KPU: Permintaan PAW untuk Harun Masiku Harusnya dari DPR, Bukan Parpol

13 Januari 2020 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner KPU Pramono Ubaid. Foto:  Fachrul Irwinsyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner KPU Pramono Ubaid. Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisioner KPU Wahyu Setiawan ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan suap untuk memuluskan langkah politikus PDIP Harun Masiku ke DPR melalui pergantian antar waktu (PAW). Padahal, menurut Komisioner KPU Pramono Ubaid, usaha Harun Masiku tersebut sia-sia.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kata Pramono, proses PAW seharusnya dilakukan melalui rekomendasi DPR dan bukan partai politik. Sedangkan surat rekomendasi kepada KPU untuk menunjuk Harun sebagai PAW justru berasal dari DPP PDIP.
"Secara prosedural, dalam proses PAW sebagaimana diatur di PKPU Nomor 6 Tahun 2019, KPU tidak berkorespondensi dengan partai politik. Tapi KPU menerima surat itu, seharusnya dari pimpinan DPR atau DPRD," kata Pramono di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (13/1).
"Jadi, nanti pertama pimpinan DPR atau DPRD menyampaikan surat tentang nama anggota DPR atau DPRD yang berhenti antar waktu ke KPU," imbuhnya.
Komisioner KPU, Pramono Ubaid di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (31/7). Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
Hal itulah yang menurut Pramono menjadi alasan mengapa KPU menolak seluruh surat permohonan PAW yang diajukan PDIP. Selain itu, kata Pramono, meski DPR RI mengajukan permohonan untuk mengganti Riezky Amalia, Harun tidak bisa serta merta menggantikan posisi tersebut karena ia hanya berada di urutan kelima di hasil Pileg 2019.
ADVERTISEMENT
"Dari sisi substansi, kalau pun misalnya Riezky Aprilia itu mau di-PAW, maka yang berhak bukan nomor urut perolehan suara terbanyak kelima, tapi nomor yang berikutnya, yakni Hermadi Jufri," jelasnya.
Pramono menuturkan, keputusan KPU saat ini sudah bulat. Sehingga, jika ada pihak lain yang masih mencoba melakukan lobi-lobi, hal itu tidak akan mempengaruhi keputusan KPU.
"Karena dari sisi prosedur jelas tidak memenuhi ketentuan, dari sisi subtansi juga tidak memenuhi ketentuan. Dengan dua alasan itu cukup memberi alasan bagi KPU untuk tidak mengabulkan permohonan itu," tutup Pramono.
Dalam mekanisme PAW, biasanya fraksi di DPR akan menyampaikan keputusan PAW kepada pimpinan DPR untuk disahkan. Surat keputusan dari pimpinan DPR inilah yang kemudian dikirim ke KPU, bukan dari DPP partai.
ADVERTISEMENT
Kasus ini berawal saat caleg terpilih PDIP dapil I Sumatera Selatan Nazarudin Kiemas wafat. Posisi Nazarudin lalu digantikan oleh Riezky Amalia yang mendapat perolehan suara terbanyak kedua di dapil tersebut.
Namun, DPP PDIP mengirimkan surat hingga tiga kali untuk meminta KPU mengganti posisi Riezky Aprilia dengan caleg lainnya, Harun Masiku. Bahkan, Komisioner KPU Wahyu Setiawan dijanjikan uang Rp 900 juta untuk memperjuangkan Harun sebagai PAW.
Meski demikian, usaha Wahyu Setiawan gagal karena KPU telah menolak untuk mengganti Riezky Amalia dengan Harun Masiku dalam rapat pleno 6 Januari 2020. Wahyu Setiawan diketahui sudah menerima Rp 200 juta dan dijanjikan akan diberikan Rp 400 juta lagi.
Wahyu Setiawan lalu diciduk KPK dan ditetapkan sebagai tersangka. Selain Wahyu Setiawan, KPK juga menangkap orang kepercayaan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina; dan pihak swasta Saeful. KPK juga menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka, namun hingga saat ini belum tertangkap.
ADVERTISEMENT