KPK: OTT Kepala Daerah Tak Lepas dari Oligarki dan Kepentingan Ekonomi

10 Juni 2020 2:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Dok. KPK
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Dok. KPK
ADVERTISEMENT
Sejak lahir pada 2002, KPK telah seringkali menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah. Bahkan kepala daerah yang ditangkap KPK, baik gubernur, bupati atau wali kota, jumlahnya mencapai lebih dari 100 orang.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kepala daerah yang ditangkap KPK ialah Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah. Saiful ditangkap karena diduga menerima suap lebih dari Rp 1 miliar dari kontraktor.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan selama ini penindakan KPK, khususnya terhadap kepala daerah, tidak lepas dari praktik oligarki atau pemerintahan yang dijalankan kelompok tertentu.
"Kalau kita ikuti penindakan KPK, terutama dikaitkan OTT kepala daerah, sebetulnya tidak lepas dari politik oligarki. Di sana kita pahami Pilkada tidak lepas dari kepentingan ekonomi," ujar Alex dalam webinar bertajuk 'Memahami Oligarki, Aspek Ketatanegaraan, Ekonomi, dan Politik Pemberantasan Korupsi' pada Selasa (9/6).
Alex menambahkan, praktik oligarki tersebut juga tak lepas dari biaya Pilkada yang mahal. Sehingga ketika terpilih, kepala daerah tersebut berupaya melakukan segala cara, termasuk korupsi, untuk mengembalikan modal politiknya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Konferensi pers terkait OTT Pasuruan, Jakarta, Jumat (5/10/2018). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Biaya politik di Indonesia sangat mahal. Ini jadi problem sehingga kepala daerah, calon kepala daerah, dan caleg cari sponsor. Ini menimbulkan rentetan perilaku koruptif kalau terpilih, faktanya memang seperti itu," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Alex berharap masyarakat bisa memutus rantai praktik oligarki dengan benar-benar memilih kepala daerah berdasarkan hati nurani, bukan iming-iming politik uang.
"Bagaimana supaya ke depan kami harap Pilkada ini kan sudah lewat, demokrasi harapannya ketika dipilih demokratis bisa cerminkan kehendak masyarakat luas, bukan kehendak kelompok minoritas atau kelompok tertentu," ucapnya.
"Kami harap demokrasi bisa dilakukan cerdas, masyarakat bisa memilih sesuai hati nurani, bukan karena imbalan atau iming-iming sesuatu yang sesaat," tutupnya.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.