Ilustrasi pesantren virtual

Kisah Para Santri Pesantren Virtual

30 Mei 2019 9:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pesantren virtual Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesantren virtual Foto: Argy Pradypta/kumparan
ADVERTISEMENT
Yahtadi Aji Julloh canggung tiap kali berkomunikasi dengan warga lokal di Dafur, Sudan. Bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB dari Polri, ia ditempatkan di wilayah yang mayoritas warganya berbahasa arab. Ia harus berbaur dengan penduduk lokal berbekal kemampuan bahasa Arab pas-pasan tiap kali berpatroli.
ADVERTISEMENT
Yahtadi merupakan satu dari 140 personel Polri dalam tim Formed Police Unit (FPU) gelombang 10. Ia dan rekan-rekannya menjejakkan kaki di wilayah yang dialanda konflik antarsuku itu sejak Januari 2018. Seiring waktu, intensitasnya berinteraksi dengan warga lokal semakin bertambah.
Ada beberapa momen ketika ia kesulitan berkomunikasi dengan anak-anak Sudan. Kejadian itu yang kemudian mendorongnya belajar bahasa Arab praktis untuk komunikasi sehari-hari.
“Dari tempat pelatihan sudah dapat materi bahasa Arab dasar, tapi saya ingin tambah pengetahuan,” kata Yahtadi kepada kumparan, Senin (27/5).
Semula ia kebingungan ke mana harus belajar bahasa Arab. Ia, seperti profesional pada umumnya, tak punya cukup banyak waktu untuk ikut kelas khusus. Apalagi saat itu, dia sedang bertugas di luar negeri.
KONTEN SPESIAL: Yahtadi Aji Julloh, Santri Pesantren Virtual Foto: Dok. Yahtadi Aji Julloh/kumparan
Singkatnya, penelusuran di internet mengantarkan Yahtadi ke laman pesantren virtual Al Madinah yang punya program belajar bahasa Arab. Portal itu menawarkan program belajar bahasa Arab jarak jauh yang dikelola orang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Yahtadi berpikir, metode ini cocok untuk orang sepertinya. Al Madinah punya tiga paket belajar bahasa Arab, yakni, program satu tahun, intensif 3 bulan dan kursus singkat. Yahtadi memilih yang paket kedua yang disebut Arobiyyah Baina Yadaik (ABY).
“Kebetulan saya kan hanya butuh pengetahuan percakapan dasar-dasar bahasa Arab. Jadi ABY itulah yang disarankan oleh admin untuk diambil,” ujarnya.
Untuk mengikuti kelas bahasa Arab, Yahtadi harus mendaftar formulir online yang tersedia di situs Pesantren Virtual Al Madinah. Lalu, ia membayar biaya kelas ABY Rp 450 ribu.
Yahtadi mulai mengikuti program pada Januari 2019. Ada empat orang peserta lain di kelas yang diikutinya. Mereka dihimpun dalam sebuah grup WhatsApp.
Ilustrasi Whatsapp Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Seorang pengajar berperan memandu kelas. Pembelajaran dimulai dengan pembagian modul belajar berisi materi dasar-dasar bahasa arab. Seperti lembaga pendidikan pada umumnya, dalam periode tertentu peserta akan diberi ujian.
ADVERTISEMENT
“Senin sampai Rabu kita dibagikan materi, lalu Kamis sampe Minggunya ada ujian mingguan,” kata Yahtadi.
Baginya, metode belajar seperti itu cukup membantu. Ia bisa belajar di sela-sela kesibukan bertugas di daerah konflik. Bila ada materi yang tak dimengerti, ia tinggal mengajukan pertanyaan lewat grup WhatsApp kapan pun dan di mana pun.
Setiap satu bulan sekali, para peserta diberikan kesempatan beraudiensi online menggunakan fitur dari sebuah aplikasi. Rata-rata durasinya satu jam. Tetapi, kesempatan itu sering terlewat oleh Yahtadi. Ia beralasan, kesibukan perkejaan tak memungkinkannya mengikuti sesi itu.
Toh, ia tetap merasakan manfaat dari mengikuti kelas pesantren virtual Al Madinah. Perubahan paling kentara adalah kemampuannya berbahasa Arab. Ia semakin percaya diri berkomunikasi dengan masyarakat sekitar di Sudan.
KONTEN SPESIAL: Yahtadi Aji Julloh, Santri Pesantren Virtual Foto: Dok. Yahtadi Aji Julloh
“Untuk tanya-tanya kabar, misalnya, Kaifa haluka anta yaa akhi? tanya nama, Maa ismuka? dan apa yang mereka lakukan sekarang, Maa dza Taf’al ilaian,” cerita Yahtadi.
ADVERTISEMENT
Pendiri pesantren virtual Al Madinah, Abdul Rohman Siddiq, memang membidik orang seperti Yahtadi sebagai “santri”. Segmennya adalah orang-orang yang ingin belajar bahasa Arab, tapi tinggal di daerah yang tak ada akses ke pengajar
“Contohnya orang yang tinggal di luar negeri, dia sedang study atau sedang merantau dan pengin belajar bahasa Arab tapi enggak ada. Alhamdulillah itu tercapai, banyak siswa yang dari luar negeri, dari Korea, dari Jepang,” ungkapnya.
Lain lagi Ulya Fikriyati, yang punya motivasi berbeda dengan Yahtadi ketika memutuskan bergabung dengan sebuah pesantren virtual. Berprofesi sebagai dosen fikih di sebuah perguruan tinggi, ia merasa perlu mendalami wawasan di bidang yang digelutinya.
KONTEN SPESIAL: Ulya Fikriyati, Santri Pesantren Virtual Foto: Dok. Ulya Fikriyati
“Saya biasanya kan belajar Fikih dari 4 Mahzab. Nah, di Pesantren Virtual ini hanya di fokuskan Mahzab Syafii. Jadi saya pengen mendalami itu aja, karena ini kan lebih banyak dipakai di Indonesia,” ujar Ulya kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Ia memilih ikut serta di forum diskusi yang difasilitasi pesantrenvirtual.com. Kebanyakan pembahasan di sana mengupas persoalan fikih praktis melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Meski demikian, argumentasi yang disajikan merujuk karya ulama-ulama klasik.
Karakteristik ini klop dengan kebutuhan Ulya. Pemberi materi biasanya menyajikan banyak argumentasi fikih dari perspektif beberapa ulama. Ulya, yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren konvensional, menikmati diskusi itu.
Dari sisi materi, pesantren virtual juga tak berbeda dengan pesantren konvensional. Letak perbedaan mendasarnya hanya pada cara pesan dikemas, yang Ulya sebut lebih sesuai perkembangan zaman.
Infografik pesantren virtual Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Bagi orang yang punya kesibukan harian yang tak bisa ditinggalkan, menurutnya, model pesantren ini bisa menjadi solusi. Seseorang bisa tetap beraktivitas, tanpa meninggalkan kajian keagamaan.
ADVERTISEMENT
“Bisa kita akses kapan aja saya kira itu jadi nilai plusnya,” ungkap Ulya. Ia kemudian menimpali, "Kalau kita ikut pengajian itu kan harus di saat itu juga, saya kira kendala kendala bersifat fisik bisa diselesaikan.”
Hanya saja, kadar kepuasannya belajar berbeda dibanding saat di pesantren konvensional.
“Kadang kalau penjelasan lisan penjelasan kan bisa lebih luas, kalau ini kan terbatas. Tapi setidaknya ini langkah progresif bagi masyarakat,” ia memungkasi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten