Komisioner KPU Evi Novida Tak Terima Dipecat DKPP, Siap Gugat ke PTUN

19 Maret 2020 21:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner KPU Evi Novida tiba di Gedung KPK, Jumat (24/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner KPU Evi Novida tiba di Gedung KPK, Jumat (24/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisioner KPU, Evi Novida Ginting, buka suara terhadap putusan DKPP yang memberhentikannya secara tetap dalam sidang putusan pada Rabu (18/3).
ADVERTISEMENT
Evi menilai putusan DKPP tersebut cacat hukum dan tidak dapat dilaksanakan. Ia pun mengancam menggugat putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Saya akan mengajukan gugatan (ke PTUN) untuk meminta pembatalan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020. Dalam gugatan tersebut, saya akan menyampaikan alsan-alasan lainnya agar pengadilan dan publik dapat menerima adanya kecacatan hukum dalam putusan DKPP ini," ujar Evi dalam pernyataannya, Kamis (19/3).
Evi pun merinci kecacatan hukum dalam putusan DKPP tersebut. Pertama, pengadu dalam hal ini caleg DPRD Kalbar dari Gerindra, Hendri Makaluasc, telah mencabut pengaduan dalam sidang DKPP tanggal 13 November 2019.
Anggota KPU Evi Novida Ginting Manik Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
"Akibat dari pencabutan Pengaduan oleh Pengadu maka diartikan pengadu sudah menerima dan sudah tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas terbitnya Keputusan KPU Kalbar Nomor 47/PL,01.9-Kpt/Prov/IX/2019 yang dibuat atas dasar Berita Acara Rapat Pleno Tertutup tanggal 11 September 2019, yang didasarkan Surat KPU RI tanggal 10 September 2019 Nomor 1937/PY.01-SD/06/KPU/IX/2019," kata Evi.
ADVERTISEMENT
Menurut Evi, DKPP hanya memiliki kewenangan secara pasif mengadili pelanggaran kode etik yang diajukan pengadu. Artinya, kata dia, DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaan etik secara aktif bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan pelanggaran etik. Sehingga Evi menilai DKPP tidak mempunyai dasar untuk menggelar peradilan etik lagi dalam pengaduan Hendri tersebut.
"Pelaksanaan peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan seperti dalam perkara ini, sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh UU 7/2017 kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang pasif atau DKPP tidak dapat bertindak bila tidak ada pihak yang dirugikan," ucapnya.
Evi pun menyatakan KPU hanya mengikuti putusan MK seperti apa adanya dan tidak menafsirkan. Namun dalam putusan pemberhentiannya, kata Evi, DKPP justru mengambil peran menentukan mana penafsiran putusan MK yang benar terkait sengketa hasil pemilu DPRD Kalbar.
Plt Ketua DKPP Muhammad memimpin sidang etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Kamis (16/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Lebih lanjut, kata Evi, putusan DKPP tersebut tidak melaksanakan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang mewajibkan pleno pengambilan keputusan dihadiri paling sedikit 5 anggota DKPP. Sementara putusan DKPP yang memberhentikannya hanya dihadiri 4 anggota DKPP.
ADVERTISEMENT
"Putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan," tutup Evi.
Kasus ini bermula dari aduan seorang caleg Gerindra nomor urut I untuk DPRD Kalbar, Hendri Makaluasc. Ia mengadukan adanya penggelembungan caleg separtainya nomor urut 7, Cok Hendri Ramapon, sebanyak 2.414 suara.
Hendri Makaluasc mengajukan keberatan ke Bawaslu Sanggau, kemudian MK. Bawaslu Kabupaten Sanggau memutuskan mengoreksi suara Cok Hendri Ramapon dikuatkan Putusan Bawaslu RI. Perolehan suara Cok Hendri Ramapon semula 6.599 menjadi 3.964 suara.
Bawaslu telah menyampaikan kepada KPU RI untuk mengoreksi hasil rapat pleno penetapan anggota DPRD Kalbar Dapil Kalbar VI, namun KPU mengesampingkan rekomendasi Bawaslu itu.
Sementara MK memutus ada kekurangan suara terhadap perolehan Hendri Makaluasc di 19 desa di Dapil VI Kalbar sebesar 59 suara. Sehingga suara Hendri bertambah dari 5.325 menjadi 5.384 suara.
ADVERTISEMENT
Suara Hendri Makaluasc setelah disidangkan di MK terbukti lebih besar ketimbang Cok Hendri Ramapon di mana perolehannya berubah dari 6.599 menjadi 4.185 suara.
Namun, KPU hanya mengoreksi suara tanpa menetapkan Hendri sebagai calon terpilih.