KPK Jawab Kritik ICW soal Minim Tangani Korupsi dengan Kerugian Negara

23 Mei 2022 19:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK menanggapi temuan ICW soal penanganan kasus korupsi di tahun 2021. Khususnya tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara.
ADVERTISEMENT
ICW mencatat berdasarkan pemantauan terkait tren vonis sepanjang tahun 2021, ada sekitar Rp 62,9 triliun kerugian negara yang timbul karena korupsi. Dari jumlah tersebut, ICW menyebut bahwa KPK hanya menangani 1 persen di antaranya, yakni sekitar Rp 800 miliar.
Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, menyebut temuan itu menjadi masukan sebagai bahan evaluasi ke depan.
"Namun masih sangat perlu didiskusikan lebih jauh terkait metode analisis dalam proses pengambilan kesimpulannya," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/5).
Ali menyebut, kajian ICW itu mencampuradukkan pembahasan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan pasal-pasal suap dan sejenisnya yang dominan ditangani oleh KPK.
“Padahal, perlu kita garis bawahi, yang berkaitan dengan kerugian negara hanya Pasal 2 atau 3 UU Tipikor saja,” kata dia.
ADVERTISEMENT
“Lalu, jika kita juga memahami hukum dengan baik, tipologi korupsi pasal suap secara normatif tidak ada kaitannya dengan kerugian negara,” tambah Ali.
Analisis ICW itu pun dianggap Ali sebagai hal yang salah kaprah. Sebab, kata dia, ICW mengesampingkan aspek pidana badan dan pidana pengganti.
“Dari analisis yang salah kaprah tersebut, maka kesimpulan prematur yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru. Terutama pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya,” kata dia.
Pidana tambahan lainnya pun beragam bentuk, termasuk pencabutan hak politik, yang beberapa kali KPK terapkan dan tuntut kepada para terdakwanya.
Selain itu, Ali juga mengatakan bahwa pemantauan yang dilakukan ICW itu juga perlu memasukkan pembahasan tentang ‘subsider hukuman’ yang merupakan hak terpidana.
ADVERTISEMENT
“Sehingga bisa jadi, pengembalian Kerugian Keuangan Negara tersebut digantikan dengan hukuman badan. Mekanisme tersebut berlaku sah demi hukum,” terang Ali.

Data Tandingan KPK

Juru Bicara KPK, Ali Fikri. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kata Ali, KPK melalui fungsi yang dijalankan Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) berupaya optimal melakukan asset recovery.
Pemulihan aset yang dimaksud Ali dilakukan melalui dari pelacakan aset yang maksimal terhadap harta dan kekayaan yang dimiliki para pelaku korupsi hingga pengelolaan barang bukti. Salah satunya agar aset yang disita dan dirampas tidak mengalami depresiasi nilai saat pelaksanaan lelangnya.
Selain itu, juga melalui eksekusi yang dijalankan oleh Jaksa atas putusan pengadilan. Berdasarkan UU yang baru, kata dia, kini fungsi eksekusi menjadi tugas pokok fungsi KPK. Sehingga Jaksa Eksekutor juga bisa melakukan penyitaan.
ADVERTISEMENT
“Langkah-langkah ini sebagai penguatan dan optimalisasi pemulihan kerugian keuangan Negara oleh KPK,” kata Ali.
“Analisis yang tidak komprehensif ini tentu sangat disayangkan karena bisa membelokkan informasi bagi masyarakat, maupun para pemerhati dan akademisi yang konsen terhadap perkembangan ilmu hukum,” tambah Ali.
Lebih jauh, Ali menunjukkan data aset recovery KPK. Ia menyebut bahwa pada tahun 2020, KPK berhasil melakukan asset recovery sebesar Rp 294.778.133.050. Kemudian pada tahun 2021, naik lebih dari 41%, dengan nilai total Rp416.941.569.376.
Lalu pada tahun 2022 berjalan, data per 31 Maret, mencapai Rp 183.157.346.649. Perhitungan pemulihan aset tersebut berasal dari denda, uang pengganti, dan rampasan.
Kemudian penerapan pasal pencucian uang, sebagai salah satu instrumen untuk mengoptimalkan asset recovery, KPK mencatat telah menangani sejumlah 44 perkara. Untuk tahun 2021, terdapat sejumlah 6 perkara.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, Ali pun menekankan bahwa perkara yang ditangani KPK sejumlah 791 dari total 1231 merupakan kasus suap, atau lebih dari 64%. Delik tersebut, secara normatif, tidak ada kerugian keuangan negaranya.
“Publik penting memahami, tindak pidana korupsi jangan hanya disederhanakan menyoal kerugian keuangan negara,” kata Ali.
“KPK tentu berharap, kajian-kajian tentang pemberantasan korupsi dapat disusun dengan komperehensif berbasis data dan fakta yang akurat, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan agar memberikan manfaat bagi perbaikan upaya pemberantasan korupsi ke depannya,” pungkas Ali.