Kisah Meilinda dari Medan: Merawat Cinta Merestorasi Mangrove

26 Juli 2022 15:43 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Meilinda saat menerima Kalpataru. Foto: Yagasu
zoom-in-whitePerbesar
Meilinda saat menerima Kalpataru. Foto: Yagasu
ADVERTISEMENT
Dosen Aparatur Sipil Negeri (ASN) di Universitas Negeri Medan (UNIMED), Meilinda Suriani Harefa, punya cara berbeda memaknai hidup.
ADVERTISEMENT
Waktunya, tak hanya dihabiskan untuk mengajar. Di luar kampus, Meilinda mengabdikan diri sebagai aktivis lingkungan.
Bersama Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) dia mengajak masyarakat di Sumut, Aceh, Sumatera Barat hingga Jambi mencintai dan merawat pohon mangrove. Upayanya sudah dilakukan sejak 2007.
Berkat kegigihannya, kini ada 144 kelompok masyarakat binaannya telah berhasil merestorasi 15.000 hektar lahan mangrove, yang awalnya rusak.
Masyarakat binaannya kini hidup berdampingan menjaga mangrove. Mereka menjadikannya sebagai ekowisata dan kegiatan ber-UMKM. Dari jerih payahnya ini, Meilinda diganjar penghargaan Kalpataru, kategori pengabdian di tahun 2019.
“Kategori pengabdian ini. Semacam penghargaan kepada pegawai negeri yang bisa mendedikasikan manfaatnya, diluar jam kerja,”ujar Meilinda, kepada Kumparan, Selasa (26/7)
Meilinda bersama kelompok binaannya. Foto: Yagasu
Langkah besar yang dilakukan Meilinda tidak terbentuk begitu saja, kecintaan terhadap lingkungan mulai tumbuh sejak kecil. Terlahir di pesisir Pantai Gunung Sitoli, Kabupaten Nias, membuatnya berpikir tentang pentingnya menjaga pesisir pantai.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Meilinda juga melihat kehidupan ekonomi dan sosial, masyarakat pesisir pantai memprihatinkan. Mereka tidak mampu memanfaatkan potensi pesisir pantai, tanpa merusaknya.
“Saya melihat tantangan hidup di pesisir itu berat. Ada pepatah yang menyebut ‘Kojo tak kojo Rp 1500’. Maknanya bisa diumpamakan, hari ini saya mencari ikan, hanya untuk hari ini,”ujar wanita kelahiran 1978
Pemikiran itu jadi pemantik Meilinda melanjutkan pendidikan S1, Jurusan Pendidikan, Geografi Unimed di awal tahun 2000-an. Di kampus Meilinda, banyak bergulat dengan organisasi lingkungan.
Mulai menjadi relawan Unit Manajemen Voulunter (UML) dan Biota Lestari. Bersama temannya, dia juga ikut membangun Lembaga Orang Utan Information Center
“Kemudian saya aktif di Mapala, ikut juga dengan wana lestari di bawah Balai Konservasi SDA. Saya juga sebagai pengurus Forum Kader Konservasi Tingkat Nasional. Tahun 2004 saya pernah dapat penghargaan kader konservasi tingkat nasional,’’ujar ibu 3 anak ini.
Meilinda saat menanam mangrove. Foto: Yagasu
Usai menempuh S1, Meilinda menambah khazanah keilmuannya dengan berkuliah di Pendidikan S2 jurusan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Universitas Sumatera Utara. Dia menyelesaikan jenjang S2 kurun waktu 2005-2007, sebelum akhirnya lulus mengikuti test menjadi Dosen ASN Unimed tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah menjadi dosen, sama sekali tidak menghalangi Meilinda aktif dalam bidang konservasi. Dia membagi waktu sebaik mungkin.
“Saya ngajar minimal harus ada 12 SKS. Jadi diatur, jadi satu dua hari, jadwalnya. Saya mengajar 2 hari, 4 harinya saya di lingkungan,’’ujar tamatan Doktor di USU ini.
Latar Belakang Restorasi Magrove
Awal mula Meilinda berkecimpung program restorasi mangrove pada 2007. Saat itu dia bergabung dengan Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu). Alasan bergabung menganggap keberadaan mangrove sangat penting, bagi kehidupan dunia. Banyak masyarakat tidak teredukasi hingga mengabaikan fungsinya.
Misalnya menebangi pohon mangrove untuk pembangunan. Padahal mangrove punya fungsi untuk menahan benteng tanah agar tidak terbawa air. Salah satu wilayah terparah akibat alih fungsi mangrove kata dia, yakni Kecamatan Medan Utara, Kota Medan.
ADVERTISEMENT
“Satu satu mangrove tersisa adalah di Sicanang di Kota Medan ini, di belawan. Dan banyak orang tidak menyadari itu, kemudian bayangkan pada saat air pasang, berapa rumah yang tergenang air,”ujar Program of Director Yagasu ini.
Lahan mangrove yang menjadi binaan Melinda. Foto: Yagasu
Dia mengatakan persoalan mangrove juga sangat seksi, kata dia bila kelestarian mangrove tidak dijaga, maka tenggelamnya sebuah wilayah tinggal menunggu waktu.
“Karena dialah yang menahan tanah yang berlumpur, supaya kuat. Kalau dia tidak ada, gelombang sampai ke rumah maka daratan semakin sempit, lautan semakin lebar,”ujarnya
Menurutnya problem mangrove saat ini sudah sangat krusial. Masyarakat pesisir pantai sudah banyak menjerit, karena rumahnya kerap banjir saat air pasang.
Sementara itu banyak pengusaha atau masyarakat yang egois menjual tanah miliknya, untuk kepentingan pribadi. Tanpa memikirkan keberlangsungan ekosistem mangrove.
ADVERTISEMENT
“Jadi saingan mangrove ini bukan alam, saingan mangrove ini manusia, manusia yang dengan keserakahannya,”ujarnya.
Disisi lain mangrove juga merupakan salah satu tanaman yang juga banyak, menghasilkan oksigen. Tentunya ini sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
“Sekarang ini baru heboh membuat peta 600 ribu hektar peta mangrove Indonesia. Kenapa sekarang baru heboh, karena sekarang diakui bahwa mangrove tanaman yang banyak menyerap karbon, sehingga akan kaya dengan oksigen,”katanya
Mangrove Bernilai Ekonomis
Berdasarkan fakta pentingnya Mangrove inilah, awalnya Meilinda turun ke pesisir Pantai. Salah satunya di Tanjung Rejo, Kabupaten Deli Serdang. Dia memperkenalkan program restorasi mangrove.
“Konsep kita restorasi ini, kalau selama ini kita cuma menanam, tapi kita ini juga menjaga. Kita menjaga 20 tahun dengan melakukan monitoring,”ujar Melinda.
Meilinda bersama kelompok binaannya saat menanam mangrove. Foto: Yagasu
Kegiatan ini disambut baik oleh founding, lantaran dinilai memiliki prospek yang baik bagi keberlangsungan pelestarian mangrove di Sumut.
ADVERTISEMENT
“Jadi kita sudah rancang kegiatannya, perbulan supaya tidak putus kontak dengan warga pesisir pantai,”ujarnya
Saat bersosialisasi dengan masyarakat Meilinda melakukan pendekatan emosional yang berkelanjutan. Poinnya menanamkan mindset tentang pentingnya mangrove bagi kehidupan.
“Saya akui kalau masyarakat ini kan, sulit menerima perintah, ujung-ujungnya uang. Saya tidak mau seperti itu. Jadi bagaimana kita memperlakukan mereka, dengan baik pasti kita akan diperlakukan dengan baik,”ujar Meilinda
Dari proses pembibitan hingga perawatan mangrove, Meilinda mendampingi masyarakat. Meilinda menstimulus masyarakat bahwa mangrove merupakan makhluk hidup yang harus dirawat dengan cinta. Sehingga masyarakat akan menjaganya sepenuh hati.
Meilinda pun tak sungkan meluangkan waktunya demi tetap menjaga semangat masyarakat pesisir melestarikan mangrove.
“Saya tidak ada jadwal khusus. Kapan mereka membutuhkan saya saya datang. Waktu saya 80% lebih banyak di lapangan. Sebisa mungkin saya datang, setiap selesai mengajar,”ujar Meilinda.
ADVERTISEMENT
Selain mengajarkan melestarikan Mangrove, Melinda bersama Yagasu membina masyarakat produktif melakukan kegiatan ekonomi.
“Misalnya untuk membuat budidaya perikanan, supaya mereka tidak tergantung dengan mangrove yakni bagaimana upaya menjual lahannya ke orang lain,” ujar
Lahan mangrove yang menjadi binaan Melinda. Foto: Yagasu
Kata Meilinda jual beli lahan termasuk problem besar dalam pelestarian mangrove. Karena keberadaan mangrove bakal terancam berkembang. Hal itu berdampak bagi habitat di pesisir pantai.
“Karena di akar mangrove itu ada habitat kepiting bakau, dari mana dia bisa hidup. kalau tidak di bakau. Tidak akan ada kepiting bakau kalau tidak di bakau, begitu juga dengan udang tiger. Dulu gampangnya kita dapat bakau ikan, sekarang susah. Mahalnya minta ampun,”kata Melinda.
“Jadi memang mangrove diciptakan tuhan tempat berkembang biaknya juga rantai makanan, kalau nggak ada mangrove ke mana, mereka akan mencari. Ke dasar laut. Karena tidak ada sumber pakannya lagi,”tambah Melinda
ADVERTISEMENT
Dengan pemahaman ini ujar Melinda, sebagian masyarakat mengerti. Mereka tidak lagi menebangi pohon mangrove. Bahkan mereka mengelola tambak ikan dengan pohon mangrove tetap di dalam tambak. Tercatat saat ini kata Meilinda, sudah ada 22 tambak ikan yang berada dibawa binaannya.
“Mereka tidak mau sekarang menghilangkan mangrove di dalam tambak dan menganggap kehadiran mangrove memiliki jangka panjang untuk mencari nafkah bagi mereka,”ujar Meilinda.
Dibidang ekonomi produktif lainnya, pihaknya juga mengajarkan, masyarakat memanfaatkan daun mangrove sebagai ekoprint.
“Jadi ibu ibu mewarnai, seperti kemarin kita jualkan produk batik-batik dari warna daun mangrove dijadikan warna. Jadi pewarna batik,”tandasnya
Tak lupa pihaknya juga membuat kawasan mangrove menjadi daerah Ekowisata seperti menjadikan hutan mangrove dijadikan tempat instragamable untuk berfoto.
ADVERTISEMENT
Masyarakat pun diuntungkan dengan kunjungan wisatawan.
“Jadi yang ada hamparan mangrove yang bagus kita bangunkan tempat peneduh supaya mereka bisa melihat mangrove, ekowisata mangrove ada di ekowisata Sicanang sama di Lubuk Kertang,”ujarnya
Tantangan Melestarikan Mangrove.
Salah satu tantangan terberat kata Meilinda, mengubah mindset masyarakat yang menjadikan mangrove sebagai bahan pembuatan arang. Mengatasi persoalan ini, pihaknya biasa melakukan diskusi dengan para pemilik lahan mangrove.
“Tantangan terberat kita adalah arang, jadi kan arang pohon mangrove, paling mahal. Karena baranya bagus, lama, dan paling mahal,”ujar Meilinda
Dalam diskusi pihak Meilinda bersama peneliti Unimed, memfasilitasi masyarakat berdialog. Mereka lalu membuat aturan lokal, agar mangrove tidak ditebangi.
“Kami katakan ayoklah pak, coba kita ini, kalau seandainya habis lagi Mangrove, kan belajar dari kemarin. Kenapa waktu Aceh tsunami, besar dampaknya. Karena mangrovenya habis jadi pda saat gelombang datang tidak ada mangrove yang menghalangi,”ujarnya
ADVERTISEMENT
Dari pembelajaran Tsunami Aceh itu, kata Meilinda, banyak kelompok binaannya yang tidak menebang mangrove lagi.
‘Jadi saya sama mahasiswa juga mahasiswa bisa melakukan penelitian di situ. Kemudian bisa mengembangkan program di situ,”ujarnya
Di satu sisi keberhasilannya mengajarkan masyarakat mencintai mangrove, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Suka duka dialami Meilinda secara langsung.
Salah satunya saat mengajak masyarakat di salah daerah Aceh Tamiang, tahun 2013. Melinda bersama timnya,sempat ditolak bahkan mendapat ancaman kekerasan.
“Saya ajak mereka kita kumpul yok pak, kita mau melakukan restorasi mangrove. Mereka jawab ‘tapi nggak bisa, kami pulang melaut jam 24.00. ‘Saya tunggu sampai jam 24.00 malam,”ujar Meilianda mengingat kejadian itu.
Setelah itu, akhirnya nelayan itu, mau untuk bertemu dan sempat mereka berdiskusi hingga pukul 02.30.
ADVERTISEMENT
“Dalam diskusi saya tanya kok nggak mau menanam, mangrove. Mereka jawab nanti kalau kami menanam mangrove ditambak kami, yang intens ibu menjual tambak kami. Itu jadi punya ibu karena mangrovenya,” cerita Meilinda
Kemudian Melinda menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tidak menginginkan tanah nelayan itu. Dia mengatakan penanaman mangrove untuk kepentingan bersama.
Namun saat hendak kembali ke tempat peristirahatan, Melinda dan timnya diserang seseorang
“Ada yang melempar ban sudah terbakar supaya saya takut dan pulang, saya tidak peduli. Saya rasa yang saya lakukan benar jadi saya tidak akan takut itu prinsip saya,”katanya
Karena kegigihannya masyarakat Aceh menerimanya. Warga di sana juga telah menjadi bagian dari binaannya.
Bahkan Meilinda kerap dipanggil warga sana untuk proses penanaman mangrove lainnya.
ADVERTISEMENT
“Di mana pun saya datang ya itu. Saya gak segan segan datang kalau mereka butuh saya,”ujarnya
Ke depan dirinya akan terus melakukan pembinaan restorasi mangrove di wilayah lainnya.
“Kita punya target 10.000 hektar ke depan,”ujar Meilinda
Namun point utamanya, bukan sekadar menanam mangrove. Namun bagaimana mereka menjaga mangrove dalam jangka panjang.
“Saya lebih banyak mengedukasi masyarakat. Artinya gini, saya mengedukasi mereka mencintai apa yang mereka lakukan,”ujarnya
Meraih Kalpataru
Dari aktivitas yang dilakukan ini, Kata Meilinda, Dinas Lingkungan Hidup Sumut, mengajukannya sebagai penerima Kalpataru.
“Tiba tiba tim verifikator datang meninjau lapangan, betul nggak ibu ini melakukan kegiatan masyarakat. Kalpataru kalau saya tidak intens ke masyarakat saya tidak akan dapat kalpataru,”ujarnya.
Atas penghargaan yang diterimanya, Melinda merasa bersyukur. Karena apa yang dilakukan selaras dengan kewajibannya sebagai pendidik mengajar mengabdi dan meneliti.
ADVERTISEMENT
“Kita kan dosen ada pengajaran, pengabdian dan penelitian. Jadi di pengabdian, saya tidak salah arah karena saya mengabdi dengan lingkungan. Kemudian saya juga meneliti, saya juga membuat tulisan,”katanya
Meilinda juga mengatakan apa yang dilakukannya berlandaskan tanggung jawab moral sebagai pendidik sekaligus bukti cinta kepada profesinya.
“Kalau kita cinta seberat apa pun pasti akan terlewati. Semua harus kita cintai pasti enak kalau dijalankan,”ujarnya