Kisah Soeharto Kunjungi Bosnia-Herzegovina di Tengah Gejolak Peperangan

23 Juni 2022 16:17 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Soeharto saat kunjungan ke Bosnia. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto saat kunjungan ke Bosnia. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi akan melakukan kunjungan ke Rusia dan Ukraina pekan depan. Kedua negara tersebut tengah terlibat dalam konflik sengit sejak 24 Februari lalu.
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi memastikan bahwa ini bukanlah kunjungan yang biasa. Sebab lawatan yang akan dilakukan pekan depan ini dilakukan ketika Rusia dan Ukraina sedang berperang.
"Presiden Jokowi direncanakan akan mengunjungi Kiev, Ukraina dan Moskow, Rusia. Kunjungan kedua negara ini merupakan kunjungan yang dilakukan dalam situasi yang tidak normal," papar Retno pada Rabu (21/6/2022).
Jokowi rupanya bukan Presiden Indonesia pertama yang nekat melakukan kunjungan ke negara yang tengah berkonflik. Pada 1995, Presiden RI ke-2 Soeharto mengambil risiko untuk melawat ke Bosnia-Herzegovina. Saat itu Bosnia-Herzegovina berada di tengah gemuruh perang.
Kala itu, negara di semenanjung Balkan dihantam konflik saudara yang memakan ribuan korban selama 3 tahun. Perang itu melibatkan etnis-etnis Bosnia Herzegovina yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Soeharto, sebagai presiden dari pemimpin gerakan Negara Non-Blok, nekat bertolak ke Eropa untuk terjun ke area konflik secara langsung. Pak Harto berharap, kehadirannya di Bosnia dapat menjadi penengah konflik sekaligus menunjukkan simpati kepada umat Muslim Bosnia yang menjadi target serangan etnis lain di sana.

Sekilas Konflik Bosnia-Herzegovina

Soeharto saat kunjungan ke Bosnia. Foto: Dok. Istimewa
Bosnia-Herzegovina, atau yang secara umum dikenal sebagai Bosnia, adalah negara dengan penduduk yang multi-etnis. Tiga kelompok terbesar adalah etnis Bosniak (yang mayoritasnya beragama muslim), etnis Serb atau Serbia, dan etnis Kroat atau Kroasia (yang mayoritasnya beragama katolik).
Konflik Bosnia meletus mengikuti runtuhnya Republik Sosialis Federal Yugoslavia pada awal 1990. Menyusul langkah Slovenia dan Kroasia, Bosnia-Herzegovina memutuskan untuk memisahkan diri pada 1991.
Pada Desember 1991, Uni Eropa, yang saat itu masih dikenal sebagai Komunitas Eropa, mengakui kemerdekaan Slovenia dan Kroasia. Bosnia pun memiliki kesempatan untuk menggelar referendum kemerdekaan mereka di tahun berikutnya pada 1992.
ADVERTISEMENT
Referendum pun digelar pada akhir Februari hingga awal Maret 1992. Hasil referendum menunjukkan dukungan dari 99,7 persen pemilih yang menginginkan Bosnia-Herzegovina menjadi negara berdaulat.
Pengakuan internasional pun terus bermunculan dalam beberapa bulan setelahnya. Pada 22 Mei 1992, Bosnia-Herzegovina secara resmi menjadi anggota PBB.
Namun, etnis Serbia Bosnia secara tegas menentang kemerdekaan ini. Pasukan paramiliter Serbia Bosnia pun langsung menyerang ibu kota Sarajevo. Insiden ini kemudian diikuti oleh pengeboman kota oleh etnis Serbia dari unit tentara Yugoslavia yang ikut campur.
Selama April 1992, banyak kota di timur Bosnia-Herzegovina yang kebanyakan penduduknya adalah etnis Bosniak, seperti Zvornik, Foča, dan Višegrad, diserang oleh kombinasi pasukan paramiliter Serbia dan unit tentara Yugoslavia.
Warga Bosniak pun menjadi korban teror berkepanjangan dan diusir dari daerah tempat tinggal mereka. Proses ini digambarkan sebagai tindakan pembersihan etnis oleh dua pasukan gabungan tersebut.
ADVERTISEMENT
Meskipun Bosniak adalah korban utama dan Serbia adalah pelaku utama, etnis Kroat juga termasuk di antara korban dan pelaku tindakan ini.
Pada 1994, orang-orang etnis Bosniak membentuk aliansi dengan etnis Kroat. Aliansi mereka bersama-sama mempertahankan wilayah yang diakui PBB sebagai wilayah Bosnia-Herzegovina.

Tak Peduli Risiko: Soeharto di Bosnia-Herzegovina

Mantan Presiden Indonesia Soeharto dikediamannya, di Jakarta, 8 Maret 2000. Foto: Agus Lolong/AFP
Pada Maret 1995, Presiden Soeharto bersama rombongannya tiba di Eropa. Mereka sempat singgah di Zagreb, Kroasia dan bertemu langsung dengan Presiden negara itu Franjo Tudjman.
Soeharto dalam kunjungan ini dikawal oleh Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Sjafrie Sjamsoeddin dan Komandan Detasemen Pengawal Pribadi (Dandenwalpri) Presiden Unggul K. Yudhoyono.
Selain itu, turut pula Menteri Sekretariat Negara Moerdiono, Menteri Luar Negeri Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, juru foto kepresidenan Saidi, dan beberapa wartawan media di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Kroasia, rombongan Indonesia mendapat kabar tentang pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB, Yasushi Akashi, ditembak jatuh pada 11 Maret 1995 saat terbang ke Bosnia.
Namun, kabar ini tidak menciutkan nyali Soeharto. Pada 13 Maret 1995, Pak Harto pamit kepada Presiden Kroasia sebelum terbang ke Bosnia menggunakan pesawat sewaan buatan Rusia yang dibuat oleh PBB.
Sebelum pesawat lepas landas, rombongan Indonesia, termasuk Soeharto diminta untuk mengisi formulir pernyataan risiko. Formulir tersebut menyatakan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab atas kejadian apapun yang menimpa Soeharto dan rombongan dalam kunjungan tersebut.
Penerbangan Zagreb-Sarajevo memakan waktu satu setengah jam. Ketika rombongan diminta untuk bersiap mengenakan rompi dan helm pengaman, Pak Harto terlihat tetap tenang di kursinya.
ADVERTISEMENT
Sjafrie Sjamsoeddin saat itu duduk di depan Pak Harto sambil membawa helm dan rompi. Ia bermaksud supaya sang presiden meminta kedua pengaman tersebut untuk dikenakan. Namun, Pak Harto justru memberi instruksi yang aneh.
“Helmnya nanti masukkan Taman Mini, ya! Nanti helmnya masukkan ke Museum Purna Bhakti,” seru presiden kepada Sjafrie. Hal ini tertulis dalam kisah kunjungannya yang ditulis langsung oleh Sjafrie dalam buku Pak Harto: The Untold Stories.
Pak Harto juga enggan memakai rompi anti peluru seberat 12 kg seperti rombongan lainnya.
“Eh, Sjafrie, itu rompi itu kamu cangking (bawa) saja. Kamu cangking saja,” pinta Pak Harto.
Sjafrie pun mengiyakan. Pak Harto pada akhirnya mendarat hanya mengenakan jas dan kopiah. Padahal, setibanya rombongan di Sarajevo, Sjafrie sempat melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk merontokkan pesawat terbang.
ADVERTISEMENT
Untuk mengamankan presiden, Sjafrie pada akhirnya memutuskan untuk meminjam kopiah seorang wartawan dan menyembunyikan rompinya dibawah overcoat yang ia kenakan. Hal ini dilakukan agar ia terlihat seperti Soeharto untuk mengelabui penembak jitu.
Setelah melewati sniper valley --sebuah lembah yang penuh dengan penembak jitu dari kedua pihak yang bertikai--Soeharto tiba di Istana Kepresidenan Bosnia. Sjafrie menggambarkan keadaan di sana sangat memprihatinkan. Mereka bahkan tidak memiliki persediaan air bersih di istana.
Kedatangan rombongan Indonesia disambut hangat oleh Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovic. Usai makan siang, Pak Harto menugasi Menlu Ali Alatas untuk melakukan konferensi pers di ruangan lain.
Selama berada di Istana Kepresidenan, Sjafrie mengaku merasa khawatir, terutama setelah ia suara tembakan proyektil meriam yang hanya berjarak 3 km dari lokasi mereka.
ADVERTISEMENT
Ia pun bertanya kepada Presiden Soeharto, mengapa beliau bisa dengan berani mempertaruhkan nyawa dengan mengunjungi negara yang tengah berperang secara langsung.
“Pak, kenapa sedang sensitif begini, Bosnia sedang krisis, Bapak datang?” tanya Sjafrie.
"Ya, kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik dan mereka menjadi tambah semangat,” jawab Pak Harto.
“Tapi, ini kan risikonya besar?” tanya Sjafrie lagi.
“Ya itu kan bisa dikendalikan. Yang penting irang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat,” jelas Pak Harto.
ADVERTISEMENT
Jawaban Presiden Soeharto pun menenangkan Sjafrie. Ia mereka terkesima dengan ketenangan presiden.
"Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” tulis Sjafrie dalam buku itu.
“Kalimat yang diucapkannya bermuatan keteladanan yang berharga bagi siapa pun yang hendak memimpin,” sambungnya.

Masjid Istiqlal, Hadiah Soeharto untuk Bosnia

Lawatan Soeharto ke Bosnia mungkin tidak berhasil memunculkan solusi untuk mengakhiri konflik sebagaimana direncanakan. Namun, kunjungan itu menginspirasi sang Presiden untuk memberikan hadiah yang besar bagi penduduk muslim Bosnia.
Dalam kunjungannya, Suharto merenungkan ide untuk membangun sebuah Masjid di pusat ibu kota sebagai hadiah untuk rakyat Bosnia dan Herzegovina. Suharto pun mengerahkan pemerintahannya untuk mewujudkan idenya.
ADVERTISEMENT
Ia menunjuk Fauzan Noe'man, salah satu arsitek terkemuka Indonesia untuk merancang Masjid dan melanjutkan proyek tersebut. Noe'man dikenal atas karyanya dalam membangun Masjid Agung Batam, Masjid Baiturrahim di kompleks Istana Merdeka, dan juga Masjid At-Tin di Jakarta Timur dekat Taman Mini Indonesia Indah.
Proyek ini dimulai pada 1995, namun gejolak politik di Indonesia yang melengserkan Soeharto pada 1998, sempat menghentikan proses konstruksi.
Masjid ini selesai dibangun dan diresmikan pada September 2001 oleh Menteri Agama RI Said Agil Al Munawar. Masjid ini diberi nama Masjid Istiqlal, sama seperti masjid nasional Istiqlal di Jakarta.
Setahun kemudian pada September 2002, dalam kunjungan kenegaraannya ke Sarajevo, Presiden Megawati Soekarnoputri juga mengunjungi Masjid tersebut.
Penulis: Airin Sukono.
ADVERTISEMENT