Kontaminasi Paracetamol di Teluk Jakarta Perlu Penelitian Lebih Lanjut

5 Oktober 2021 20:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Burung Cangak Abu hinggap di ranting pohon yang dipenuhi sampah plastik di kawasan pesisir Jakarta. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Burung Cangak Abu hinggap di ranting pohon yang dipenuhi sampah plastik di kawasan pesisir Jakarta. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Temuan kontaminasi paracetamol di perairan Teluk Jakarta tengah menjadi perhatian masyarakat. Peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof. Etty Riani, mengungkapkan perlu penelitian lebih lanjut terkait temuan ini.
ADVERTISEMENT
Prof. Etty juga menyampaikan kadar paracetamol yang ditemukan di Teluk Jakarta masih terhitung kecil.
“Kalau dilihat dari jumlah 600 ng/L, itu sifatnya nonakut. Sehingga tidak akan menjadi mematikan dalam jumlah tersebut,” kata Prof. Etty, saat menyampaikan paparan “Paracetamol: Penyebab Laut Terkontaminasi, Dampak, Pengelolaannya” pada Media Briefing secara virtual di Jakarta, Selasa (5/10).
Webinar Paracetamol: Penyebab Laut Terkontaminasi, Dampak, Pengelolaannya, Selasa (5/10). Foto: Dok. KLHK
Hal yang perlu diperhatikan bahwa lingkungan merupakan sistem yang saling terkait. Oleh karena itu, dia mengingatkan perlu ada penanganan lebih lanjut agar tidak menimbulkan gangguan.
“Sosialisasi kepada masyarakat juga perlu dilakukan. Jika ingin lingkungan bersih, sehat dan nyaman, maka setiap individu harus peduli lingkungan,” jelasnya.
Dari hasil Penelitian Pusat Oseanografi LIPI-BRIN, konsentrasi paracetamol di Teluk Jakarta yaitu sebesar 420-610 ng/L. Artinya terdapat kandungan 420-610 gram paracetamol dalam 1 juta meter kubik air laut.
Peneliti dari BRIN Zainal Arifin. Foto: Dok. Istimewa
Prof. Zainal Arifin, seorang peneliti yang mengamati tingginya konsentrasi paracetamol pada buangan air limbah mendominasi air di Teluk Jakarta, Indonesia, menjelaskan riset paracetamol dan bahan pencemar ini dilakukan sejak 2017 sampai 2020.
ADVERTISEMENT
Dari lima lokasi penelitian yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priuk, Cilincing dan Pantai Eretan, paracetamol terdeteksi di dua lokasi yaitu Ancol dan Angke.
“Dari 4 parameter yaitu parameter fisik hasilnya aman bagi biota, dan parameter logam berat terlarut umumnya aman. Sedangkan nutriens seperti ammonia, nitrate, dan fosfat melebihi baku mutu. Sementara, parameter lainnya seperti pcb dan pestisida juga aman bagi biota laut,” terangnya dalam kesempatan yang sama.
Webinar Paracetamol: Penyebab Laut Terkontaminasi, Dampak, Pengelolaannya, Selasa (5/10). Foto: Dok. KLHK
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan paracetamol yang menjadi bahan penelitian tersebut merupakan bagian dari berbagai upaya di dunia untuk meneliti Contaminants of Emerging Concern (CEC).
CEC adalah bahan kimia sintetis atau alami yang biasanya tidak dipantau di lingkungan, tetapi memiliki potensi untuk memasuki lingkungan dan menyebabkan efek yang sudah diketahui atau diduga memiliki efek terhadap ekologis dan (atau) kesehatan manusia.
Dirjen PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati. Foto: Dok. Istimewa
Kontaminan baru ini muncul karena belum cukup pengetahuan untuk memastikan efek samping dari bahan kimia, sehingga dapat dipahami risiko yang terkait dengan kesehatan masyarakat dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
“Saat ini belum ada baku mutu air terkait dengan paracetamol dan hal ini termasuk emerging pollutan. Dari paparan para ahli juga jumlahnya relatif kecil, dan kecil kemungkinan untuk mengganggu kesehatan, ” ujarnya.
Dalam hal ini, KLHK menghargai penelitian tersebut. Hal ini menunjukkan Indonesia sudah memiliki perhatian terhadap isu Contaminants of Emerging Concern dan memiliki kemampuan penelitian dengan menggunakan peralatan Advanced Analytical Techniques untuk mendeteksi bahan kimia dengan konsentrasi yang sangat kecil, seperti yang dimiliki oleh Laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi.
Alat berat mengeruk endapan sampah dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Berbicara mengenai tantangan penanganan pencemaran di Teluk Jakarta, Plt. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro mengatakan, Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai.
Kalau dilihat dari segi daya dukung dan tampung, memang sebagian besar dari Jakarta dipengaruhi oleh daerah di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Upaya paling efisien untuk penanganannya yaitu dilakukan sejak dari sumbernya. Jadi masing-masing daerah melakukan identifikasi sumber pencemarnya. Jadi kunci utamanya yaitu kolaborasi untuk perbaikan kualitas air laut di Jakarta khususnya,” kata Sigit.
Plt Dirjen PPKL KLHK Sigit Reliantoro. Foto: Dok. Istimewa
Untuk menindaklanjuti pengelolaan bahan kimia farmasetika dan Contaminants of Emerging Concern, KLHK dan BRIN akan membentuk Working Group Pengelolaan Contaminants of Emerging Concern, bekerja sama dengan kementerian teknis terkait dan perguruan tinggi.
KLHK juga bekerja sama dengan Kemenkes untuk sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat-obatan baik terutama obat yang tersedia bebas di pasaran.