Komnas Penilai Obat: Efek Samping Bukan Satu-satunya Faktor Tolak Obat Corona
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Hari ini, Kamis (19/8), laporan terbaru obat corona dari tim Unair baru diserahkan ke BPOM. Hasilnya akan dievaluasi lebih lanjut, termasuk meninjau kemungkinan adanya efek samping.
Meski demikian, anggota Komnas Penilai Obat, Prof. Rianto Setiabudi, menegaskan kemungkinan efek samping obat corona bukan faktor satu-satunya tim menolak obat tersebut. Sebab, yang dipertimbangkan adalah benefit dari obat itu sendiri.
"Contohnya, obat antikanker itu efeknya dahsyat sekali, tapi, toh, kita setujui. Kenapa? Karena bisa perpanjang umur orang. Mohon dimengerti, efek samping bukan satu-satunya pertimbangan," kata Rianto dalam keterangan pers mengenai perkembangan uji klinik obat kombinasi baru untuk COVID-19 kerja sama Unair, TNI AD, BIN, di Kantor BPOM.
Menurut Rianto, efek samping obat bisa diminimalisasi dengan melakukan modifikasi dosis. Tak hanya obat corona, banyak obat selama ini memang memiliki efek samping.
ADVERTISEMENT
"Efek samping seringkali dikurangi dengan modifikasi dosis, misal dikurangi, diberikan sesudah makan. Kita harus berpikir luas," tutur Rianto.
Obat baru Unair merupakan hasil kombinasi dari tiga jenis obat. Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Kepala BPOM, Penny Lukito, mengaku timnya masih mengevaluasi hasil uji klinik obat Unair. Meski demikian, Penny mengakui obat corona merupakan obat keras yang tentunya memiliki efek samping.
"Kalau aspek side effect itu masih lanjut, itu jangka panjang, ini kan masih baru. Ini obat kombinasi, obat keras tentunya ada aspek side effect yang ditimbulkan, sehingga tak bisa sembarangan apalagi yang tidak sakit," tutur Penny.
ADVERTISEMENT
"Kalau sakit, berarti kan pemberian obatnya karena terpaksa, tapi antisipasi side effect-nya. Sangat penting sekali kita melihat impact dosis yang sudah dirancang. Dikaitkan efek, resistensi, jadi perlu betul-betul ketaatan aspek validitas," sambungnya.
Penny pun membeberkan beberapa koreksi terkait inspeksi obat tersebut. Obat corona Unair belum merepresentasikan randomisasi sesuai protokol dan sistem internasional. Padahal, hal ini penting untuk menunjukkan validitas research.
"Ditemukan temuan kritis yang ada beberapa yang kaitannya dengan randomization atau (sampling) acak. Suatu research harus melakukan sistem acak sehingga merepresentasikan populasi obat itu diberikan, yakni masyarakat Indonesia," urai Penny.
"Kemudian ada OTG (orang tanpa gejala) yang diberikan obat, padahal menurut protokolnya tidak perlu diberikan obat. Kita harus mengarah ke pasien penyakit ringan, sedang, dan berat. Tentu dengan keterpilihan masing-masing," jelas dia.
ADVERTISEMENT
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
***