Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Era Heisei resmi berakhir setelah Akihito turun takhta dari kekaisaran Jepang, Selasa (30/4). Di hadapan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan sejumlah pejabat Jepang lain, ia undur diri dalam sebuah upacara sakral.
ADVERTISEMENT
“Hari ini saya menyelesaikan tugas saya sebagai Kaisar. Izinkan saya menyampaikan penghargaan mendalam kepada wakil rakyat Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe. Saya beruntung, saya telah menjalankan tugas saya sebagai Kaisar dengan kepercayaan dan penghormatan mendalam kepada warga Jepang,” kata Akihito dalam pidato terakhirnya, dilansir Reuters, Selasa (30/4).
Akihito digantikan oleh Naruhito untuk melanjutkan estafet takhta kekaisaran Jepang. Ia menaruh harapan kepada putra sulungnya itu, agar kekaisaran selanjutnya -yang bernama kekaisaran Reiwa- akan berjalan damai. Akihito juga mendoakan perdamaian dan kebahagiaan bagi warga Jepang dan dunia.
Harapan eks-kaisar 85 tahun ini memang tak jauh dari bagaimana ia memimpin Jepang selama 30 tahun ke belakang. Nama Kekaisaran Heisei yang dibawahi Akihito sejak 8 Januari 1989 memang punya makna ‘mencapai perdamaian’.
ADVERTISEMENT
Rekam jejak Jepang dan Akihito memang dikenal penuh penyesalan atas adanya peran Jepang dalam peperangan di masa lampau. Beberapa di antaranya diwakili dengan ungkapan penyesalan terhadap penjajahan atas China dan Korea pada 1992 dan 1996 saat Akihito berkunjung ke kedua negara tersebut.
“Dalam sejarah panjang hubungan kedua negara, ada masa-masa kurang baik di mana negara saya membuat penderitaan besar pada rakyat China. Saya merasakan pilu yang mendalam tentang hal ini,” ujar Akihito tahun 1992.
Tahun 2015, pada perayaan 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II, Akihito pun kembali mengungkapkan penyesalan. Sebab, Jepang turut dalam peperangan berdarah terbesar di dunia tersebut.
Lahir dan Tumbuh di Era Perang
Penyesalan Akihito atas perang Jepang di masa lampau tak lepas dari bagaimana ia tumbuh dan dibesarkan. Kala ia lahir tahun 1933, Jepang sangatlah berbeda dengan sekarang. Situasi perang melingkungi keluarganya, terkhusus yang diinisiasi sendiri oleh ayahnya, Kaisar Hirorito.
ADVERTISEMENT
Tahun 1937, pasukan Jepang menyerbu Nanking. Invasi ini menyebabkan sekitar 300 ribu orang China terbunuh menurut estimasi. Meskipun, Jepang masih memperdebatkan angka tersebut.
Kemudian, Jepang resmi terlibat dalam Perang Dunia II pada tahun 1940. Negeri Matahari Terbit tersebut bersekutu dengan pihak Jerman dan Italia setelah berhasil mengebom Pearl Harbor di Amerika Serikat (AS).
Saat dimulainya Perang Dunia II, Akihito kecil masih berumur 7 tahun. Di umurnya yang masih muda itu, ia terpaksa mengungsi dari istana mewahnya di Tokyo ke daerah pegunungan bernama Nikko untuk menghindari serangan bom AS.
Kala Jepang menyerah kalah tahun 1945, AS mengokupasi Jepang hingga 1952. AS melakukan reformasi besar-besaran dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial di Jepang. Di antaranya yakni memutus keterlibatan keluarga kekaisaran dari politik negara serta mencopot status keilahian kaisar yang kala itu dianggap tuhan.
ADVERTISEMENT
Pada 10 November 1951, Akihito resmi ditetapkan sebagai putra mahkota Kaisar. Ia sempat berkuliah di jurusan Politik dan Ekonomi di Universitas Gakushuin, tapi tak pernah menyandang gelar karena tak tuntas.
Tahun 1969, Akihito menikahi Michiko Shoda. Ini adalah pernikahan yang mendobrak kultur kekaisaran. Sebab, Akihito menikahi perempuan Jepang biasa, bukan pemilik trah kaisar sebagaimana kaisar-kaisar sebelumnya.
Bersama Michiko, Akihito melakukan perjalanan ke sekeliling dunia di mana Jepang bertempur di Perang Dunia II. Ia kerap menyampaikan penyesalan kepada para pemimpin dunia yang ditemuinya saat mengunjungi situs-situs pertempuran.
Pengamat sejarah Jepang, Yuji Otabe, menilai bahwa mengingat kembali peperangan dan para korbannya adalah salah satu pilar tugas sebagai Kaisar Jepang selaku pemersatu bangsa.
ADVERTISEMENT
“Kaisar (Akihito) mengalami sendiri peperangan. Itu adalah alasan kunci mengapa ia sangat bersemangat menghadiri acara-acara yang berkaitan dengan (peringatan) peperangan,” kata Profesor Emeritus Sejarah Jepang di Shizuoka University of Welfare itu dilansir The Japan Times.