Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga

20 Februari 2020 5:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sejumlah pasal dalam draf RUU Ketahanan Keluarga menuai kritikan dari masyarakat karena dianggap terlalu mengatur wilayah privasi seseorang. Dalam RUU tersebut mengatur kewajiban istri dalam keluarga, penyimpangan seksual, hingga aturan donor sperma.
ADVERTISEMENT
Berikut sejumlah hal yang dianggap kontroversial di dalam RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi polemik di tengah masyarkat;
Ilustrasi air mani dan sperma. Foto: Shutterstock
Donor sperma dan praktik surogasi (sewa rahim) untuk mendapatkan keturunan menjadi poin yang diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam RUU ini, jika ketahuan melakukan praktik donor sperma atau sewa rahim, pelaku bisa dipenjara selama lima tahun atau didenda Rp 500 juta.
Dalam RUU Ketahanan Keluarga, aturan pelarangan donor sperma diatur dalam Pasal 31, Pasal 139, dan Pasal 140. Pasal tersebut berbunyi:
Pasal 31
(1) Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
ADVERTISEMENT
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 140
Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ilustrasi rahim. Foto: Thinkstock
Sedangkan larangan sewa rahim atau surogasi diatur dalam Pasal 32, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143. Isi pasal tersebut adalah:
ADVERTISEMENT
Pasal 32
(1) Setiap Orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan surogasi untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 142
Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tahun) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Pasal 143
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
ilustrasi keluarga Foto: Shutterstock
Dalam Pasal 25 Ayat 3, disebutkan peran seorang istri wajib mengatur urusan rumah tangga hingga memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama. Ayat tersebut berbunyi:
(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:
a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
ADVERTISEMENT
b. menjaga keutuhan keluarga; serta
c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewajiban suami diatur dalam Pasal 25 Ayat 2, sebagai berikut:
a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;
b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;
c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta
d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi LGBT Foto: REUTERS/Marko Djurica
Pasal 85-87 RUU ketahanan Keluarga mengatur mengenai kewajiban keluarga melakukan rehabilitasi hingga bimbingan terhadap anggota keluarga yang memiliki penyimpangan seksual.
Pihak keluarga juga wajib melaporkan anggota keluarga yang memiliki penyimpangan seksual kepada lembaga yang nantinya ditunjuk untuk menangani masalah tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 85, disebutkan jenis-jenis penyimpangan seksual meliputi:
ADVERTISEMENT
Pasal 85
Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa:
a. rehabilitasi sosial;
b. rehabilitasi psikologis;
c. bimbingan rohani; dan/atau
d. rehabilitasi medis.
Pasal 86
Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 87
Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
ilustrasi kekerasan pada anak Foto: Shutterstock
RUU ini merupakan usulan perorangan yang disampaikan lima anggota DPR yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari PKS, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Ali Taher dari PAN, dan Endang Maria dari Golkar.
ADVERTISEMENT
Endang Maria selaku salah satu pihak yang mengajukan RUU Ketahanan Keluarga mengungkapkan asalnya mengajukan RUU itu. Ia berkaca dari banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual hingga narkoba.
"Latar belakangnya kita melihat dari anak terkena narkoba. Kemudian anak yang terpapar pornografi, kekerasan seksual, bullying. Inilah yang melatarbelakangi kenapa kita waktu itu di Kemensos, Agama, perlindungan anak itu kan ketika bersinergi program itu dan baru bisa diminimalisir," kata Endang di Gedung DPR, Senayan, Rabu (19/2).
Endang berharap RUU Ketahanan Keluarga mampu mencegah kekerasan anak tidak lagi terjadi di Indonesia.
"Itu rencananya adalah gimana pertahanan keluarga itu mampu mencegah itu semua. Itu ide awalnya," ucap dia.
Meski begitu, Endang mengaku belum membaca secara keseluruhan RUU Ketahanan Keluarga yang sudah masuk dalam prolegnas prioritas itu. Sebab, kata dia, pihaknya baru membahas dalam proses diskusi awal.
ADVERTISEMENT
Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai ada pelanggaran norma etika yang dilakukan pemerintah dalam menyusun draf RUU Ketahanan Keluarga. Sejumlah aturan terkait peran istri, penanganan krisis keluarga, hingga penyimpangan seksual dibahas dalam RUU itu.
"Itu norma etika kesalahan paling besar membentuk UU," ujar Feri usai menghadiri pertemuan di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (19/2).
Feri berpendapat selain menyalahi norma etika, pemerintah dan DPR telah melanggar pasal 96 UU 12 Tahun 2001 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Enggak boleh (tak melibatkan masyarakat) gitu. Dari awal, tengah dan akhir diminta masukan masyarakat. Pasal 96 mewajibkan itu partisipasi publik," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu substansi yang menurutnya tak perlu dibahas dalam RUU tersebut adalah terkait peran istri hingga keharusan seorang anak bersikap sopan di depan orang tua.
"Jadi anak patuh kepada orang tua kan etika, tak perlu diundangkan karena sudah hidup dan tertanam di masyarakat. Tiba-tiba ternyata ada perbedaan langsung jadi pidana sanksi yang lain. Padahal perbedaan itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan," jelasnya.
Substansi mengenai keharusan seorang istri untuk mengurus rumah tangga tanpa bekerja juga dinilai sebagai pelanggaran privasi dan HAM. Feri mengatakan setiap keluarga memiliki aturan soal pembagian tugas antara suami dan istri tanpa adanya pembatasan.