Reza Ferrydiansyah Software Engineer di Amazon

Kisah Reza Ferrydiansyah, Jadi Software Engineer dari Microsoft Hingga Amazon

18 Februari 2022 17:22 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Reza Ferrydiansyah adalah satu dari sekian diaspora Indonesia yang berkecimpung di dunia teknologi. Kecintaannya terhadap dunia programming dan artificial intelligence (AI), ditambah kerja keras, kini sukses mengantarnya jadi software development engineer bergelar PhD di Amazon.
Pria kelahiran Malang 44 tahun lalu itu tengah bekerja untuk divisi Alexa Smart Home. Bersama tim, Reza mengembangkan ‘rumah pintar’, yakni sistem agar peralatan elektronik di rumah bisa bekerja dengan perangkat pintar Amazon Alexa.
“Karena itu proyek baru, jadi banyak yang kita enggak tahu, banyak yang kita mikir ini bagaimana menyelesaikan ini. Karena proyek baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, jadi benar-benar merintis jalan,” kata Reza saat dihubungi kumparan, Selasa (8/2) lalu.
Setiap hari, tugas Reza lebih banyak mendesain fitur dan memecahkan berbagai masalah. Misalnya, menambahkan fitur-fitur baru pada perangkat baru.
“Jadi ada negosiasi, kita mencari solusi yang pas, kita setuju, baru kita implementasi. Pokoknya tugas saya itu bagaimana menggolkan ini (fitur). Privasinya bagaimana? Legalnya gimana? Semua itu harus saya cek sebelum bisa launch (rilis),” imbuhnya.
Reza Ferrydiansyah saat lulus dengan gelar PhD dari Michigan State University. Foto: Dok. Pribadi
Sebelum di Amazon, Reza rupanya sempat berkarier selama 6 tahun di perusahaan raksasa lainnya, yakni Microsoft. Ia pun mencicipi bekerja di beberapa divisi, termasuk Microsoft Office dan Cortana.
Saat mengembangkan Cortana, dia sempat membuat fitur musik agar perangkat bisa memutar lagu sesuai perintah pengguna. Fitur tersebut juga ia kembangkan bersama timnya untuk hardware Cortana yang kerjanya mirip dengan Alexa.
“Cortana itu kan intelligent agent, jadi tahu, oh dia bisa mengerti, oh kamu mau ini, saya beri informasinya. Saya tertarik itu,” kata Reza.

Kultur Kerja, Komposisi Tim, dan Peluang

Reza di depan Amazon Spheres, Kantor Pusat Amazon di Seattle, Washington. Foto: Dok. Pribadi
Perusahaan besar seperti Microsoft dan Amazon, menurut Reza, mempunyai budaya kerja yang agak berbeda dari perusahaan lokal yang lingkupnya lebih kecil. Kedua perusahaan ini dikenal sebagai platform di mana orang-orang bisa bekerja di atasnya.
Contohnya, Microsoft Office jadi ‘pondasi’ agar pengguna bisa membuat teks, menghitung data, dan karya lainnya. Sementara di Indonesia level produk IT lebih ke bisnis langsung. Misalnya, sebuah rumah sakit butuh sistem tertentu, maka tim IT akan membuat sesuai pesanan.
Reza mengatakan, bekerja untuk perusahaan besar menuntut pekerjanya berpikir soal dampak yang luas. Hal ini tentu berbeda dengan perusahaan yang membuat produk berdasarkan satu atau dua klien.
Impact kita miliaran orang. Ini kita membuat proyek ini, kita harus bisa untuk semua orang pakai. Bagaimana caranya agar semua orang bisa menggunakan,” jelasnya.
Selain itu, ada banyak hal detail yang harus diperhatikan saat membangun sistem, termasuk soal legalitas dan privasi pengguna. Data pengguna, misalnya, tak sembarangan bisa diakses bahkan oleh para engineer sendiri.
“Perlu alasan kenapa kita perlu melihat itu? Kalau misalkan ada bug, baru bisa kita lihat. Security itu penting sekali di sini, enggak mau, kan, dibobol? Dan tentunya juga bebas bug. Semua itu benar-benar diperhatikan. Saya enggak tahu Indonesia bagaimana sekarang, tapi dulu tahun 2002 itu enggak terlalu,” kata Reza.
Ia menambahkan, kultur sebuah perusahaan teknologi didasari oleh visi yang jadi fokus perusahaan, sehingga keputusan-keputusan yang diambil berasal dari sana. Tujuannya, tentu agar mampu berkompetisi dengan perusahaan besar lainnya.
Sebagai contoh, Microsoft menyediakan platform produktivitas, sedangkan Amazon mengedepankan customer obsession atau obsesi kostumer. Facebook atau Meta, cenderung fokus pada pengembangan media sosial yang menghubungkan semua orang.
Reza Ferrydiansyah bersama rekannya saat masih bekerja di Microsoft. Foto: Dok. Pribadi
Selama bekerja di Amazon kurang lebih 4 tahun, Reza bekerja sama dengan tim yang punya latar belakang negara yang berbeda. Baginya, salah satu hal tersulit adalah komunikasi.
“Orang AS kalau ngomong itu lebih terstruktur, bisa dibilang komunikasi mereka lebih bagus. Saya pribadi, ini bukan masalah bahasa Indonesia atau Inggris. Saya bahasa Indonesia juga sulit komunikasinya. Jadi mungkin skill komunikasi itu menurut saya, saya kekurangan. Mungkin juga orang asing lainnya kekurangan. Anak-anak Amerika itu sejak kecil di sekolahnya, mereka diajarkan cara berkomunikasi itu bagaimana,” terangnya.
Kariernya yang cemerlang sebagai software engineer tak lepas dari nilai-nilai kehidupan yang selalu ia pegang. Menurut Reza, penting bagi mereka yang bekerja di bidang IT untuk selalu punya rasa ingin tahu. Sebab, industri ini terus berubah.
“Misal, 4-5 tahun yang lalu saya enggak ada yang namanya AWS (Amazon Web Services), tapi saya pindah ke sini, wah itu (pakai) AWS. Benar-benar harus mau belajar,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya memiliki rasa percaya diri dan berani.
“Saya tetap sopan ya terhadap bos, tapi bukan berarti bos selalu benar. Kita di sini tuh harus berani bilang, oh ini salah. Tapi kita juga enggak bisa ngeyel, harus punya data juga kenapa bilang salah. Di satu sisi kamu harus berani, harus mau tanya,” imbuh Reza.
Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia IT, bapak dua anak ini punya kiat agar bisa bersinar di industri. Salah satunya, seorang programmer harus mau bekerja keras. Namun, bukan berarti harus kerja sampai lembur setiap hari.
Kantor Pusat Amazon di Seattle, Washington. Foto: Dok. Pribadi
Di kantornya, Reza mengatakan jam kerja tim berbeda-beda. Meski begitu, mereka berkomitmen terhadap proyek yang sedang dikerjakan.
“Saya pernah beberapa kali mau mengadakan presentasi ke tim besar, jadi harus menonjolkan diri, harus promosiin diri sendiri. Saya harus memberi lebih. Jadi enggak bisa hanya aku disuruh X, aku cuma kerjain X. Jadi (harusnya) disuruh mengerjakan hal ini, aku nambahin hal lain juga,” ucapnya.
Menurutnya, kalau ingin masuk ke perusahaan raksasa hanya bermodalkan kemampuan teknis saja tidaklah cukup. Seorang kandidat juga perlu soft skill seperti komunikasi, manajemen, dan lainnya untuk mendukung karier.
“Ada saya pernah interview, wah orang ini soft skill-nya bagus banget, tapi pas technical enggak lolos. Tetep aja enggak keterima. Kalau hard skill-mu bagus, tapi soft skill-mu kurang, mungkin masih bisa diterima. Tapi kalau sebaliknya kayaknya enggak. Asalkan enggak kurang-kurang banget,” ujar Reza.
Amazon Spheres yang ikonik. Foto: Dok. Pribadi

Sempat Kepikiran Jadi Dosen

Jauh sebelum masuk industri, usai menamatkan program sarjana di Informatika ITB tahun 2001, Reza sempat menjadi dosen muda untuk almamaternya selama hampir dua tahun. Kebetulan saat itu ada seorang dosen lulusan ITB yang mengajaknya untuk bekerja sama.
Ia lantas ‘ditarik’ sebagai Teaching Assistant (asisten dosen) sekaligus menjalani program master di jurusan Health Information Systems, University of Pittsburgh, AS. Di sanalah ia lebih tertarik dengan riset dan melanjutkan ke program doktoral di bidang Computer Science dengan spesialisasi Cognitive Science di Michigan State University.
Reza Ferrydiansyah di Michigan State University. Foto: Dok. Pribadi
Lewat jurusan tersebut, Reza dapat mengakomodir minatnya di bidang machine learning dan AI (artificial intelligence).
Reza sempat berpikir akan kembali ke ITB menjadi dosen. Namun, ia segera menyadari minatnya bukan menjadi akademisi. Mengapa?
“Saya sadari saya senang risetnya, menemukan masalah-masalah baru, tapi saya sadari saya enggak terlalu suka nulis. Kan kalau riset harus nulis, ya. Saya lebih suka membangun program ini, harus bikin ini itu, tapi kalau disuruh nulis, uh, ini enggak selesai-selesai, jadi kayaknya saya enggak cocok, deh,” terang pria yang kini tinggal di Redmond, Washington ini.
Ia pun memilih untuk bekerja di industri IT.
“Yaudah, lah, saya jadi software engineer yang advance. Karena sudah PhD, jadi saya cari persoalan-persoalan yang sedikit lebih rumit,” imbuhnya.
Saat itulah Microsoft jadi ‘rumah baru’ untuk berkarier. Pengalaman selama enam tahun dirasa cukup untuk pindah. Reza lantas bergabung dengan Amazon tahun 2017 sampai sekarang.

Dukungan Keluarga dan Cita-cita

Reza bersama istri dan dua anaknya. Foto: Dok. Pribadi
Di Redmond, Reza Ferrydiansyah tinggal bersama keluarga. Setelah memboyong istri usai menamatkan S2, dua anaknya lahir dan besar di Amerika Serikat. Dukungan besar pun mengalir untuk karier Reza.
“Istri saya memang sangat mendukung, ya. Dia benar-benar mendukung saya untuk mendapatkan itu. Sekarang juga dia tahu saya tertariknya (apa), kenapa saya di sini karena saya bisa solve problem yang menarik dan saya suka. Dia tahu saya senang banget dengan pekerjaan saya,” ujarnya.
Soal karier ke depan, Reza ingin bisa membuat suatu produk dengan dampak yang jauh lebih besar.
“Saya belajar bagaimana caranya secara teknis membangun hal-hal yang makin lama makin besar. Itu yang saya inginkan. Apa itu, saya enggak tahu,” terang Reza.
Meski begitu, ia tak tertarik membangun startup. Sebab, ia merasa tak cocok dilakukan di usia sekarang. Selain itu, risikonya lebih besar. Reza memilih untuk fokus ke teknis saja.
Saat ditanya soal panggilan kembali pulang ke Indonesia, pria yang hobi menghabiskan waktu dengan keluarga ini mengaku tergantung keperluannya seperti apa.
“Saya enggak bilang enggak, saya belum tentu menolak. Kalau masalahnya memang penting sekali dan pelik, saya bisa memecahkan dengan skill saya, maka oke. Gajinya juga harus yang bener, ya. Jangan kayak ‘Oh, kita enggak gaji, ya’, no,” jelas Reza.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten