Komisioner KPU Arief dan Evi Gugat Putusan DKPP 'Final dan Mengikat' ke MK

23 Juni 2021 14:40 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner KPU Arief Budiman dan Evi Ginting daftarkan gugatan ke MK. Foto: Dok. Arief Budiman
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner KPU Arief Budiman dan Evi Ginting daftarkan gugatan ke MK. Foto: Dok. Arief Budiman
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua komisioner KPU RI, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting, mengajukan gugatan uji materiil terhadap Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut mengatur bahwa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat. Berikut bunyinya:
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat
"Hari ini saya dan Bu Evi mengajukan permohonan judicial review UU 7/2017 terkait dengan frasa putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat," kata Arief kepada wartawan, Rabu (23/6).
Kuasa hukum Arief dan Evi, Fauzi Heri, mengatakan dalam permohonan itu pihaknya meminta MK memberikan tafsir atas penerapan pasal tersebut.
Komisioner KPU Arief Budiman dan Evi Ginting daftarkan gugatan ke MK. Foto: Dok. Arief Budiman
Ia meminta MK perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak tepat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan.
Menurut Fauzi, sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU RI, KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Keputusan Presiden, KPU RI, KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN.
Sehingga apakah peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar Keputusan Presiden, KPU RI, KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah kewenangan peradilan TUN.
"DKPP bukanlah badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," kata Fauzi.
Plt Ketua DKPP Muhammad memimpin sidang etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Kamis (16/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Putusan Final dan Mengikat DKPP Meresahkan Penyelenggara Pemilu

Fauzi menyatakan, para pemohon merasa resah selama melaksanakan tugas sebagai penyelenggara pemilu karena dibayangi tindakan sewenang-wenang DKPP.
Sebab DKPP memiliki kekuasaan absolut dalam memberikan sanksi dan predikat pelanggar etika bagi seluruh penyelenggara pemilu dengan putusan final dan mengikat. Keresahan itu turut dirasakan para penyelenggara pemilu lainnya dari pusat hingga daerah.
ADVERTISEMENT
Fauzi menuturkan, sifat final dan mengikat putusan DKPP membuat tugas para pemohon seperti melakukan koordinasi, supervisi, dan arahan kepada KPU di daerah menjadi terkendala. Hal itu terjadi lantaran KPU daerah yang secara hierarki merupakan bawahan dari KPU, lebih mendengarkan arahan DKPP karena takut mendapatkan sanksi.
Komisioner KPU Arief Budiman dan Evi Ginting daftarkan gugatan ke MK. Foto: Dok. Arief Budiman

Arief dan Evi Alami Kerugian Konstitusional

Fauzi menambahkan, sifat putusan DKPP yang final dan mengikat sekaligus menimbulkan kerugian konstitusional bagi 2 kliennya.
Ia menyebut DKPP atau setidaknya sejumlah anggota DKPP masih tidak mengakui Evi sebagai anggota KPU yang sah. Padahal sudah ada putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Keppres sebagai tindak lanjut putusan DKPP. Presiden Jokowi pun tak melakukan banding atas putusan tersebut.
Kerugian konstitusional juga dialami Arief yang dinyatakan melanggar etika karena mendampingi Evi di PTUN Jakarta. Padahal, kata dia, tindakan itu sesungguhnya merupakan salah satu hak untuk memastikan anggotanya dalam semangat kolektif kolegial agar mendapatkan hak atas pengadilan yang adil.
ADVERTISEMENT