KPAI: 43% Siswa Keluhkan Kuota untuk Belajar Online

8 Agustus 2020 10:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah murid SD Negeri Jakung mengikuti proses belajar mengajar secara daring di pos ronda di tepi jalan supaya bisa mendapat sinyal di Kampung Gunungsari, Serang, Banten, Rabu (29/7). Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah murid SD Negeri Jakung mengikuti proses belajar mengajar secara daring di pos ronda di tepi jalan supaya bisa mendapat sinyal di Kampung Gunungsari, Serang, Banten, Rabu (29/7). Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei terbaru terkait sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi virus corona.
ADVERTISEMENT
Komisioner KPAI Retno Listyarti menjelaskan, survei dilakukan atas latar belakang banyaknya keluhan siswa maupun guru terkait belajar online yang masih terkendala berbagai persoalan.
"Dilatarbelakangi pengaduan di KPAI 246 pengaduan yang dilakukan anak-anak yang keluhkan belajar daring. Yang dikeluhkan guru dan murid sama. Pertama, banyaknya tugas karena guru harus mencapai kecapaian kurikulum. Kedua, anak-anak keluhkan tidak memiliki alat," jelas Retno dalam diskusi SMART FM secara virtual, Sabtu (8/8).
Komisioner bidang pendidikan Retno Listyarti saat konferensi pers tentang KPAI di awal 2019 mencatat banyaknya kasus-kasus anak di bidang pendidikan, Jakarta, Jumat (15/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dalam survei yang dilakukan di 34 provinsi dan melibatkan setidaknya 1.700 responden, KPAI fokus pada pertanyaan kepemilikan alat, kuota, hingga sinyal untuk PJJ.
"Hasilnya cukup mengejutkan, anak-anak mengeluhkan kuota yang paling tinggi. Kuota cukup tinggi hingga 43 persen, yang tak punya alat 29 persen dari 1.700 responden. Kemudian yang tidak memiliki semuanya 16 persen," ungkap Retno.
ADVERTISEMENT
Persoalan yang sama juga dialami oleh guru-guru, apalagi yang honorer. Di mana ia harus mengajar murid-muridnya secara daring, tapi di sisi lain untuk membeli kuota pun bisa melebihi biaya kehidupannya sehari-hari.
Sejumlah siswa SD belajar secara "online" atau daring di Waroeng D'Abing, Desa Bitera, Gianyar, Bali, Kamis (6/8). Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO
"Guru-guru juga sama, enggak punya, apalagi guru honorer. Anaknya juga sekolah daring, dia harus melayani muridnya. Beli kuota bisa lebih mahal dari biaya makan mereka," tuturnya.
Namun, Retno mengakui survei KPAI ini juga tidak merepresentasikan anak-anak, khususnya di luar Pulau Jawa, yang tak mengikuti survei ini. Sebab, survei KPAI dilakukan secara online, dan hanya diisi oleh mereka yang memiliki gawai.
"Kemungkinan besar anak-anak yang tak punya gawai, atau tidak punya semuanya tidak ada di survei kami. Di luar Jawa 50 persen tak punya alat. Kalau dikelompokkan, luar Jawa lebih tinggi tidak terlayani daring," ujar Retno.
ADVERTISEMENT

KPAI Apresiasi Kurikulum Darurat

Guru memberikan pengarahan kepada murid saat hari pertama masuk sekolah di SDN 11 Marunggi, Pariaman, Sumatera Barat. Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO
Di sisi lain, KPAI juga mengapresiasi Kemendikbud yang mengeluarkan kurikulum darurat bagi sekolah yang masih memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi COVID-19.
Menurut Retno, kurikulum darurat ini diharapkan bisa menjadi solusi dengan PJJ yang masih bermasalah di sejumlah daerah.
"Kurikulum darurat itu juga sebenarnya bisa menjadi salah satu cara bantu PJJ yang saat ini sangat bermasalah. Walaupun lumayan terlambat, karena harusnya perpanjang PJJ dengan tetap buka tahun ajaran baru, artinya siap kurikulum darurat," kata Retno.
Meski begitu, ia meminta ketegasan dari Kemendikbud terkait penerapan kurikulum darurat, apakah diberlakukan di semua sekolah atau hanya menjadi kurikulum alternatif.
=====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
ADVERTISEMENT