Kisah Pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor dan Bocah Martir ISIS

10 September 2017 18:58 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pesantren Ibnu Mas'ud (Foto: Reuters/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Pesantren Ibnu Mas'ud (Foto: Reuters/Beawiharta)
ADVERTISEMENT
Umurnya baru 11 tahun ketika Hatf Saiful Rasul berkata pada ayahnya, bahwa ia ingin pergi ke Suriah dan menjadi pejuang ISIS.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, sang ayah tak langsung percaya. Baginya, kemauan anaknya untuk bertarung di Suriah hanya candaan semata. “Tapi jadi berbeda ketika Hatf ngomong begitu terus-terusan.”
Hatf memang terus meyakinkan ayahnya. Ia bilang bahwa teman-teman dan sebagian guru di pesantren tempat ia belajar, Ibnu Mas’ud, telah berangkat dan menjadi pejuang bagi ISIS.
Di 2015, sang ayah menyetujui keinginan sang anak untuk berangkat ke Suriah. Pada akhirnya, ayahnya juga bukan orang yang jauh dari gelanggang jihad militan. Ayah Hatf adalah Syaiful Anam alias Brekele, terpidana kasus terorisme dengan lama hukuman 18 tahun penjara. Ia merupakan salah satu pelaku peledakan bom di Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, di tahun 2005.
Salah satu alasan Anam menyetujui keinginan anaknya adalah karena ia menganggap bahwa pesantren Ibnu Mas’ud tempat anaknya bersekolah dipimpin oleh “rekan-rekan pejuang dengan ideologi yang sama” dengan dirinya. Apabila delapan orang gurunya dan tiga santrinya telah menjadi martir ISIS di Suriah, mengapa anaknya yang menjadi siswa di pesantren tersebut tidak mengambil langkah yang sama?
ADVERTISEMENT
Hatf Saiful Rasul di Suriah (Foto: TELEGRAM/Handout via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Hatf Saiful Rasul di Suriah (Foto: TELEGRAM/Handout via REUTERS)
Kesaksian tersebut diungkap Syaiful Anam dalam sebuah essai 12.000 kata yang dilansir oleh Reuters. Dalam essai tersebut, Anam menjelaskan bahwa anaknya pergi ke Suriah bersama beberapa orang keluarganya pada 2015. Di sana, mereka bergabung dengan militan ISIS asal Prancis.
Menurut Reuters, kebenaran informasi keberangkatan Hatf ke Suriah tersebut dikonfirmasi oleh pihak keamanan Indonesia. Hatf hanyalah satu dari 12 orang dari Pesantren Ibnu Mas’ud yang berangkat ke Timur Tengah untuk berjuang bersama ISIS dalam kurun waktu 2013 hingga 2016.
Selain 12 orang itu, ada 18 orang lainnya yang punya hubungan dengan Pesantren Ibnu Mas’ud telah menjadi tersangka, buron, atau bahkan telah tewas di tangan personel anti-terorisme Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pihak Pesantren Ibnu Mas’ud sendiri menolak segala tuduhan bahwa pesantrennya terkait ataupun mendukung ISIS maupun kelompok militan Islam lainnya. Bahkan, Jumadi, juru bicara pesantren tersebut, menolak pesantrennya telah mengajarkan interpretasi ekstrem Islam ke santri-santri mereka.
“Kami tak punya kurikulum,” ucap Jumadi kepada Reuters. “(Tapi) Kami fokus pada ilmu tahfiz, menghafal Alquran, juga hadits. Kami mengajari siswa kami tentang bahasa Arab, tentang iman, dan sejarah Islam.”
Jumadi mengakui bahwa Hatf memang merupakan salah satu bekas murid pesantren tersebut. Namun, ia tidak mengetahui alasan mengapa Hatf meninggalkan pesantren tersebut.
Jumadi juga mengaku tak mengetahui perkara pengajar dan santri pesantren tersebut yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS --kecuali tiga guru dan seorang murid yang tertangkap di Singapura tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud terletak di kaki Gunung Salak, tepatnya di desa Sukajaya, Tamansari, Bogor. Dalam pesantren tersebut terdapat beberapa bangunan yang menjadi ruang kelas, asrama, dan sebuah masjid. Jumlah santrinya mencapai 200 orang, dari yang masih sekolah dasar hingga siswa SMP.
Keberadaan ponpes tersebut sebetulnya tak lepas dari perhatian pihak keamanan Indonesia. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT, menyebut bahwa pihaknya telah mengetahui masalah terkait Ponpes Ibnu Mas’ud. Namun begitu, lemahnya hukum kontra-terorisme di Indonesia disebutnya menjadi penyebab mengapa ponpes seperti Ibnu Mas’ud tak dikenakan aksi yang efektif.
“Pada dasarnya, itu bukan domain kerja kami, ini kerjaan Kementerian Agama,” ucap Idris kepada Reuters. “Kami sudah memberi tahu Kementerian Agama bahwa mereka punya masalah dengan Ibnu Mas’ud.”
ADVERTISEMENT
Masalah tak hanya sampai di situ. Ketika ditanya mengapa pesantren tersebut tak ditutup, Kementerian Agama sendiri mengaku tak bisa berbuat banyak.
“Ibnu Mas’ud tak pernah terdaftar sebagai pesantren,” ucap Kamaruddin Amin, dirjen pendidikan Agama Islam di Kementerian Agama. Jumadi membenarkan status tersebut.
Syaiful Anam, ayah Hatf (Foto: REUTERS/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Syaiful Anam, ayah Hatf (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Keinginan bertempur Hatf menemui akhir tak menyenangkan pada 1 September 2016 kemarin. Ia tewas akibat serangan udara di kota Jarabulus, Suriah, hanya dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-13.
Syaiful Anam, bangga dengan apa yang dilakukan anaknya.
“Saya tidak merasa sedih maupun kehilangan. Kecuali, sedikit kesedihan yang sebagai seorang ayah yang kehilangan anak kesayangannya,” ucap Anam kepada Reuters.
“Malah, saya bangga karena anak saya telah mampu berjihad, InshaAllah.”
ADVERTISEMENT