Kota-kota China Diawasi Ketat Polisi usai Protes Nasional Tolak Lockdown

29 November 2022 16:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polisi China. Foto: Tyrone Siu/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Polisi China. Foto: Tyrone Siu/REUTERS
ADVERTISEMENT
Pengawasan ketat mencengkeram kota-kota besar China pada Selasa (29/11). Selama akhir pekan lalu, demonstrasi nasional meletus untuk menyerukan kebebasan politik dan pengakhiran lockdown COVID-19.
ADVERTISEMENT
Kehadiran polisi yang berat terlihat di Beijing dan Shanghai. Ratusan kendaran dan petugas melakukan patroli di jalanan.
Massa telah merencanakan protes lanjutan. Tetapi, rencana tersebut tidak terwujud. Sebab, masyarakat yang menghadiri unjuk rasa menerima panggilan telepon dari petugas penegak hukum yang meminta informasi tentang pergerakan mereka pada Senin (28/11).
Protes akhir pekan dengan lantang menyerukan pengunduran diri Presiden China, Xi Jinping, di Shanghai. Staf bar di dekat lokasi demonstrasi itu mengatakan, mereka kini diperintahkan untuk tutup pada pukul 22.00 malam sebagai langkah 'pengendalian penyakit'.
Sejumlah demonstran memegang kertas putih saat menggelar unjuk rasa pembatasan COVID-19 di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Sekelompok kecil petugas pun dikerahkan menuju pintu keluar metro di dekat daerah tersebut. Petugas menahan empat orang sebelum membebaskan salah satunya pada Senin (28/11).
Hingga 12 mobil polisi berada dalam jarak seratus meter sepanjang Jalan Wulumuqi yang menjadi titik fokus protes pada Minggu (27/11).
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pengerahan polisi, rasa frustrasi akan kebijakan nol-COVID masih tampak jelas di antara warga Shanghai.
"Kebijakan sekarang terlalu ketat. Mereka membunuh lebih banyak orang daripada Covid," ujar seorang pejalan kaki berusia 17 tahun yang tidak mau disebutkan namanya, dikutip dari AFP, Selasa (29/11).
Warga itu menambahkan, dia dikepung polisi ketika melintasi daerah tersebut. Dalam rekaman suara yang dia bagikan, seorang pria terdengar meminta alamatnya. Sebagai tanggapan, dia menegaskan bahwa penegak hukum tidak berhak untuk memintanya.
Sejumlah demonstran memegang kertas putih saat menggelar unjuk rasa pembatasan COVID-19 di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Pemerintah China menghadapi protes yang tidak pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Amarah warga akan lockdown yang tidak henti-hentinya akhirnya memicu frustrasi yang mengakar terhadap sistem politik negara itu secara keseluruhan.
Amarah ini semakin berkobar usai peristiwa kebakaran di Kota Urumqi, Xinjiang, pada Kamis (24/11). Para demonstran mengatakan, pembatasan terkait corona menghambat upaya penyelamatan.
ADVERTISEMENT
Membantah klaim tersebut, pemerintah menuduh adanya pihak dengan motif tersembunyi yang menghubungkan kematian akibat kebakaran dengan pengendalian ketat COVID-19.
Protes yang awalnya mengkritik kebijakan pengendalian wabah ini lantas berkembang menjadi seruan untuk perubahan politik.
Para pengunjuk rasa mengacungkan lembaran kertas putih kosong untuk melambangkan penyensoran oleh pihak berwenang. Aksi mereka terus berlanjut di wilayah-wilayah lain.
Puluhan orang berkumpul di Chinese University di Hong Kong untuk meratapi para korban kebakaran di Urumqi.
"Jangan berpaling. Jangan lupa," teriak para pengunjuk rasa.
Sejumlah demonstran memegang kertas putih saat menggelar unjuk rasa pembatasan COVID-19 di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Lebih dari 170 kilometer di barat daya Shanghai, protes juga berlangsung di pusat Hangzhou. Namun, pengamanan ketat menyebabkan sepuluh orang ditahan dalam demonstrasi itu.
"Suasananya kacau. Orangnya sedikit dan kami terpisah. Polisinya banyak, ricuh," kata seorang demonstran.
ADVERTISEMENT
Unjuk rasa meluas sangat jarang terlihat di sana. Pasalnya, otoritas menindak semua oposisi terhadap pemerintah pusat dengan keras.
Pengendalian informasi dan pembatasan perjalanan juga membuat verifikasi jumlah pengunjuk ras di seluruh negeri menjadi tantangan.
Walau begitu, aksi solidaritas turut menjamur di seluruh dunia. Komunitas internasional berbahasa Mandarin berkumpul di Amerika Serikat (AS) untuk memperingati nyawa yang hilang di Urumqi.
"Para pejabat meminjam dalih Covid, tetapi menggunakan lockdown yang sangat ketat untuk mengontrol populasi China. Mereka mengabaikan nyawa manusia," ujar seorang mahasiswa China bermarga Chen.
"Mereka mengabaikan nyawa manusia dan menyebabkan banyak orang mati sia-sia," lanjutnya.
Warga beraktivitas di jalan yang diblokir di daerah perumahan saat lockdown akibat kasus COVID-19 di distrik Huangpu, Shanghai, China pada Kamis (16/6/2022). Foto: Hector Retamal/AFP
Para pemimpin China berkomitmen pada strategi nol-COVID yang memaksa pemerintah daerah dengan cepat memberlakukan lockdown dan karantina hanya untuk menanggapi wabah kecil.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, ada tanda-tanda bahwa beberapa otoritas lokal melonggarkan beberapa aturan dan meredam demonstrasi.
Seorang pejabat mengumumkan rencana untuk memberikan dana satu kali sebesar CNY 300 (Rp 658 ribu) kepada setiap orang berpenghasilan rendah atau tanpa pendapatan di Urumqi.
Dia juga menyebut pembebasan sewa lima bulan untuk beberapa rumah tangga. Sementara itu, Beijing telah memikirkan ulang pemblokiran terhadap pemukiman yang menghadapi lockdown.
"Beijing melarang praktik memblokir gerbang bangunan di kompleks perumahan yang tertutup," lapor kantor berita resmi Xinhua.
Seorang komentator media pemerintah yang berpengaruh juga menyarankan pelonggaran kontrol COVID-19. Dia bersikeras bahwa publik akan segera tenang.
"Saya dapat memberikan prediksi mutlak: China tidak akan menjadi kacau atau lepas kendali," cuit Hu Xijin dari tabloid Global Times.
ADVERTISEMENT
"China mungkin keluar dari bayang-bayang Covid-19 lebih cepat dari yang diperkirakan," imbuh dia.