news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

KPU: Ada 669.737 Daftar Pemilih Tambahan

21 Maret 2019 12:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner KPU Viryan Azis, saat ditemui di Rapat Koordinasi dan Rekapitulasi DPTb. Foto: Efira Tamara Thenu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner KPU Viryan Azis, saat ditemui di Rapat Koordinasi dan Rekapitulasi DPTb. Foto: Efira Tamara Thenu/kumparan
ADVERTISEMENT
Hingga Kamis (21/3), jumlah Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencapai 669.737 pemilih. Meski begitu, KPU telah menutup periode untuk mengurus dokumen pindah pemilih sejak 17 Maret 2019.
ADVERTISEMENT
"Sampai dengan pagi ini, rekapitulasi pemilih yang melakukan kegiatan pindah memilih atau daftar pemilih tambahan, sebanyak 669.737 pemilih," ujar Komisioner KPU Viryan Aziz saat ditemui di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/3)
Sebanyak 669.737 pemilih tambahan ini terdiri dari 376.261 laki-laki dan 293.476 perempuan. Jumlah pemilih tambahan ini merupakan hasil dari kegiatan pindah memilih yang diurus di daerah tujuan dan pemilih yang mengurusi di daerah asal serta sudah mengkonfirmasi kepindahannya di daerah tujuan.
Namun, KPU menekankan, jumlah pemilih tambahan masih bisa naik. Sebab, proses rekapitulasi masih terus berlangsung.
"Dan angka ini masih akan bertambah, karena sore hari ini akan dilaksanakan kegiatan rekapitulasi DPTb nasional sampai dengan esok hari," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, KPU telah menutup waktu untuk mengurus dokumen perpindahan pemilih. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, batas waktu pelayanan pindah memilih TPS yaitu H-30 sebelum hari pencoblosan.
Untuk nasib para pemilih pindahan yang belum mengurus DPTb, KPU akan mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak menutup kemungkinan KPU masih bisa melayani pemilih DPTb, jika gugatan sejumlah masyarakat terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, beberapa elemen masyarakat menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 karena dianggap berpotensi menghilangkan hak pilih rakyat.