Kilas Balik Temuan Ombudsman-Komnas HAM soal TWK KPK yang Diabaikan Jokowi-Firli

30 September 2021 14:11 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal sudah menunjukkan 30 September 2021. Namun Presiden Jokowi tak kunjung bersikap terkait dengan nasib 57 pegawai KPK yang akan dipecat. Padahal, temuan dua lembaga pemerintah independen sudah jelas: TWK bermasalah.
ADVERTISEMENT
Tanggal 30 September 2021 merupakan hari di mana Firli Bahuri dkk memecat pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dari hasil TWK tersebut, mereka sudah dianggap merah dan tak bisa lagi dibina sehingga tak bisa menjadi ASN pegawai KPK.
Kesimpulan TWK bermasalah diambil dari temuan Ombudsman RI dan juga Komnas HAM RI. Ombudsman menyatakan TWK malaadministrasi. Sementara Komnas HAM menyebut TWK melanggar 11 ha asasi manusia.
Namun demikian, Firli Bahuri dkk tetap bergeming meski ada temuan kedua lembaga itu. Pimpinan KPK tetap memecat para pegawainya. Presiden Jokowi pun yang diharapkan bisa menyelamatkan pegawai tersebut tak kunjung bersikap.
Presiden Jokowi. Foto: Reuters/Willy Kurniawan & kumparan
Lantas seperti apa temuan Ombudsman dan Komnas HAM ini terkait TWK?
ADVERTISEMENT

Temuan Ombudsman

Pemeriksaan Ombudsman terkait dengan TWK KPK fokus dalam tiga hal utama. Pertama terkait rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Kedua, proses pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Ketiga, penetapan hasil asesmen TWK.
Dalam fokus pertama, Ombudsman membahas soal dasar hukum pelaksanaan TWK. Aturan ini merujuk pada Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021.
Peralihan status pegawai KPK merupakan amanat UU Nomor 19 Tahun 2019 yang kemudian diturunkan dalam PP. Lalu kemudian diatur lebih teknis melalui Peraturan KPK tersebut.
Berdasarkan pemeriksaan, Ombudsman menemukan bahwa rangkaian harmonisasi pada Desember 2020 yang dilakukan oleh KPK bersama sejumlah lembaga tidak menyinggung klausul mengenai asesmen TWK. Termasuk soal kerja sama KPK dengan BKN dalam menggelar TWK.
ADVERTISEMENT
Klausul soal TWK itu disebut baru muncul pada Januari 2021. Ombudsman meyakini ketentuan soal TWK itu disisipkan dalam proses harmonisasi Peraturan KPK.
"Munculnya asesmen TWK ini adalah bentuk penyisipan ayat pemunculan ayat baru, yang itu munculnya di bulan-bulan terakhir proses ini," kata Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng.
Robert Endi Jaweng. Foto: Dok. KPPOD
Kejanggalan lainnya pun diungkapkan Ombudsman. Merujuk Permenkumhan Nomor 23 Tahun 2018, proses harmonisasi cukup dihadiri Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), pejabat administrator, dan perancang.
Menurut Ombudsman, selama proses harmonisasi, ketentuan ini memang dipatuhi. Harmonisasi dipimpin Dirjen Peraturan Perundangan Kemenkumham.
Namun, pada 26 Januari 2021 atau pada rapat terakhir, ada kejanggalan yang ditemukan. Rapat itu dihadiri langsung Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menteri PAN RB, dan Menkumham.
ADVERTISEMENT
"Sesuatu yang luar biasa, harmonisasi itu levelnya adalah pada level JPT sesuai Permenkumham, tapi untuk Perkom itu dihadiri para pimpinan lembaga," ujar Robert.
Tak hanya itu, meski pimpinan lembaga dan kementerian hadir langsung dalam rapat, tapi mereka tidak menandatangani berita acara harmonisasi. Pihak yang meneken berita acara justru merupakan pejabat yang tidak hadir.
"Ombudsman berpendapat ada penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang di sana," imbuh dia.
Ombudsman menilai penyimpangan mulai terjadi sejak tahap penyelarasan produk hukum yakni Peraturan KPK. Dalam prosesnya, hal itu wajib mendapat aspirasi dan pendapat pegawai KPK. Caranya dengan disebarluaskan dalam sistem informasi internal.
Namun, berdasarkan temuan Ombudsman, KPK terakhir kali menyebarluaskan informasi itu 16 November 2020 atau pada awal penyusunan Peraturan KPK. Hingga kemudian akhirnya disahkan, informasi itu tidak disebarluaskan lagi oleh KPK.
ADVERTISEMENT
"Sehingga tak ada kanal mekanisme pegawai KPK mengetahui, menyampaikan aspirasi pendapat mereka. Mungkin diskusi saja, gosip saja pegawai KPK tahu isinya tapi itu tidak utuh tidak resmi karena tidak disimpan di portal KPK. Padahal justru penting setelah November 2020," kata Robert.
"Ombudsman berpendapat ada penyimpangan prosedur di mana KPK tidak menyebarkan informasi di sistem internal setelah dilakukan adanya perubahan 6 kali rapat harmonisasi hingga perundangan rancangan Perkom KPK," imbuhnya.
Hal lain yang jadi temuan Ombudsman adalah adanya penanggalan mundur (back date) kontrak antara KPK dan BKN. Yakni Nota Kesepahaman Pengadaan Barang dan Jasa KPK dengan BKN pada 8 April 2021 serta kontrak Swa Kelola pada 25 April 2021.
Padahal, pelaksanaan TWK pada 9 Maret 2021. Yang lebih mengejutkan dari temuan Ombudsman ialah ada penandatanganan dengan tanggal mundur menjadi 25 Januari 2021.
ADVERTISEMENT
"Jadi ditanda tangan itu bulan April, dibuat mundur 3 bulan," ujar Robert.
Terkait ini Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sempat beralasan bahwa hal itu terkait masalah pembiayaan TWK. Yakni adanya perubahan dari awalnya menggunakan anggaran KPK tapi kemudian dibatalkan karena pada akhirnya memakai anggaran BKN. Ia beralasan bahwa MoU itu tidak dipakai.
Namun, hal itu dibantah Robert. Sebab, isi dokumen tak hanya soal anggaran.
"Jangan lupa isi dokumen tidak hanya sekadar pembiayaan terkait asesmen tapi juga mekanisme dan kerangka kerja. Bisa dibayangkan barang ditanda tangan bulan April backdate Januari, pelaksanaan di Maret," kata Robert.
"Ini penyimpangan prosedur buat kami cukup serius tata kelola administrasi lembaga dan mungkin juga terkait masalah hukum," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Peran BKN juga turut disoroti Ombudsman. Sebab, BKN disebut pihak yang mengusulkan aturan dalam Peraturan KPK bahwa TWK dilakukan KPK bekerja sama dengan BKN.
Sehingga dengan demikian, KPK menjadi penyelenggara TWK. Namun dalam pelaksanaannya, justru BKN yang hampir sepenuhnya melakukannya.
Akan tetapi, BKN justru tidak memiliki alat ukur instrumen dan asesor dalam TWK. Yang dimiliki BKN punya yakni alat ukur seleksi PNS.
Meski demikian BKN tetap melanjutkannya dengan menggunakan instrumen Dinas Psikologi TNI AD. Padahal instrumen itu untuk lingkungan personel TNI.
"BKN tidak memiliki atau menguasai salinan dokumen Panglima tersebut, padahal dokumen itu dasar dinas Psikologi AD untuk melakukan asesmen, karena dia tidak memiliki dan menguasai jadi kita sulit untuk memastikan kualifikasi asesor yang dilibatkan, karena BKN tidak punya alat atau asesor tadi jadi mengundang 5 lembaga dalam hal ini Dinas Psikologi, BAIS, Pusintel AD, BNPT, BIN," papar Robert.
ADVERTISEMENT
"Ombudsman berpendapat bahwa BKN tidak kompeten. Ini kalau di Ombudsman inkompetensi adalah salah satu bentuk malaadministrasi," ujar dia.
Ilustrasi Ombudsman. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Fokus ini membahas soal hasil dari pelaksanaan TWK. Sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus TWK. Bahkan disebut sebagian besarnya akan dipecat. Ombudsman pun menyoroti hal tersebut. Salah satu yang jadi rujukan yakni pertimbangan putusan MK bahwa peralihan status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK,
Hal lainnya, Peraturan KPK pun tidak menyebutkan soal adanya ketentuan soal konsekuensi hasil TWK.
"Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tidak memuat ketentuan konsekuensi jika pelaksanaan TWK ada pegawai tidak memenuhi syarat, tidak ada di Perkom itu," ujar Robert.
Ombudsman pun turut mengutip pernyataan Presiden Jokowi bahwa pelaksanaan TWK ini tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lulus.
ADVERTISEMENT
Namun, Ketua KPK Firli Bahuri malah mengeluarkan keputusan bahwa 75 pegawai itu harus menyerahkan tugas masing-masing.
"Ombudsman berpendapat, atas terbitnya surat keputusan KPK yang nomornya 652 2021 KPK telah melakukan tindakan malaadministrasi berupa tindakan tidak patut, itu tidak patut bagian dari malaadministrasi menurut UU Ombudsman dalam menerbitkan SK karena bertentangan dengan putusan MK, bentuk pengabaian KPK rumpun negara eksekutif terhadap presiden," ujar Robert.
Lebih lanjut, dari 75 pegawai itu kemudian diputuskan 51 pegawai akan diberhentikan. Sementara 24 pegawai lainnya bisa mengikuti diklat bela negara.
Hal ini berdasarkan rapat KPK bersama BKN, LAN, KemenPAN RB, dan Kemenkumham. Ombudsman menilai ada bentuk pengabaian dilakukan lembaga dan kementerian itu terhadap Presiden.
"Ombudsman berpendapat telah terjadi pengabaian secara bersama-sama terhadap pernyataan presiden sekaligus penyalahgunaan wewenang terhadap kapasitas kepastian status pegawai KPK dalam mendapatkan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja," kata Robert.
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Belakangan diketahui, dari 75 pegawai yang tak lulus TWK itu, 18 pegawai mengikuti bela negara dan sudah lulus serta dilantik menjadi ASN. Menyisakan 56 pegawai yang tak lulus TWK yang dipecat per 30 September 2021.
ADVERTISEMENT
Belakangan, ada tambahan satu pegawai KPK yang tak lulus TWK susulan. Ia pun masuk daftar pegawai yang dipecat.
(Catatan: Terdapat satu pegawai KPK tak lulus TWK yang masuk masa pensiun saat hasil tes diumumkan)
Atas temuannya itu, Ombudsman pun memberikan saran Tindakan Korektif kepada beberapa pihak, yakni
Untuk KPK:
ADVERTISEMENT
Untuk Jokowi:
ADVERTISEMENT
Meski demikian, masukan tindakan korektif ini tak diindahkan oleh Pimpinan KPK. Mereka mengajukan keberatan. Ombudsman pun kemudian menyusun rekomendasi kepada Presiden Jokowi. Tak dijabarkan secara rinci apa saja isi rekomendasinya. Rekomendasi itu sudah dikirimkan. Tetapi Jokowi belum juga bersikap.
Gedung Komnas HAM Foto: Kelik Wahyu/kumparan

Temuan Komnas HAM

Dalam temuan Komnas HAM, setidaknya ada tiga klaster yang bisa dirincikan. Pertama yakni adanya pelanggaran HAM. Kedua soal kejanggalan dalam TWK. Ketiga, rekomendasi kepada Presiden Jokowi. Berikut isi poin-poinnya:
Hak atas Keadilan dan Kepastian Hukum
Asesmen TWK mendasari pada Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Ada 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus TWK. Sebanyak 51 pegawai di antaranya bahkan sudah dinyatakan akan dipecat per 1 November 2021 karena tak bisa lagi dibina menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
"Menyebabkan tercabutnya hak atas keadilan dan kepastian hukum terhadap pegawai tersebut," kata Komisioner Komnas HAM Munafrizal.
Belakangan jumlah tersebut berubah. Sebab, ada 6 dari 24 pegawai yang punya kesempatan jadi ASN menolak ikut pelatihan bela negara. Sehingga ada 57 pegawai yang akan dipecat oleh KPK. 1 di antaranya sudah pensiun.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Hak Perempuan
Komnas HAM menemukan adanya tindakan atau perbuatan yang merendahkan martabat dan bahkan melecehkan perempuan dalam penyelenggaraan TWK. Salah satu contohnya yakni pertanyaan kepada pegawai KPK tentang status perkawinan, alasan bercerai, dan ingatan terhadap rasa berhubungan badan.
"Itu sebagai bentuk kekerasan verbal dan merupakan pelanggaran atas hak perempuan," kata Munafrial.
ADVERTISEMENT
Hal itu merupakan pelanggaran atas hak perempuan yang dijamin dalam ketentuan Pasal 49 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW).
Hak untuk Tidak Didiskriminasi
Komnas HAM menemukan fakta ada pertanyaan yang diskriminatif dan bernuansa kebencian dalam proses asesmen TWK. Pertanyaan itu dilontarkan asesor kepada para pegawai KPK.
Menurut Komnas HAM, hal ini melanggar Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 juga melanggar Pasal 9 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta juga melanggar Pasal 7 UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).
ADVERTISEMENT
Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Komnas HAM juga menemukan pertanyaan yang mengarah pada kepercayaan, keyakinan, maupun pemahaman terhadap agama tertentu. dalam TWK. Pertanyaan-pertanyaan itu dinilai tidak ada kaitan dengan pekerjaan pegawai KPK.
"Itu tidak memiliki relevansi dengan kualifikasi maupun lingkup pekerjaan pegawai," kata Munafrizal.
Komnas HAM menyatakan hal itu merupakan pelanggaran HAM yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 18 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Hak atas Pekerjaan
Para 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK langsung dinonaktifkan oleh Firli Bahuri hanya selang beberapa hari setelah pengumuman hasil. Komnas HAM menilai hal ini sebagai pelanggaran HAM sebab tidak berdasarkan dasar hukum yang sah.
ADVERTISEMENT
Menurut Komnas HAM, pegawai KPK bisa dinonaktifkan bila melanggar kode etik atau berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Komnas HAM menilai penonaktifan pegawai yang dilakukan melalui SK oleh Firli Bahuri merupakan pelanggaran hak atas pekerjaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999, dan Komentar Umum 18 angka 4 ICESCR.
Hak atas Rasa Aman
Komnas HAM menemukan ada bentuk profiling lapangan ilegal terhadap pegawai KPK dalam pelaksanaan TWK. Bahkan, Komnas HAM menemukan adanya intimidasi dari asesor saat wawancara pegawai KPK.
"Merupakan salah satu bentuk dari dilanggarnya hak atas rasa aman seseorang," kata Munafrizal.
Komnas HAM menyatakan hal ini tidak sesuai dengan hak yang dijamin dalam Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999.
ADVERTISEMENT
Hak atas Informasi
Komnas HAM menilai proses, penyelenggaraan, hingga hasil asesmen TWK bermasalah. Lantaran tidak transparan, tidak terbuka, dan tidak informatif soal metode, ukuran, konsekuensi hingga pengumuman hasil lulus atau tidak.
Hal itu dinilai merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas informasi yang dijamin dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Hak atas Privasi
Komnas HAM menemukan adanya doxing dan hoaks terhadap pegawai tertentu dalam proses asesmen TWK. Tes ini diduga kuat memang menjadi alat untuk menyingkirkan pegawai tertentu yakni yang dilabeli atau terstigma Taliban.
Doxing adalah menyebarluaskan data pribadi, seperti detail kontak, di internet dengan niat jahat. Hal ini termasuk situasi yang informasi pribadi dan data yang diambil oleh pelaku kemudian dipublikasikan dengan niat jahat yang jelas melanggar privasi. Komnas HAM merujuk definisi ini kepada Report of the Special Rapporteur on Violence Against Women, Its Causes and Consequences on Online Violence Against Women and Girls from A Human Rights Perspective.
ADVERTISEMENT
Komnas HAM menilai hal ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran dari hak atas privasi seseorang yang dijamin dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berserikat
Komnas HAM menemukan sejumlah pegawai KPK yang tidak lulus TWK merupakan mereka yang tergabung dalam Wadah Pegawai (WP).
"Menyasarnya cenderung kepada pegawai KPK yang aktif dalam Wadah KPK," kata Munafrizal.
Hal ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 jo. Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan Komentar Umum 18, angka 12 C, ICESCR.
ADVERTISEMENT
Hak untuk Berpartisipasi dalam Pemerintahan
Hasil asesmen TWK telah menghalangi pegawai KPK untuk berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dijamin dalam Pasal 44 UU No. 39 Tahun 1999.
Hak atas Kebebasan Berpendapat
Komnas HAM menemukan fakta bahwa adanya indikator seorang pegawai tidak lulus TWK ialah karena kekritisannya terhadap pimpinan, lembaga maupun pemerintah secara umum.
Hal ini merupakan salah satu pembatasan terhadap kebebasan berpendapat seseorang yang dijamin dalam Pasal 23 ayat (2) jo. Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2005.
Kaus hitam bertuliskan 'Berani Jujur Pecat' dipakai oleh perwakilan 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta. Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Dalam temuannya, Komnas HAM pun menyampaikan sejumlah kejanggalan dalam TWK. Mengacu pada 11 pelanggaran HAM di atas. Kejanggalan tersebut yakni TWK diduga membidik pegawai dengan label 'Taliban; adanya penyingkiran pegawai KPK berkedok perintah undang-undang; adanya atensi khusus pimpinan KPK di mana Firli Bahuri diduga menyelundupkan poin ini dalam Perkom 1/2021 KPK; pelaksanaannya bermasalah dari mulai adanya backdate MoU, Pelanggaran Etik Asesor, hingga TWK Kejar Setoran; ada bentuk profiling ilegal dan terselubung; hingga abai terhadap arahan Jokowi di mana TWK tak boleh merugikan pegawai KPK serta Mahkamah konstitusi.
ADVERTISEMENT
Atas dasar sejumlah temuan, Komnas HAM pun merekomendasikan Presiden Jokowi turun tangan menyelesaikan masalah TWK ini. Berikut rekomendasi Komnas HAM:
Berdasarkan kesimpulan dari temuan dan analisis fakta peristiwa terkait Pelanggaran HAM terkait Penyelenggaraan asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi ASN, Komnas HAM RI menyampaikan rekomendasi Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia (Ir. Joko Widodo) selaku Pemegang Kekuasaan Tertinggi Pemerintahan dan selaku Pejabat Pembina Kepegawaian Tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK Pegawai KPK dengan:
a. Memulihkan status Pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK yang dapat dimaknai sebagai bagian dari upaya menindaklanjuti arahan Bapak Presiden RI yang sebelumnya telah disampaikan kepada publik. Hal mana sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 70/PUU-XVII/2019 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar disain yang telah ditentukan tersebut (Halaman 340, Paragraf 1, Baris ke 10).
ADVERTISEMENT
Mengingat MK berperan sebagai pengawal konstitusi dan hak konstitusional, maka pengabaian atas pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk pengabaian Konstitusi.
b. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap Pegawai KPK.
c. Melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh pejabat Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK Pegawai KPK agar dalam menjalankan kewenangannya untuk tetap patuh pada ketentuan Perundang-undangan yang berlaku serta memegang teguh prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta memenuhi azas keadilan dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.
d. Perlu adanya penguatan terkait wawasan kebangsaan, hukum dan hak asasi manusia dan perlunya nilai-nilai tersebut menjadi code of conduct dalam sikap dan tindakan setiap aparatur sipil negara.
ADVERTISEMENT
e. Pemulihan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Komnas HAM sudah bersurat kepada Jokowi guna meminta waktu untuk menjelaskan mengenai temuan TWK itu. Meski demikian, hingga tanggal 30 September, hal itu tak kunjung berbalas.
Belakangan, muncul pernyataan dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit bahwa ia berencana merekrut 57 pegawai yang dipecat KPK. Menurut dia, hal itu atas persetujuan Presiden Jokowi.
Infografik Terima Kasih Pahlawan Antikorupsi. Foto: kumparan