KONTEN SPESIAL: Naja dan orang tuanya

Kisah Naja, Bocah Penderita Lumpuh Otak yang Hafal 30 Juz Al-Quran

23 Mei 2019 15:33 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hafiz cilik penderita lumpuh otak, Naja dan orang tuanya Foto: Dok Dahlia
zoom-in-whitePerbesar
Hafiz cilik penderita lumpuh otak, Naja dan orang tuanya Foto: Dok Dahlia
ADVERTISEMENT
Bocah laki-laki berbaju jingga itu duduk di atas kursi roda di tengah panggung besar sebuah kompetisi penghafal Al-Quran cilik. Gerakan tubuhnya terbatas. Hanya jemari kedua tangannya yang tak berhenti beradu silang. Matanya sesekali menatap sekeliling panggung, lalu pandangannya menyapu ke arah penonton di hadapannya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, setelah hening sejenak, seorang juri membacakan sebuah potongan ayat Al-Quran. Si bocah tadi, Muhammad Naja Hudia, mendengarkan dengan serius. Lalu, dengan sedikit terbata, ia menebak ayat itu, “Halaman 176, surat Al-A’raf, juz 9.” Jawaban yang kemudian membuat juri dan para penonton takjub dan terharu sekaligus.
Naja tidak seperti anak kebanyakan. Bocah sembilan tahun itu menderita celebral palasy atau kelumpuhan otak. Sejak kecil ia kehilangan kemampuan motoriknya. Ia menjalani aktivitas sehari-hari dari atas kursi roda yang menopang tubuhnya.
Naja menerima piala saat menang lomba Foto: Dok Dahlia
Keterbatasan fisik tak menghalangi minatnya menghafalkan Al-Quran. 30 Juz ia hafal hanya dalam waktu 10 bulan. Tak cuma ayat per ayat, Naja juga ingat letak dan halaman ayat-ayat Al-Quran yang dibacanya. Seperti yang ia tunjukan di sebuah program stasiun televisi swasta awal Mei 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Ada kesabaran dan perjuangan besar di balik kondisi Naja sekarang. Ia lahir prematur di usia kandungan tujuh bulan pada November 2009. Dahlia Andayani, ibunya, terpukul begitu dokter memvonis putranya mengalami kelumpuhan otak.
“Naja lahir nggak nangis, jadi supply oksigennya nggak sampai ke otak. Dari situ cel-cel otak untuk bagian motoriknya dia terganggu,” kenang Dahlia Andayani, ibunya.
Tumbuh dengan kondisi seperti itu, membuat orang-orang memandang Naja sebelah mata. Bahkan, ada yang menganggap apa yang menimpa Naja adalah azab dari dosa orang tuanya. “Sedih saya waktu itu,” ucap Dahlia yang sehari-hari mengajar di sebuah kampus di Mataram.
Ilustrasi belajar mengaji. Foto: AFP/ADEK BERRY
Ia dan suaminya, Agusfian Hidayatullah, mencoba tak menyerah. Berbagai pengobatan dan terapi dijalani agar Naja bisa tumbuh seperti anak-anak lain. Tetapi perjuangannya tak selalu mulus. Saat Naja berusia satu tahun, misalnya, Dahlia berkonsultasi ke dokter anak dekat rumahnya.
ADVERTISEMENT
Sang dokter malah membuat pernyataan yang mematahkan semangatnya. Dia bilang, Naja tak bisa mandiri, dan akan seumur hidup hanya tidur di kasur.
“Waktu itu saya sampai nggak bisa bangun dari ruangan konsultasi gara-gara dokternya judge Naja kayak gitu. Saya sampai bilang memangnya dokter itu Tuhan,” cerita Dahlia.
Ia pun makin terpacu untuk membuktikan anaknya bisa berprestasi. Ia yakin, bila Tuhan sudah berkehendak maka hal-hal yang mustahil pasti bisa terjadi, termasuk kesembuhan Naja. “Itu start point saya,” ia berujar.
Tetapi langkahnya tak selalu mulus. Saat Naja memasuki usia sekolah, Dahlia kesulitan mencari lembaga pendidikan yang bisa mendidik anaknya. Beberapa sekolah tempatnya mendaftar menolak. Mereka, kata Dahlia, khawatir kondisi Naja malah mengganggu siswa lain.
ADVERTISEMENT
Upaya tak kenal lelah akhirnya berbuah, setelah Lenterahati Islamic Boarding School bersedia menerima Naja. “Di Lenterahati Naja diterima, tidak dibeda-bedakan, mulai bisa bersosialisasi dengan teman-teman,” katanya. Di sekolah ini, Naja diajarkan bersosialisasi, menghafal Alquran hingga olah raga.
Naja dan Muazar Habibi di Lenterahati Islamic Boarding School Foto: Dok Dahlia
Pembina Lenterahati Islamic Boarding School, Muazar Habibi, mengungkapkan alasan sekolahnya menerima Naja kala itu. Menurutnya Lenterahati adalah sekolah inklusi yang tidak membeda-bedakan kondisi anak. Ia percaya, setiap anak memiliki keistimewaan apa pun kondisinya.
Muazar mengatakan, setiap anak itu adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga. Alasan yang lain adalah pertimbangan kemanusiaan. “Jadi itu prinsip kita,” kata Muazar kepada kumparan.
Di Lenterahati hidup Naja memasuki babak baru. Pada periode itu pula cerita Naja menjadi penghafal Al-Quran dimulai. Bakat Naja terendus saat proses asesmen awal. Hasil tes menunjukan Naja punya ingatan luar biasa dan cenderung cepat belajar menggunakan pendengaran.
ADVERTISEMENT
Naja, menurut Muazar, lebih tepat diberi metode belajar yang sifatnya audiotori. Lentera Hati punya metode pembelajaran spesifik untuk setiap anak yang punya kebutuhan khusus. Ada guru tahfiz—hafalan Al-Quran—yang khusus menemaninya. Ia dengan telaten memperdengarkan ayat suci Al-Quran untuk Naja setiap hari.
“Sebelum dia (Naja) pulang dimurajaahkan, didengarkan dan diberi tahu ini adalah halaman sekian yang dibaca halaman sekian, ini tempat ayatnya di ujung, bacaannya seperti ini,” kata Muazar.
Sampai saat ini, Naja bahkan belum pernah menghafal dengan melihat langsung mushaf Al-Quran. Dia hanya mendengarkan bacaan dari guru hafiz yang mendampinginya. Upaya sekolah juga diimbangi dukungan orang tua.
Ibunya sering membantu membacakan Al-Quran untuk Naja. Hingga suatu ketika, Dhalia melempar pertanyaan iseng, “Jadi saya sebutkan Naja ayo muraja’ah halaman 200an juznya 9, ayat awalnya apa, akhirnya apa?”
ADVERTISEMENT
Tak disangka Naja bisa menjawabnya dengan tepat. Ibunya pun tak bisa mempercayainya. “Itu saya pikir di luar nalar ya, saya yang mendampingi juga ya Allah, dari mana dia tahu dan bisa hafal letaknya,” kata Dahlia mengungkapkan keterkejutannya.
Tak mudah bagi Dahlia menjalaninya. Kelelahan fisik menjadi tantangan paling berat. Selain ibu rumah tangga, ia juga bekerja di sela-sela kegiatan fisioterapi, latihan.
Jerih payahnya membuahkan hasil. Perkembangan fisik Naja luar biasa untuk ukurannya. Ia kini bisa berjalan menggunakan tongkat dan duduk. “Kalau hapalan dia itu bonus,” ucap Dahlia.
Dahlia terus berusaha menciptakan suasana kondusif untuk memotivasi Naja. Salah satu caranya, ia menjanjikan Naja umrah bila berhasil menghafal 30 juz sebelum ulang tahun ke-9. “Hafalan terakhirnya di Makkah, Surat Al-Hadid,” kenang Dahlia. Meski hingga saat ini, karena kondisi fisiknya, napas Naja masih sering tersengal-sengal untuk membaca ayat panjang.
KONTEN SPESIAL: Naja dan orang tuanya di Arab Saudi Foto: Dok. Dahlia Andayani
Seiring bertambahnya hafalan Naja, ia mencoba untuk mendaftarkan anaknya ke lomba hafiz tingkat nasional. Terlebih, ada teman terapi Naja yang juga mengalami kelumpuhan otak mampu menghafal Al-Quran. Dahlia ingin capaian Naja menjadi inspirasi bagi anak-anak lain dalam belajar Al-Quran.
ADVERTISEMENT
Dahlia begitu bersyukur atas apa yang telah dicapai Naja hari ini. Dari dulu, katanya, Naja bercita-cita menjadi pilot yang hafal Al-Quran. Satu keinginannya kini sudah tercapai.
“Orang itu bisa dimuliakan karena Al-Quran itu benar. Sekarang orang ngeliat Naja pada panggil terus salaman. Kalau dulu orang lihat Naja sebelah mata,” ucap Dahlia.
Simak kisah lainnya tentang mereka yang belajar Al-Quran di tengah keterbatasan di topik Yang Bisu Tuli Yang Mengaji.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten