KPU Dinilai Tergesa-gesa Susun Aturan Penetapan Hasil Pemilu dan Jadwal Pilkada

25 Januari 2024 17:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapat Komisi II DPR RI dengan KPU Bawaslu dan DKPP untuk konsultasi peraturan pemilu. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Komisi II DPR RI dengan KPU Bawaslu dan DKPP untuk konsultasi peraturan pemilu. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan atau dikenal Kemitraan mengkritik penyusunan tiga Peraturan KPU (PKPU).
ADVERTISEMENT
Tiga PKPU ini pertama terkait rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan penetapan hasil Pemilu, kedua rancangan PKPU tentang penetapan pasangan calon terpilih, dan ketiga rancangan PKPU tentang tahapan jadwal penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota tahun 2024.
Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M. Syarif, mengatakan Pemilu yang demokratis sudah semestinya menerapkan prinsip keterbukaan. Oleh sebab itu, keterlibatan publik dalam memantau prosesnya harus dibuka lebar.
"Namun nampaknya kali ini KPU selaku penyelenggara Pemilu mulai melupakan ruh keterbukaan tersebut," ucap Laode dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (25/1).
Laode M. Syarif saat menghadiri diskusi Implementasi Komitmen Global Indonesia di Level Nasional di Gedung C1 KPK, Jakarta, Selasa (10/12). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Laode menjelaskan, PKPU tentang rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan penetapan hasil Pemilu, peran saksi dari non-partai tak diakui secara tegas kedudukannya dalam proses rekapitulasi berjenjang dari kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi.
ADVERTISEMENT
Laode M. Syarif mengatakan, hal tersebut sama saja dengan mengurangi peran check and balances dari elemen masyarakat sipil dalam proses rekapitulasi karena hanya saksi dari partai yang diakui.
“Semestinya saksi dari non-partai juga diberikan otoritas yang sama seperti saksi dari partai. Sehingga mekanisme check and balances bisa berjalan optimal,” kata Syarif.
Petugas KPPS menggunakan sistem Sirekap sebagai alat bantu penghitungan suara yang tersambung dengan server KPU RI, saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor KPU Jakarta Timur, Jakarta, Senin (18/12/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Kemitraan menyoroti KPU yang menggunakan formulir C1 yang diunggah ke situs Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) sebagai pembanding proses rekapitulasi manual berjenjang.
Mereka menilai KPU belum menjelaskan mekanisme yang menjamin formulir C1 yang belum terunggah ke Sirekap karena ketiadaan internet tidak disalahgunakan. Hal ini juga berpotensi menjadi celah terjadinya kecurangan.
“Ini menjadi penting untuk diperbaiki karena keterlibatan publik dalam proses rekapitulasi suara sangat penting untuk meminimalisasi kecurangan,” ucap dia.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari menunjuk layar yang menampilkan data Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR-RI dan DPD untuk Pemilu 2024 di KPU RI, Jakarta, Jumat (3/11/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sementara dalam PKPU tentang penetapan pasangan calon terpilih, tak diatur sanksi bagi pasangan capres dan cawapres yang tak menyertakan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, bagi partai politik yang tidak menyerahkan LPPDK dikenakan sanksi yakni tak dihitung perolehan suara mereka di Pemilu legislatif. Akibatnya, suara calon anggota legislatif dari partai tersebut dianggap hangus dan partai tersebut tak mendapatkan kursi di DPR dan DPRD provinsi serta kabupaten/kota.
“Pertanyaannya, mengapa kandidat calon presiden dan wakil presiden tidak dikenakan sanksi bila tak menyerahkan LPPDK. Padahal keterbukaan dana kampanye penting sebagai filter awal untuk menghindari terjadinya politik uang,” tutur Syarif.
Rapat Kerja Komisi II dengan Mendagri, KPU, Bawaslu terkait Perppu Pilkada, Rabu (20/9). Foto: Zamachsyari/kumparan
Sedangkan dalam rancangan PKPU tentang tahapan jadwal penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota tahun 2024, masih diperbolehkan untuk mengubah PKPU hingga 18 November 2024.
Padahal, hari pemungutan suara Pilkada dilangsungkan pada 27 November, yakni hanya berjeda 9 hari. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian pagi partai politik, kandidat kepala daerah dan pemilih.
ADVERTISEMENT
Kemitraan menilai, penyusunan tiga PKPU ini dilakukan secara terburu-buru. KPU baru membagikan dokumen rancangan PKPU setebal 80 halaman,dua hari sebelum dibahas bersama dengan partai dan elemen masyarakat sipil.
"Yang lebih mengkhawatirkan, ketiga rancangan PKPU ini disusun setelah melewati batas waktu pembuatan regulasi untuk Pemilu 2024, sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024," kata eks pimpinan KPK ini.
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
Beleid tersebut menetapkan waktu terakhir pembuatan PKPU adalah Kamis (14/12/2023). Oleh karena itu, rancangan peraturan dan konsultasi ketiga PKPU ini bisa dinyatakan tidak sah dan bermasalah secara hukum.
“Untuk itu, sebaiknya KPU tak melanjutkan penyusunan ketiga rancangan PKPU tersebut lantaran berpotensi melanggar ketentuan hukum yang telah mereka tetapkan,” tutur Syarif.
ADVERTISEMENT