Kilas Balik Kasus Pinangki yang Bikin Jaksa Agung Dapat Piagam Hukum Dagelan

8 Juli 2021 18:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/12).  Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/12). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Jaksa Pinangki Sirna Malasari tinggal menunggu eksekusi setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap alias inkrah. Meski hukuman Jaksa Pinangki menjadi sorotan karena terbilang ringan, tapi Jaksa Penuntut Umum tetap bergeming tak ajukan kasasi.
ADVERTISEMENT
JPU menilai hukuman 4 tahun penjara untuk Jaksa Pinangki sudah layak. Sebab, hukuman itu sudah sesuai tuntutan. Padahal, JPU merupakan pihak yang mengajukan banding saat Pinangki dihukum 10 tahun penjara.
Langkah JPU ini tak pelak menuai kritikan. ICW menyindir dengan memberi selamat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin yang sukses mempertahankan vonis ringan Pinangki dengan tidak mengajukan banding.
Jaksa Agung ST Burhanuddin lantik sejumlah pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung. Foto: Dok. Puspenkum Kejagung
Bahkan yang terbaru, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi memberi Piagam Hukum Dagelan kepada ST Burhanuddin yang diunggah di akun media sosial ICW. Adik dari Politikus PDIP TB Hasanuddin itu dinilai "berprestasi" dalam mempertahankan vonis ringan Jaksa Pinangki.
"ICW mengucapkan selamat dan memberikan "penghargaan" kepada Bapak ST Burhanudin beserta jajaran di Kejaksaan Agung karena telah berhasil mempertahankan vonis ringan kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari," bunyi keterangan ICW di akun media sosialnya. ICW merupakan bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi.
ADVERTISEMENT
Menurut ICW, banyak yang belum terungkap dari kasus Jaksa Pinangki. Namun, pihak Kejaksaan Agung dinilai tak serius dalam menanganinya. Bahkan ICW menilainya sebagai dagelan.
"Padahal banyak celah yang bisa digali, tapi sepertinya tak mau dibongkar. Seperti dugaan keterlibatan pejabat tinggi di instansi penegak hukum yang menjamin Pinangki untuk dapat bertemu dengan Joko S Tjandra," bunyi keterangan ICW.
ICW beri piagam 'prestasi' ke Jaksa Agung. Foto: Instagram/@sahabaticw
Sindiran pun dilontarkan kepada ST Burhanuddin selaku pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung. Dalam piagam untuk ST Burhanuddin, termuat lembaran "prestasi" dalam kasus Pinangki, yakni:
ADVERTISEMENT
Semua poin tersebut diberikan nilai A. Total nilainya: excellent. Belum ada tanggapan dari Jaksa Agung maupun Kejaksaan Agung terkait hal ini.
Lantas seperti apa kasus Jaksa Pinangki?
Jaksa Pinangki. Foto: Instagram/@ani2medy
Kasus Jaksa Pinangki terungkap diawali saat Djoko Tjandra 'kepergok' tengah mengurus Peninjauan Kembali (PK) di kasus cessie Bank Bali. Djoko Tjandra merupakan buronan yang lari selama 11 tahun, menghindari eksekusi hukuman penjara 2 tahun yang dijatuhkan pengadilan.
Dia yang merupakan buronan kedapatan mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan. Sebelumnya, ia juga mengurus sejumlah dokumen seperti KTP dan lainnya. Padahal ia merupakan buronan yang masuk dalam daftar DPO penegak hukum Indonesia juga interpol.
Sosok Jaksa Pinangki mulai menjadi sorotan setelah fotonya dengan Djoko Tjandra yang diduga diabadikan pada 2019 beredar di media sosial. Padahal, Djoko Tjandra saat itu masih berstatus buron.
ADVERTISEMENT
Belakangan, terungkap bahwa Jaksa Pinangki setidaknya 3 kali bertemu Djoko Tjandra di Kuala Lumpur Malaysia. Ironisnya, Djoko Tjandra merupakan orang yang sedang dicari Kejaksaan Agung, tempat Pinangki bekerja.
Lebih ironis lagi, dalam pertemuan itu Jaksa Pinangki menawarkan jasa agar Djoko Tjandra bisa lolos dari jerat hukum kasus Bank Bali.
Dalam pertemuan itu, dibahas sejumlah hal. Mulai dari action plan atau upaya membebaskan Djoko Tjandra dari jerat hukum hingga fee untuk menjalankan rencana tersebut.

Action Plan Jaksa Pinangki dan Djoko Tjandra

Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (17/12). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Saya katakan 'action plan' yang diajukan Andi Irfan tidak masuk akal karena tercantum ada PNS di situ. Oleh karena itu saya tidak bersedia!" kata Djoko Tjandra.
Pernyataan Djoko Tjandra itu terlontar dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ia membantah fakta dalam dakwaan yang menyatakan dirinya meminta Jaksa Pinangki membuat action plan sebagai upaya membebaskannya dari jeratan hukum.
ADVERTISEMENT
Diketahui, dalam action plan tersebut termuat 10 tahap pelaksanaan operasi pembebasan Djoko Tjandra dari vonis 2 tahun penjara yang menjeratnya. Di dalamnya, termuat juga nama Hatta Ali yang masih menjabat Ketua MA dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Atas action plan itu, Jaksa Pinangki meminta ongkos USD 100 juta. Dalam dakwaan, disebutkan Djoko Tjandra hanya bersedia mengeluarkan biaya USD 10 juta. Namun, action plan itu pada akhirnya tidak terlaksana.
Namun, uang muka sudah diberikan kepada Pinangki sebesar USD 500 ribu atau setara Rp 7,4 miliar telanjur diberikan. USD 50 ribu di antaranya diberikan kepada Anita Kolopaking. Hal ini yang menjadi dakwaan pertama Jaksa Pinangki.
Dalam dakwaan, uang itu diberikan agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi 2 tahun penjara di kasus cessie Bank Bali dengan pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung. Atas perbuatan itu, Jaksa Pinangki dinilai melanggar Pasal 11 UU Tipikor.
ADVERTISEMENT
Dari uang yang diterima itu, sebesar USD 375.279 atau sekitar Rp 5.253.905.036 disinyalir terindikasi pencucian uang. Uang itu digunakan Jaksa Pinangki antara lain untuk membeli mobil BMW X5, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di AS, pembayaran dokter home care, pembayaran sewa apartemen, dan pembayaran kartu kredit.
Hal menjadi dakwaan kedua Jaksa Pinangki. Atas perbuatannya, ia dinilai terbukti melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain itu ada dakwaan ketiga bagi Jaksa Pinangki. Yakni melakukan pemufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejaksaan Agung dan MA senilai USD 10 juta.
Hal tersebut tertuang dalam action plan yang mereka buat. Jaksa Pinangki terbukti melanggar Pasal 15 jo Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor.
ADVERTISEMENT
Atas dasar terbuktinya tiga dakwaan itu, ia divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Vonis ini jauh lebih berat dari tuntutan JPU selama 4 tahun penjara.

Vonis Banding yang Kontroversi

Terdakwa Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap untuk mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Atas vonis tersebut, banding pun diajukan. Namun mengutip dari situs Mahkamah Agung, pihak JPU lah yang mengajukan banding.
Namun, kontroversi muncul ketika vonis banding diketok Pengadilan Tinggi DKI. Alih-alih memperkuat atau memperberat, Majelis Banding justru memotong hukuman Pinangki. Tak tanggung-tanggung, potongannya pun hingga 6 tahun penjara.
Jaksa Pinangki dinilai tetap terbukti atas tiga dakwaan, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Tetapi hakim menilai hukuman 10 tahun penjara terhadap Jaksa Pinangki terlalu berat.
Berikut pertimbangannya:
ADVERTISEMENT
Atas pertimbangan itu, hakim menilai hukuman yang pantas ialah 4 tahun penjara. Sama seperti tuntutan JPU.
Banjir kritikan pun muncul terhadap vonis hakim banding ini. Mulai dari ICW, Pakar Hukum, Politisi, hingga pengamat menilai vonis hakim ini menciderai keadilan di masyarakat. Vonis ini dinilai terlalu ringan bagi seorang penegak hukum yang melakukan korupsi.
Jaksa pun didesak untuk mengambil langkah kasasi atas vonis tersebut. Tetapi langkah ini tidak diambil oleh jaksa. Apa alasannya?
"JPU berpandangan bahwa tuntutan JPU telah dipenuhi dalam putusan," ujar Kajari Jakarta Pusat, Riono Budisantoso, kepada wartawan, Senin (5/7).
Riono menambahkan, keputusan tak kasasi lantaran tidak terdapat alasan sesuai Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 253
ADVERTISEMENT
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan :
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Selain JPU, pihak kuasa hukum Jaksa Pinangki pun tidak mengajukan kasasi. Sehingga, perkaranya kini inkrah. Ia tinggal menunggu eksekusi dari Kejari Jakarta Pusat, untuk jalani hukuman 4 tahun penjara.