Kisah Wawan, Tukang Becak di Yogya Berkaki Satu yang Terus Berjuang

2 Agustus 2019 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Wawan Setiawan, tukang becak berkaki satu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Pada Jumat (2/8) siang, Kota Yogyakarta sedang terik-teriknya. Di depan gedung Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Wawan Setiawan (48) masih setia menunggu penumpang.
ADVERTISEMENT
Hari ini dia mungkin sedang tak terlalu mujur, belum ada satu pun penumpang yang menggunakan jasa becaknya. “Sehari ini belum narik,” ujar pria kelahiran Kaliangkrik, Magelang, itu.
Sejak tahun 1990, Wawan memilih menjadi tukang becak. Namun, pada 2015 pekerjaannya menjadi lebih berat lantaran harus mengayuh dengan satu kaki.
Di tahun 2014 kaki kanannya harus diamputasi karena terjerembab di sebuah lumbang sampah yang sedang dibakar, tepatnya di daerah Magelang.
“Saya pulang kerja terus menginjak lubang yang ada apinya bekas bakar-bakar sampah. Itu tahun 2013. Terus diamputasi tahun 2014 di RSPAU Hardjolukito dibantu rombongan sedekah,” katanya.
Wawan Setiawan, tukang becak berkaki satu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Usai menjalani perawatan sekitar 16 bulan, Wawan dibantu berbagai pihak untuk kesembuhannya. Di tahun 2015 dia kembali mengayuh becak karena tetap ingin mandiri dan bekerja.
ADVERTISEMENT
Dengan satu kakinya dan dua buah kruk atau penyangga, Wawan mengayuh becak saban hari demi penghidupannya.
“Saya dari kecil sudah biasa bekerja. Jadi kalau enggak bekerja badan sakit semua. Kesulitan (mengayuh) awalnya iya, tapi kepepet enggak ada kerjaan lain,” katanya.
Setiap bulannya, Wawan paling tidak harus bisa memperoleh penghasilan Ro 600 ribu. Jumlah tersebut merupakan uang yang harus dibayarnya untuk sewa rumah kontrakan di Tahunan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Di sanalah istri dan anaknya yang berusia 2 tahun tinggal.
Wawan Setiawan, tukang becak berkaki satu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
“Penghasilan tidak mesti, kadang Rp 30 ribu kadang Rp 50 ribu per hari,” ujarnya.
Untuk menambah penghasilan, Wawan terkadang memilih untuk tidak pulang. Dia rela menginap di seputaran TBY. Dengan begitu dia lebih mudah untuk mengantar para pedagang yang beraktivitas pagi di Pasar Beringharjo.
ADVERTISEMENT
Semangat dan optimisme selalu berkobar dalam diri Wawan. Dengan percaya diri, dia mengaku masih bisa mengayuh seperti tukang becak dengan dua kaki lainnya. Jalan menanjak mampu dihadapinya dengan membawa dua penumpang.
“Alhamdulillah saget ngontel (bisa ngayuh). Sekali narik ya paling 500 meter sampai satu kilometer. Saya bawa dua orang (penumpang) masih kuat lewat Gondolayu itu (jalan menanjak),” katanya.
Wawan tak mematok tarif jasanya alias seikhlas penumpang. Itu menjadi prinsip hidupnya. Dengan prinsip itu, dia justru sering mendapat uang tambahan dari penumpang. Bahkan ada penumpang yang mengajaknya makan.
Wawan Setiawan, tukang becak berkaki satu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
“Lebih banyak mangkal (enggak narik). Tapi kadang ada penumpang yang ngasih lebih, diajak makan. Tapi saya enggak minta banyak, tapi mereka kasih Rp 100 ribu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi ada pula penumpang yang mengurungkan niat menggunakan jasa becak karena melihat kondisi Wawan. Bagi Wawan itu bukanlah masalah, dia sadar diri.
“Ada yang penumpang nolak saya. Tapi, ya, enggak apa-apa saya menyadari," ujarnya.
"Ini becak sudah milik saya, dulu nyewa, rugi. Nyewa Rp 10 ribu per hari. Satu tahun ini baru saya beli becak Rp 700 ribu,” imbuhnya.
Usai bercerita soal pekerjaannya sebagai tukang becak, Wawan mengisahkan pengalamannya semasa kecil. Dia mengatakan sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya yang meninggal dunia karena sakit. Di usia 7 tahun, Wawan sudah biasa bekerja serabutan di Kota Magelang saat itu.
“Tidak sekolah, dari kecil di jalan. Umur 3 tahun ditinggal orang tua meninggal. Di Magelang umur 7 tahun jualan koran dan nyemir-nyemir sepatu, yang penting enggak menyusahkan orang lain,” katanya.
ADVERTISEMENT
Prinsip itulah yang tetap Wawan pegang hingga saat ini. Bahkan dia menolak jika harus beralih ke becak motor (bentor) yang sebenarnya memudahkan dirinya. Alasannya dia tidak ingin melanggar peraturan.
“Enggak mau saya bentor karena enggak ada izinnya, kan. Kalau listrik ada, ya, saya mau. Kalau enggak ada izin, risiko,” katanya.
Cita-citanya pun sederhana. Wawan hanya ingin sehat dan tetap bisa makan. “Nggih nek ada (pekerjaan) lainnya becak ya enggak apa-apa. Becak terus ya, enggak apa-apa, yang penting tubuh segar, waras, bisa makan,” ujarnya.