Kisah Warga di Lereng Merapi yang Masak Gunakan Gas dari Kotoran Sapi

29 Juni 2022 11:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Purwanti (65) warga Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, sedang mengumpulkan kotoran sapi untuk ditampung di sumur biogas miliknya. Foto: Intan Alliva/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Purwanti (65) warga Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, sedang mengumpulkan kotoran sapi untuk ditampung di sumur biogas miliknya. Foto: Intan Alliva/kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB, kehidupan di Desa Sruni, Kabupaten Boyolali, sudah dimulai. Langit yang masih gelap, membuat hawa dingin semakin menyergap kulit di desa yang terletak di lereng Gunung Merapi tersebut.
ADVERTISEMENT
Suara lenguhan sapi dengan bau kotorannya yang khas menusuk indera penciuman. Namun, Setiyo (50) dengan sabar mengumpulkan kotoran-kotoran sapi itu di sebuah lubang. Lubang itu seperti semacam sumur yang terletak di belakang kandang sapi miliknya.
Bukan tanpa tujuan, ia mengumpulkan puluhan kilogram kotoran sapi itu. Kotoran sapi itu kelak nantinya akan ia olah menjadi biogas yang menghidupkan dapur miliknya.
Setiyo bukan peternak sapi sembarang, ia merupakan ketua kelompok tani Agni Mandiri. Sekaligus orang pertama yang mengawali adanya biogas di kampung dengan udara sejuk ini.
Dulu, Setyo kerap mendapati dua tetangga dekatnya ribut soal tahi sapi. Itu dulu, sebelum tahun 2012, tahun di mana teknologi biogas mulai berkembang di desanya.
Ribut soal tahi sapi atau lethong biasa orang menyebutnya, bukanlah hal baru di Desa Sruni. Acap kali kotoran sapi yang terbawa masuk ke halaman tetangga memicu konflik selain bau busuk yang menusuk hidung.
Setiyo (50) warga Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah sedang memasak menggunakan kompor biogas. Foto: Intan Alliva/kumparan
Namun, ia pun tak bisa apa-apa sebab ia juga peternak sapi yang mungkin limbahnya ikut terbawa air hujan dan mencemari halaman tetangganya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Setiyo, ribut antar tetangga juga dirasakan oleh Darmaji. Beberapa kali, ia menegur tetangga dekatnya karena kotoran sapi. Kotoran sapi dari kandang-kandang tetangganya itu kerap melimpah ke halamannya.
Sejak dahulu kala, Desa Sruni,  Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali dikenal sebagai salah satu penghasil susu sapi terbesar di Boyolali.
Masyarakat yang hidup di kaki Gunung Merapi itu memang menggantungkan hidupnya dari beternak sapi perah. 
Plang di rumah salah satu warga Desa Sruni bertuliskan "Sentra produk olahan pangan berbasis energi terbarukan." Foto: Intan Alliva/kumparan
Di daerah berudara dingin itu, tahun demi tahun jumlah sapi terus meningkat. Setiap rumah di desa itu setidaknya memiliki 2 atau 3 sapi perah.
Tak ayal, hal ini berimbas pada tercemarnya lingkungan mereka.  Kotoran sapi terlihat menumpuk di segala tempat, meski warga sudah berupaya membuat lubang semacam septic tank untuk menampung kotoran sapi. Namun, itu tak pernah cukup. Dan, limbah cair dan padat menjadi persoalan besar.
ADVERTISEMENT
Para peternak lantas tersadar, mereka harus berjuang untuk menyelesaikan masalah limbah kotoran sapi ini.
Berbekal ilmu yang ia pelajari sendiri, Setiyo dengan jabatannya sebagai ketua kelompok tani kemudian membangun sebuah sumur selebar 3 meter dengan kedalaman 190 centimeter di dekat kandang sapinya. Limbah cair dan padat dari sapi-sapi  kemudian ditampung di sumur berkapasitas 2.400 kilogram itu.
Purwanti (65) warga Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, sedang mengumpulkan kotoran sapi untuk ditampung di sumur biogas miliknya. Foto: Intan Alliva/kumparan
Sumur itu, terhubung dengan panel gas sederhana dan juga pipa-pipa. Dari situ, limbah padat dan cair yang berasal kotoran sapi itu diubah menjadi gas metana. Mengalirkan gas, dan menghidupkan kompor di rumahnnya.
"Dulu itu, di sini orang biasa ribut karena lethong sapi. Ribut antar tetangga, karena kan lethong itu dulu hanya dibuat pupuk dan tidak pernah ada ruang yang cukup untuk menampung lethong-nya itu. Jadi kami berpikir apakah lethong-lethong sapi ini bisa dimanfaatkan sebagai biogas," ujar dia, Rabu (29/6).
ADVERTISEMENT
"Saya belajar sendiri, saya ikut berbagai workshop tentang biogas, dan saya mendapatkan satu model biogas yang paling murah dan yang bisa saya bangun di sini," ungkap bapak dua anak itu.
Mulanya hanya Setiyo, lalu diikuti Darmaji, Narto, Budi Santoso, Pujo Suminah, Suyat, Suyatno, Sarji, Paminto, dan Siyatman. Mereka merupakan anggota kelompok tani. Saat ini instalasi biogas telah terpasang di rumah 169 warga Desa Sruni lainnya. Hal yang sangat membahagiakan bagi Setiyo.
"Dulu perjuangan sekali, karena kita ndak tahu teknologinya kita bukan sarjana. Benar-benar belajar sendiri, tapi di tahun 2012 akhirnya kita berhasil membuat sumur biogas pertama di sini. Ya di rumah saya ini. Dan Alhamdullilah sekarang total sudah 181 keluarga yang beralih ke biogas di desa ini," ujar Setiyo.
ADVERTISEMENT
Setiyo mengakui, urusan limbah kotoran sapi di desanya bukanlah hal yang sepele. Bagaimana tidak, setiap keluarga di desa ini setidaknya menghasilkan 50 kilogram kotoran sapi setiap harinya.
"Kotoran sapi, ya lethong-nya ya pipisnya itu memang jadi masalah besar. Setiap warga di sini setidaknya punya 1 sapi. Dan, 1 sapi dewasa lethong-nya itu 25 kilogram. Saya ada 3 sapi, 1 besar 2 kecil itu satu hari 50 kilogram lah kotorannya. Kotoran sebanyak itu mau dibuang di mana kalau tidak dimanfaatkan," ujar dia.
Sembari menyerok kotoran sapi ke sumur biogasnya, Setiyo dengan raut muka bangga mengatakan, Desa Sruni kerap menjadi desa percontohan bagi desa-desa lain di Indonesia untuk pemanfaatan biogas. Baru-baru ini bahkan sekelompok peneliti dari Jerman mendatangi rumahnya yang asri.
ADVERTISEMENT
"Banyak yang belajar ke sini, dari Jateng ya banyak, Jatim ya Banyak. Sumatera ya ada, kemarin ada yang dari Jerman ke sini katanya mau penelitian. Saya senang karena banyak orang yang semakin tahu soal biogas," kata doa.
Salah satu ibu rumah tangga,  Purwanti (65) mengakui biogas bisa menghemat pengeluaran bahan bakar gas untuk rumah tangga.
Ia bercerita, dalam sebulan biasanya menghabiskan tiga atau empat tabung elpiji ukuran 3 kilogram. Namun, semenjak ia membangun instalasi biogas, ia jadi bisa mengirit. Setahun, ibu 3 anak ini hanya butuh 2 atau tiga tabung gas isi tiga kilogram.
"Saya punya 2 sapi. Sudah cukup untuk kebutuhan masak sehari hari. Apinya juga biru, lebih aman dan ndak berbau. Meskipun modal awalnya cukup besar tapi Alhamdulillah ada bantuan dari pemerintah jadi ringan. Dan sekarang tidak lagi bergantung sama gas pertamina lagi," ucap wanita yang akrab disapa Mbok Pur sambil memasak air di kompor biogasnya.
ADVERTISEMENT
Darmaji juga berucap hal yang sama. Meski butuh modal cukup banyak di awal pembangunannya. Kini ia tinggal memetik hasil manis dari usahanya. Hampir selama 10 tahun ia tak lagi bergantung dengan gas elpiji dari pertamina.
"Modal awalnya itu sekitar Rp 3 juta. Tapi kita mendapat bantuan dari salah satu lembaga pembiayaan tanpa bunga dan jadilah sumur biogas ini. Sangat hemat, setahun saya paling butuh 2 tabung gas saja buat jaga-jaga," jelas dia
Selain menghemat gas, biogas juga menghemat penggunaan kayu bakar. Kebiasaan menebang pohon untuk kayu bakar juga perlahan ditinggalkan.
"Biogas itu hemat waktu, hemat tenaga hemat uang karena dulu selain pakai gas elpiji kita juga pake kayu bakar. Dan kayu bakar itu carinya di ladang-ladang di hutan, kalau sudah habis terpaksa kita tebang pohon. Sekarang sudah enggak lagi, lingkungan semakin asri. Apalagi pohon kan salah satu penghasil oksigen untuk kita. 1 pohon menghasilkan oksigen untuk 2 orang. Bayangkan kalau pohon-pohon di sini habis ditebang hanya untuk kayu bakar," ujar dia.
ADVERTISEMENT

Limbah Biogas Tingkatkan Hasil Tani

Purwanti dan ratusan ibu rumah tangga lainnya tersenyum, ampas atau limbah akhir biogas yang disebut bio slurry juga meningkatkan hasil tani dan perkebunan mereka.
Berbondong bondong warga desa yang juga menggantungkan hidupnya dari perkebunan bunga mawar, mulai menanam berbagai macam sayuran.
Bagi ibu rumah tangga macam Mbok Pur, selain menanam bunga mawar, kini ia juga sibuk menanam berbagai macam sayuran di halaman-halaman rumah mereka.
Rumah bentuk joglo dengan halaman yang luas itu, ia tanami dengan terong, cabai, kangkung, labu sayur dan buah pepaya. Tak lupa ia gunakan pula, bio slurry sebagai pupuk yang menyuburkan tanah. Selain, dimakan sendiri, mereka juga menjual hasil kebun mereka ke pasar.
"Limbahnya biogas itu kan bisa digunakan jadi pupuk toh. Ini saya sirami terus sama bio slurry ini. Pohon mawar yang saya tanam semenjak pakai bio slurry juga semakin rimbun, bunganya besar-besar. Saya juga menanam kangkung, pepaya, waluh buat dimakan dan dijual lagi," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Peluang lain juga dimanfaatkan oleh Asriyah istri Setiyo, ia bersama puluhan ibu lainnya yang tergabung KTH Agni Mandiri memanfaatkan biogas untuk memproduksi olahan pangan bernilai jual.
Ada keripik pisang, keripik labu, keripik talas, dan keripik ubi ungu. Semua panganan ringan itu diolah menggunakan biogas. Tanaman-tanaman pangan itu disuburkan melalui pupuk limbah dari biogas.
Keseriusan masyarakat Sruni dalam pengolahan limbah juga terbukti ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengganjar desa itu dengan penghargaan Proklim 2021 usai sukses Kembangkan Biogas.
Terbaru desa yang juga ditinggali  3.107 ekor sapi perahnya itu tengah fokus mengikuti lomba Desa Wana Lestari tingkat Nasional.
Kini Setiyo dan kelompok taninya juga mengembangkan biogas portable dengan sumber bahan bakar sayuran sisa dan limbah dapur lainnya. Teknologi ini masih disempurnakan sebelum digunakan.
ADVERTISEMENT
Kini, Setiyo berharap biogas menjadi energi alternatif yang dikedepankan. Tak muluk-muluk ia hanya menginginkan 600 keluarga yang tinggal Desa Sruni lainnya mau beralih ke energi ramah lingkungan ini.
"Saya berharap banyak masyarakat yang beralih ke biogas ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan ini. Selain melestarikan lingkungan, biogas juga membuat hasil tanam kita subur dan warga desa bisa berdikari melalui teknologi ini. Demi Indonesia yang lebih baik lagi," kata Setiyo lantang.