KPK Tagih Jokowi soal DIM Revisi UU KPK

12 September 2019 9:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif di kediaman almarhum BJ Habibie. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif di kediaman almarhum BJ Habibie. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi akhirnya menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK untuk dibahas di DPR. Namun, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengaku pihaknya belum menerima draf dari pemerintah terkait poin apa saja yang perlu direvisi di UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Sampai hari ini kita belum mendapatkan salinan lengkap dari DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang disampaikan oleh pemerintah kepada DPR," ujar Syarif saat melayat ke rumah duka Presiden ke-3 RI BJ Habibie, di Kuningan, Jakarta, Kamis (12/9).
Istana sebelumnya mengonfirmasi Jokowi telah mengirim Surat Presiden (Surpres) ke DPR. Surpres itu berisi persetujuan pemerintah membahas revisi UU KPK, disertai penunjukan menteri yang akan terlibat dalam pembahasan.
Bersamaan dengan surpres itu juga, Jokowi menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait hal-hal yang perlu direvisi dalam UU KPK oleh DPR.
"Kita berharap isinya (DIM) betul-betul mempertahankan KPK. Dan kami juga berharap kiranya daftar DIM yang disampaikan kepada KPK," tutur Syarif.
Dalam kesempatan sebelumnya, Syarif mengaku ia bersama pimpinan KPK akan menemui Jokowi untuk meminta kejelasan revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Pimpinan KPK akan minta bertemu dengan Pemerintah dan DPR karena kami tidak mengetahui pasal-pasal mana saja yang akan direvisi," kata Syarif saat dihubungi kumparan, Rabu (11/9).
Sebagai catatan, revisi UU KPK saat ini menuai penolakan dari banyak pihak, termasuk dari KPK, karena dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Ada sejumlah poin yang dinilai membatasi kewenangan KPK sebagai lembaga independen.
Poin-poin itu yakni menjadikan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), mengubah kewenangan penyadapan, membentuk Dewan Pengawas yang dipilih DPR, KPK tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peralihan pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), serta kewenangan KPK untuk menghentikan perkara (SP3).
Juga, penyadapan dipersulit dan dibatasi, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, hingga penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT