KPK soal Kerja Sama MLA RI-Swiss: Kapasitas Penegak Hukum Tetap Jadi Poin Utama

14 Juli 2020 22:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nawawi Pomolango pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023 saat sesi foto dengan kumparan, Jakarta, Rabu (17/9/2018). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Nawawi Pomolango pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023 saat sesi foto dengan kumparan, Jakarta, Rabu (17/9/2018). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
DPR telah mengesahkan UU Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dengan Swiss. UU itu mengatur pelacakan, membantu menghadirkan saksi, hingga mencari keberadaan seseorang dalam kasus hukum.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menghargai pengesahan tersebut. Ia berharap hal itu bisa berkontribusi kepada penegak hukum sesuai dengan apa yang diatur dalam UU tersebut.
"Semoga bisa berkontribusi pada penegakan hukum sesuai ruang lingkup MLA," kata Nawawi, dalam keterangannya, Selasa (14/7).
Meski ada UU MLA, Nawawi menggarisbawahi mengenai upaya pengembalian aset hasil korupsi dalam perjanjian kerja sama itu. Menurut dia, penegak hukum Indonesia juga harus tetap dituntut profesional dan bisa bekerja dengan baik meski ada MLA.
"Keahliannya untuk memetakan keberadaan alat bukti, memetakan keberadaan aset di dalam dan luar negeri. Dengan adanya MLA, dasar hukum kerja sama Internasional jadi lebih kuat. Tapi kapasitas penegak hukum kita tetap jadi poin utama," kata dia.
Ilustrasi Pertarungan Penyidik KPK Foto: Indra Fauzi/kumparan
Ia pun menyinggung mengenai komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK, kata dia, memandang ada hal yang sangat dibutuhkan saat ini adalah UU mengenai perampasan aset dan pengaturan sejumlah tindak pidana korupsi sesuai United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
ADVERTISEMENT
"Beberapa aturan korupsi yang di dunia Internasional sudah disebut korupsi tapi di Indonesia belum, misalnya peningkatan kekayaan secara tidak sah, memperdagangkan pengaruh, korupsi di sektor swasta, dan suap terhadap pejabat publik asing," ujarnya.
Hal tersebut sudah diatur dalam UNCAC, namun Indonesia sendiri belum menerapkannya. Ia berharap, hal itu juga bisa jadi perhatian dan diterapkan di Indonesia.