah Tatik tiba-tiba nimbrung.
Ayahnya meraih ponselnya dan menunjukan sebuah foto yang beredar melalui aplikasi pesan instan. Gambar itu menyudutkan salah satu calon presiden.
“Ya udah, iya-iya aja. Akhirnya daripada makin panas saya pergi meninggalkan situasi itu,” ungkap Tatik, berbincang dengan kumparan, Selasa (11/6).
Penasaran dengan kebenaran foto itu, Tatik mencari informasi di internet. Penelusurannya sampai pada satu kesimpulan bahwa foto tersebut adalah hoaks. Temuannya disampaikan kepada sang ayah yang menanggapinya datar.
Konten Spesial: Retak Keluarga Karena Pilpres. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Sejak itu, hubungan Tatik dengan kedua orang tuanya berjarak. Ia memilih menghindari perbincangan politik dengan keluarganya. Terlebih, ia satu-satunya orang yang punya pilihan capres dan cawapres berbeda di antara anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
“Kebetulan orang tua agak susah kalau dibilangin masalah teknologi gitu. Karena itu yang dia dapat dari TV dan Whatsapp saja jadi dia enggak punya pembanding lain,” Tatik menjelaskan dilema yang dihadapinya.
Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), menemukan banyak kasus serupa yang dialami Tatik.
“Perselisihan di antara keluarga akibat hoaks sudah lama (terjadi), menjelang pemilu 2019 dan setelahnya juga mungkin termasuk tingkat yang paling tinggi,” katanya.
Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Fenomena itu tak lepas dari maraknya hoaks bernuansa politik. Mafindo menginventarisasi, sepanjang Juli-Desember 2018 ada 506 hoaks beredar di masyarakat. 260 di antaranya, atau 51 persen, dikategorikan hoaks politik.
Sementara, pada masa pemantauan Januari-Maret 2019 didapati 207 hoaks politik. Jumlah itu 65 persen dari total hoaks yang beredar dalam periode yang sama. Ada tiga entitas yang menjadi sasaran hoaks, yakni Komisi Pemilihan Umum (36 hoaks), kubu pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin (80), dan Prabowo-Sandiaga Uno (43).
ADVERTISEMENT
Tren peningkatan itu juga tergambar dari temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemenkominfo mencatat 1.224 hoaks beredar sepanjang Agustus 2018 hingga Maret 2019. Tiap bulan jumlahnya cenderung meningkat.
Seperempatnya atau 453 di antaranya tersebar ke masyarakat pada Maret 2019, sebulan jelang pencoblosan suara. Dari angka itu, 130 dikategorikan hoaks politik.
Septiaji mengungkapkan, kebanyakan hoaks beredar melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter. Pola yang sama juga sudah terjadi saat Pemilu 2014. Hoaks inilah yang punya andil mengeraskan fanatisme para pemilih.
“Media sosial, itu ada algoritma yang menyebabkan kita lebih banyak terpapar oleh informasi yang kita sukai dan kita jarang mendapatkan informasi yang tidak kita sukai,” ungkap Septiaji.
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto. Foto: AFP/Juni Kriswanto
Algoritma itu membuat pengguna cenderung mendapat informasi yang homogen. Tetapi, yang tak kalah mengkhawatirkan adalah pergeseran penggunaan aplikasi pesan instan, seperti WhatsApp dan Telegram dalam penyebaran hoaks.
ADVERTISEMENT
Mafindo mendapati, 10 persen hoaks disebarkan melalui aplikasi pesan instan. Namun angka pastinya diprediksi bisa jauh lebih besar lagi. Pasalnya, lalu lintas penyebaran informasi melalui aplikasi tersebut tidak bisa dimonitor. Itu sebabnya, aplikasi pesan instan kerap disebut sebagai dark social.
“Karena dia sifatnya privat sehingga tidak semua orang bisa tahu secara persis apa yang terjadi di sana,” kata Septiaji. "justru yang kita khawatirkan terbentuknya perilaku fanatisme itu bisa jadi lebih kuat daripada di media sosial itu sendiri."
Lantas kenapa hoaks dengan mudah diterima sebagian orang sebagai kebenaran? Ahli psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menilai setiap orang cenderung punya bias konfirmasi. Ia hanya akan menerima suatu informasi yang sesuai dengan keyakinan yang sudah ada dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
“Makanya dia pilih-pilih (informasi) yang akan memperkuat keyakinannya. Bahkan hoaks pun dia mau percaya,” papar Hamdi.
Hamdi Muluk. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Beberapa studi di luar negeri, lanjutnya, menunjukan semakin fanatik seseorang akan semakin kuat kecenderungan bias konformasinya. Maka, ia akan menolak fakta terang benderang yang bertentangan dengan keyakinannya.
Ditambah lagi perkembangan masyarakat yang mengarah ke pascakebenaran. Orang tak lagi percaya dengan otoritas-otoritas arus utama. Bagi Hamdi, banyak beralihnya orang ke media sosial dan meninggalkan media mainstream menjadi salah satu indikasinya. Gejala ini yang membuat orang semakin mudah mempercayai hoaks.
Ekosistem yang gemar menyebarkan hoaks politik, menurut Septiaji Eko Nugroho, adalah mereka yang berusia di atas 35 tahun.
“Kita sebut dengan digital immigrant. Karena isu-isu politik itu ramainya di mereka, bukan di anak-anak muda,” ia mengungkapkan.
ADVERTISEMENT
Kelompok itu relatif baru berinteraksi dengan perkembangan dunia digital. Septiaji menilai, literasi digital mereka cenderung minim. Kondisinya berbeda dengan generasi di bawahnya yang sudah mengenal dunia digital sejak dini.
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menghadiri kampanye di stadion Gelora Bung Karno di Jakarta pada tanggal 7 April 2019. Foto: AFP/ADEK BERRY
Septiaji menilai, anggota keluarga yang berpendidikan tinggi pun tak kebal terhadap hoaks. Fenomena itu yang menurutnya terjadi saat ini. Ketika hoaks politik masuk ke ruang keluarga yang punya pilihan berbeda, hubungan anggota di dalamnya menjadi dingin.
“Saya rasa di Indonesia cukup parah apalagi kita baru saja selesai menjalani pemilu yang dampaknya belum selesai sampai sekarang,” katanya prihatin.
Simak ulasan selengkapnya di topik Retak Keluarga Karena Pilpres.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten