KPK Pernah Ancam Tuntut Mati Koruptor Bansos Corona Sebelum OTT Pejabat Kemensos

5 Desember 2020 12:27 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekhawatiran adanya pihak-pihak yang memanfaatkan momentum pandemi corona untuk mendapatkan keuntungan akhirnya terjadi. KPK menangkap pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) atas dugaan suap terkait bansos corona.
ADVERTISEMENT
Pejabat yang belum diketahui identitasnya itu diduga menerima suap dari para vendor bansos di Kemensos.
"Dugaan korupsi PPK (pejabat pembuat komitmen) telah menerima hadiah dari para vendor PBJ (pengadaan barang dan jasa) bansos di Kemensos RI dalam penanganan pandemi COVID-19," kata Ketua KPK, Firli Bahuri, kepada wartawan, Sabtu (5/12).
Sebelum OTT ini, KPK sejak awal mengawasi penggunaan dana bansos hingga penyalurannya ke masyarakat. KPK ingin memastikan bansos yang disalurkan untuk membantu masyarakat terdampak corona benar-benar tepat sasaran.
Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan kasus dugaan korupsi di PT Dirgantara Indonesia di Gedung KPK, Jakarta. Foto: Humas KPK
Bahkan suatu saat, Firli pernah mengultimatum pihak-pihak yang mencoba menyelewengkan dana bansos bakal berhadapan dengan KPK. Ia pun tak main-main, pelaku bakal dituntut hukuman mati sesuai Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.
ADVERTISEMENT
"Saya ingatkan, jangan pernah berpikir, coba-coba, atau berani korupsi dana bansos. KPK pasti akan mengambil opsi tuntutan hukuman mati," ujar Firli pada 29 Agustus.
"Kondisi pandemi COVID-19 tentunya masuk atau memenuhi unsur 'dalam keadaan tertentu' sesuai Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga hukuman mati layak menjadi hukuman bagi pelaku koruptor bansos," lanjutnya
Firli menegaskan pihak yang berani korupsi dana bansos sangat kejam dan tega. Sebab dana tersebut sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang terdampak pandemi corona.
"Orang yang berani korupsi jelas tidak beriman. Ketamakan dan nafsu membutakan mata, menutup rapat daun telinga dari pilu nyaring jeritan pedih saudaranya," kata Firli.
Kementerian Sosial salurkan bantuan sosial (bansos) untuk lanjut usia (lansia) terdampak pandemi corona di 5 provinsi. Foto: Kemensos
Adapun OTT pejabat Kemensos memang terkait bansos corona. Namun, KPK belum menjelaskan tindak pidana yang terjadi lantaran pihak-pihak yang terjaring OTT masih diperiksa intensif.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, Firli baru menyebut kasus ini terkait dugaan penerimaan suap. Jika hanya terkait suap, Pasal di UU Pemberantasan Tipikor yang biasanya diterapkan bukanlah Pasal 2 ayat (2).
Penerima suap biasanya dikenakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Ancaman pidana dalam Pasal tersebut maksimal 20 tahun penjara.
Berikut bunyi Pasal 12 huruf a atau huruf b:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
ADVERTISEMENT
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pemberi suap biasanya dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. Ancaman pidana bagi pemberi suap maksimal 5 tahun penjara.
Berikut bunyi Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
ADVERTISEMENT
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor:
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Ilustrasi KPK Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sedangkan merujuk pernyataan Firli, hukuman mati yang dimaksud jika kasusnya terkait dugaan korupsi dana corona yang bisa menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
Kasus korupsi seperti ini biasanya dikenakan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor. Berikut bunyinya:
ADVERTISEMENT
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Adapun syarat 'keadaan tertentu' di Pasal 2 ayat (2) bisa membuat pelaku dijatuhi pidana mati. Syarat 'keadaan tertentu' tersebut berada di bagian penjelasan yakni:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Sementara itu Pakar Pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksmana Bondan, menyatakan kasus ini tidak bisa diterapkan Pasal 2 ayat (2) dengan ancaman pidana mati.
ADVERTISEMENT
Sebab, berdasarkan keterangan sementara KPK, perkara OTT pejabat Kemensos bukanlah perkara korupsi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, melainkan suap.
"Enggak bisa diancam pidana mati, karena bukan dijerat dengan Pasal 2 ayat (2), melainkan dengan Pasal 13 bagi pemberinya dan Pasal 11 bagi penerimanya, mengingat pemberian sebagai hadiah (suap -red)" ucapnya.
Lantas apakah kasus ini akan diterapkan pasal korupsi atau suap? Mari tunggu konferensi pers KPK.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: