KPK OTT 2 Pejabat Negara dan Tangkap Azis Syamsuddin Jelang Pemecatan Novel dkk
ADVERTISEMENT
Rencana pemecatan 56 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada 30 September masih menuai kontroversi.
ADVERTISEMENT
Pemberhentian 56 pegawai di antaranya Giri Suprapdiono, Novel Baswedan, Yudi Purnomo, dan Harun Al Rasyid itu lebih cepat dari rencana awal yakni pada 1 November 2021. KPK beralasan hal ini merupakan kesepakatan berdasarkan rapat pada 13 September 2021.
Percepatan tanggal pemecatan pegawai itu disampaikan dalam konferensi pers pada 15 September lalu.
Terhitung sejak menggelar konpers, KPK justru menggelar 2 kali OTT terhadap pejabat negara dan menangkap Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin .
Pada tanggal 15 September malam, KPK menggelar OTT di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Dalam OTT itu, KPK menangkap 7 orang, namun hanya 3 di antaranya dijerat sebagai tersangka KPK.
Para tersangka tersebut adalah Maliki selaku Plt Kadis PU pada Dinas PUPRT Kabupaten HSU sekaligus PPK dan KPA; Marhaini selaku Direktur CV Hanamas; dan Fachriadi selaku Direktur CV Kalpataru.
ADVERTISEMENT
Maliki diduga menerima suap Rp 345 juta dari 2 kontraktor itu terkait proyek irigasi di Pemkab HSU.
Kemudian pada 21 September, KPK menangkap Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur, Kepala BPBD Kolaka Timur Anzarullah, dan empat orang lainnya.
KPK pun menetapkan Andi Merya Nur dan Anzarullah sebagai tersangka. Andi Merya diduga menerima suap dari Anzarullah senilai Rp 250 juta. Suap ini diduga terkait dana hibah relokasi dan rekonstruksi dari BNPB.
Terakhir pada Jumat, 25 September, alias Jumat keramat, KPK menangkap Azis Syamsuddin di kediamannya di kawasan Pondok Indah, Jaksel.
Azis ditangkap karena telah berstatus tersangka penyuapan terhadap eks penyidik KPK, Stepanus Robin, senilai Rp 3,1 miliar. Tujuannya agar Azis terhindar dari penyelidikan KPK di Lampung Tengah.
ADVERTISEMENT
Entah pesan apa yang coba disampaikan KPK ketika menggelar 2 kali OTT dan penangkapan Azis jelang pemecatan Novel dkk. Yang jelas, para pegawai tersebut dipecat tanpa diberi pesangon dan uang pensiun. Mereka hanya menerima Tunjangan Hari Tua (THT).
"THT merupakan dana tunai yang diberikan oleh KPK kepada penasihat dan pegawai sebagai jaminan kesejahteraan pada saat berakhirnya masa tugas (purna tugas)," ujar juru bicara KPK, Ali Fikri.
Surat Keputusan pemberhentian pun sudah dibagikan kepada para pegawai. Langkah pimpinan KPK itu dinilai berani. Sebab, hanya melandaskan pada putusan MA dan MK yang menyatakan TWK konstitusional. Vonis pengadilan itu dinilai hanya memeriksa TWK secara konstitusi.
Sementara temuan Ombudsman dan Komnas HAM bahwa TWK bermasalah tidak menjadi pertimbangan. Padahal, Ombudsman dan Komnas HAM memeriksa teknis pelaksanaan tes alih status pegawai KPK menjadi ASN itu.
"Bisa jadi yang dilakukan Pimpinan KPK adalah ingin beri tahu kita bahwa hukum tidak ada wibawa," kata penyidik senior KPK, Novel Baswedan, Kamis (23/9).
ADVERTISEMENT
Novel yang sudah bertugas di KPK sejak 2007 itu menilai Firli Bahuri dkk merupakan pimpinan lembaga antirasuah yang paling berani. Namun, pemberani dalam hal yang salah.
"Ini masa Pimpinan KPK paling berani, tapi sayangnya justru berani melawan hukum," kata Novel.