news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kritik Prabowo dan Potensi Krisis Utang Indonesia

2 Juli 2018 12:12 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prabowo Subianto. (Foto: AFP/Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto. (Foto: AFP/Adek Berry)
ADVERTISEMENT
Prabowo Subianto strikes again.
Sebagai ujung tombak oposisi pemerintah Indonesia, Prabowo jadi mercusuar kritik utama untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah Indonesia perlu turun mesin. Tagar #2019GantiPresiden jadi seruan perang yang diulang-ulang seolah berkata: mereka tak becus, kami saja!
ADVERTISEMENT
Bedanya, selama sebulan terakhir, frekuensi kritik pada pemerintah bertambah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, isu kedaulatan ekonomi dan kemandirian bangsa jadi topik andalan Prabowo untuk merebut hati konstituen.
“Pak Prabowo sekali lagi berkutat pada masalah neokolonialisme, neoimperialisme --yang sebenarnya jargon lama pada 2014 lalu,” ujar pengamat politik asal Universitas Gadjah Mada, Wasisto Raharjo Jati, Jumat (29/6).
Menurut Kuskridho ‘Dodi’ Ambardi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia dan pakar komunikasi politik lulusan Ohio University, Amerika Serikat, pemilihan isu-isu tersebut oleh Prabowo wajar saja.
Prabowo, menurut Dodi, menjadi diri sendiri dengan tak tiba-tiba membicarakan isu-isu macam agama yang berpengaruh besar di publik.
“Dia memakai isu-isu yang dia kenal dan yang dia anggap punya resonansi di tingkat publik, dan bisa membangun sentimen positif terhadap dia dan Gerindra.”
Serangan Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Serangan Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Persoalan bahaya utang yang diklaim Prabowo mendekati Rp 9.000 triliun menjadi sumber polemik paling moncer. Masyarakat pun figur-figur politik terbelah.
ADVERTISEMENT
Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyanggah. “Kalau orang bicara utang-utang, kalau enggak ngerti jangan ngomong. Kita kan nggak bego.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga turun bicara dengan menjelaskan, tak mungkin pemerintah membiarkan kondisi utang negara ke tahap berbahaya. “Kami bisa menjaganya secara baik.”
Balas-membalas berlanjut. Giliran Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, membela Prabowo. Baginya, apa yang diutarakan pemimpinnya sudah benar. Alumnus London School of Economics itu menulis ‘pledoi’ sepanjang 833 kata berjudul ‘Rezim Ini Memang Raja Utang'.
“Jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan negara kita. Bagaimana bisa pemerintah menyebut posisi utang kita masih aman?” sergahnya.
Persoalan utang jelas bukan perkara remeh-temeh. Ia rumit, namun bukan berarti boleh begitu saja kesampingkan. Perkara tersebut mempengaruhi banyak orang. Maka, perlu pikiran jernih untuk melihat persoalan itu dari lanskap yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, kumparan menemui Bhima Yudhistira di sela-sela acara diskusi ekonomi digital yang ia hadiri di kantor Kementerian Keuangan, Kamis (28/6).
Bhima adalah ekonom lulusan UGM dan Bradford University, Inggris, yang kini jadi peneliti di Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) --think tank sipil yang fokus pada isu ekonomi dan pembangunan.
Selama hampir 60 menit, Bhima mengupas permasalahan utang dan isu-isu ekonomi yang terus-menerus jadi bahan kritik Prabowo kepada pemerintahan Jokowi, juga bagaimana skenario terburuk yang bisa menimpa Indonesia.
Bhima Yudhistira (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bhima Yudhistira (Foto: Jafrianto/kumparan)
Klaim Prabowo utang Indonesia berjumlah Rp 9.000 triliun, benarkah demikian?
Kalau bicara soal utang, kenapa muncul Rp 9.000 triliun, itu gabungan semua utang yang ada di Indonesia. Jadi bukan utang negara sebenarnya. Lebih tepatnya utang nasional. Gabungan secara nasional --utang pemerintah Rp 4.100 triliun, utang BUMN Rp 600-an sekian triliun, kemudian ada utang swasta.
ADVERTISEMENT
Bahkan kalau hitung-hitungan yang lebih ekstrem nih, saya bisa punya data... Kredit bank masuk utang nggak? Kredit bank itu per tahun Rp 4.700-an triliun.
Jadi Rp 4.700 triliun, digabung dengan utang pemerintah Rp 4.100 triliun, itu sudah Rp 8.000-an triliun. Belum lagi ditambah utang luar negeri swasta. Bukan pakai bank kita, kan. Angkanya itu bisa Rp 10-11 ribu triliun. Itu kalau mau cari sensasi.
Tapi poin kritiknya saya paham. Pak Prabowo sebenarnya pengin bilang gini, “Bukan berarti kalau utang itu dinilai masih kecil, di bawah 30 persen PDB, kita terus keranjingan nyari utang baru terus.” Nah akhirnya jadi nggak sehat. Dan krisis ‘98 itu, salah satunya karena jebolnya utang luar negeri swasta. Jadi bukan dari sisi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Makanya bisa saja ngomong 10 ribu triliun, 11 ribu triliun, kalau kredit perbankan mau didefinisikan sebagai utang. Itu baru bank ya, saya belum masukin koperasi segala macam.
Uji Data Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Uji Data Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Jadi data Prabowo valid?
Valid, kalau itu digabungkan dan dia tidak menyebut bahwa Rp 9.000 triliun utang pemerintah. Karena kalau utang pemerintah memang Rp 4.100 triliun. Tapi dibandingkan dengan semua utang nasional sampai jasa mikro dan segala macam, pasti lebih besar daripada itu.
Tapi, sebenarnya di balik nominal itu ada apa? Di balik nominal itu ada risiko. Poin kritiknya risiko itu.
Jadi selain lihat debt to GDP (Gross Domestic Product), dan di banyak negara seperti Eropa kemarin yang ngomongin debt to GDP itu nggak laku. Debt to GDP itu ukuran yang sangat sederhana. Yang lebih advance lagi itu ngomongin utang dari debt to service ratio. Biasanya paling asyik ngomongnya DSR.
ADVERTISEMENT
Mau utangmu 20 ribu triliun, 30 ribu triliun, asalkan bisa generate pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan ekspor, go ahead. (Utang) Jepang 200 persen pada GDP, bangkrut nggak Jepang? Enggak.
Nah kita, IMF sendiri bilang bahwa batasan aman itu di bawah 25 persen. Tapi kalau udah di atas 25 persen itu artinya utangnya bukan masalah aman nggak aman, tapi produktif atau nggak produktif.
Indonesia itu udah di atas 25 persen, pernah sampai 30 persen lebih. Malaysia, yang ribut soal utang kemarin, itu DSR-nya cuma 5 persen. Itu mereka udah panik, udah ribut. Harusnya kita ngaca juga.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, Debt to Service Ratio adalah perbandingan jumlah utang dan pendapatan sebuah negara. Dalam konteks ini, jumlah bunga dan cicilan pokok utang jangka panjang yang dimiliki sebuah negara akan dibandingkan dengan pendapatan ekspornya.
Apabila DSR makin tinggi, kondisi ekonomi negara akan makin berbahaya. Menurut International Monetary Fund (IMF), batas atas DSR yang aman adalah 25 persen. DSR Indonesia pada kuartal ketiga tahun 2017 mencapai 28,3 persen --naik 8,8 persen dari kuartal pertama di tahun yang sama. DSR Jepang cuma 6,7 persen.
Jadi poinnya di situ tuh. DSR kita nggak bagus, kemudian yang kedua kepemilikan asing berapa. Kita, yang hari ini rupiah bisa (tembus) Rp 14.300/USD itu, karena asing pada cabut dari pasar surat utang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Jepang. Indonesia... bukan dikuasai asing... Gimana ya bahasanya --mendominasi. Karena yang ketahuan secara legal, asing sekitar 38 persen, pernah sampai 41 persen, tapi sekarang sudah agak turun 38 persen.
Tetapi, entitas domestik yang sebenarnya di-back up dana asing itu mungkin lebih besar lagi. Itu yang bisa nyebabin krisis dalam waktu singkat. Kalau semua cabut, nggak ada yang tertarik pegang utang kita, uang tuh ditarik, mereka akan convert uang mereka ke dolar, rupiah kita kena, stabilitas moneter ke mana-mana, itu yang bahaya.
Prabowo Subianto. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Kondisi utang Indonesia apakah sudah termasuk berbahaya?
Saya bilang berbahaya dalam artian menjadi kurang produktif. Yang kedua, sekarang per kapita itu menanggung utang pemerintah. Bayi baru lahir itu sekitar Rp 15 juta. Jadi per kepala baru lahir, dia harus menanggung utang Rp 15 juta rupiah. Rp 4.100 triliun dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia-lah ya.
ADVERTISEMENT
Nah yang disebut berbahaya, pertama kurang produktif tadi. Yang kedua, utang itu adalah pajak yang tertunda. Jadi kita mau bangun infrastruktur, duit pajak nggak ada sekarang, jadi kita utang, dan ke depannya utang akan dicicil dengan pajak.
Konsekuensinya kalau utang semakin besar, maka pajaknya akan semakin mencekik masyarakat. Dan problemnya, tax ratio kita mengalami penurunan. Terakhir saya dapat data 9 persen. Tax ratio itu antara pajak dengan produk domestik. Kesimpulannya kalau tax ratio kita turun, yang dipajakin adalah orang yang sama, itu-itu juga.
Mungkin kita punya NPWP nih, tapi belum tentu kita bayar pajak. Itu dua hal yang berbeda. Belum tentu dipotong. Apalagi yang pekerja informal. Nah itu kondisinya kayak gitu. Akhirnya yang dipajakin untuk bayarin utang orang-orang itu aja, bisa bayar bener-bener pengusaha ya. Males kan. Gue udah capek lapor SPT, gue udah tertib ikut tax amnesty, gue masih diuber macem-macem untuk cicilan utang pemerintah. Sementara gue sebagai pengusaha juga punya utang korporasi.
ADVERTISEMENT
Jadi ini ada teorinya, bisa dicek, Carmen Reinhart, dia bilang debt overhang jadi tambahan utang yang terus menumpuk. Itu akan mengontraksi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Itu kasusnya memang seperti di Amerika dan beberapa negara maju. Jadi utang semakin tinggi, tapi fiskalnya semakin sempit maka nanti akan ngefek ke pertumbuhan ekonomi.
Prabowo berorasi (Foto: Antarafoto/Darwin Fatir)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo berorasi (Foto: Antarafoto/Darwin Fatir)
Ada potensi Indonesia mengalami krisis utang?
Kalau kita nggak hati-hati, saya kira sangat mungkin. Baik utang dari sisi pemerintah, dan utang luar negeri, swasta. Karena utang luar negeri swasta itu dilindungi hedging.
Ongkos hedging itu mahal, kalau perusahaan gede saya bisa beli dolar, jadi nanti suatu saat rupiahnya lemah saya keluarin uang dolar saya untuk bayar cicilan utang atau bunga. Tapi kalau perusahaan-perusahaan sedeng-sedeng aja punya utang dalam dolar, (kurs) rupiah 14 ribu aja udah kelojotan. Jadi kalau ini nggak dijaga, itu bisa berbahaya kayak tahun ‘98.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, selain itu kondisi makroekonomi lagi nggak (bagus). Mau ngomong fundamental ekonomi, pertumbuhan cuma 5 persen. Defisit neraca perdagangan kita bengkak sampai USD 1,5 miliar. Defisit transaksi berjalan kita juga melebar terhadap PDB, kurs juga lagi nggak jelas kan akhirnya.
Bunga. Nah ini faktor utang kan berhubungan dengan bunga. Sekarang trennya bunga mahal. Jadi kalau bunga utang secara rata-rata, obligasi itu ya, terus mengalami kenaikan, maka cost of borrowing, cost untuk utang itu semakin mahal. Nah itu berapa banyak swasta yang bisa bertahan di kondisi begitu.
Jadi pemicunya bisa dari pemerintah, karena ada kasus pemerintah gagal bayar utang kayak Argentina, walaupun kita nggak akan separah itu ya. Turki sebentar lagi menyusul. Eropa udah cerita lama ya. Kita juga bisa mengalami hal yang sama kalau misalnya terlalu ceroboh.
ADVERTISEMENT
Terlalu ceroboh seperti apa?
Terlalu ceroboh itu gini, kita sepakat utang untuk membangun infrastruktur. Tetapi faktanya, infrastruktur butuh waktu. Sementara tiap tahun kita harus ngelunasin utang. Termasuk BUMN Karya.
BUMN Karya banyak yang bleeding, berdarah-darah karena cash flow-nya nggak ada, padahal ngegaji karyawan nggak pakai besi sama semen. Gaji karyawan pakai cash.
Cash-nya udah ditanem untuk beli bahan baku konstruksi. Kalau terjadi something, ekonomi lagi goyang, ya risiko default gagal bayarnya besar. Jadi BUMN, pemerintah, swasta, semuanya bisa jadi symptom dari krisis itu.
Soal utang BUMN yang disebut Prabowo, dampaknya seperti apa?
ADVERTISEMENT
Kalau untuk keuangan negara dampaknya mungkin jangka menengah. Ketika BUMN (berutang), lalu misalkan ada kondisi ekonomi yang nggak menguntungkan, sementara proyek konstruksi masih setengah jalan ya, katakanlah dolar tembus Rp 15 ribu, padahal banyak utang itu juga utang luar negeri, valas.
Nah, impact-nya adalah BUMN akan menunda sebagian proyek. Repot dong, kalau udah komitmen tiba-tiba karena masalah keuangan jadi mangkrak. Kepercayaan investor juga berkurang.
Yang kedua, oke proyek tetap berjalan, efisiensi dong. Siapa yang pertama kali kena dampak efisiensi? Bisa jadi karyawannya. Jadi ada efek pengangguran.
Yang ketiga, jual aset. Kalo proyek harus tetap jalan, nggak boleh PHK karyawan, ya jual aset dong. Anak usaha mungkin yang dijual, atau anak usaha dilikuidasi.
ADVERTISEMENT
Kalo itu sampai nggak bisa (menutup kebutuhan) juga nih, udah bener-bener default--asetnya di bawah dari beban utang, karena rasionya gede-gede--maka yang terjadi negara harus menyelamatkan lewat suntikan dana. Lewat strategi Penyertaan Modal Negara (PNM) atau buy back saham. Tadinya kan sebagian itu listing di bursa. Di-buy back sahamnya biar ada suntikan modal dan segala macem untuk recovery, penyelamatan. Yang kena adalah APBN at the end. Kalo kita nggak hati-hati.
Perusahaan BUMN bidang konstruksi utangnya memang naik semua ya?
Betul, terutama kita bisa cek empat BUMN Karya yang listing di bursa, karena datanya go public. Tapi anak perusahaan mereka yang nggak go public susah. Empat BUMN itu memang terlihat debt to equity ratio-nya naik. Itu memang ter-confirmed.
Jokowi tinjau proyek bendungan di Kuningan (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi tinjau proyek bendungan di Kuningan (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
Kondisi ekonomi Indonesia tidak baik, kesenjangan tinggi, pendapatan per kapita rendah. Apakah kebijakan pemerintah keliru?
ADVERTISEMENT
Nah, ini harus hati-hati juga. Soal ketimpangan, nih. Ketimpangan dalam tiga tahun terakhir, kalo mau mengkritik Pak Jokowi, itu mengalami penurunan. Harus diakui dan diapresiasi memang ada penurunan.
Jadi mulai dari puncaknya yang sekitar 0,41, sekarang sudah mulai turun ke 0,39. Jadi ada upaya penurunan ketimpangan. Reforma Agraria, Dana Desa, Bansos, dan sebagainya, ada upaya menurunkan angka ketimpangan.
Tapi di sisi yang lain, kalau dilihat jangka panjang, sejak Reformasi, jadi tahun 2000 itu saya ingat benar, gini rasio itu cuma 0,3. Jadi tergantung nih, time series-nya sepanjang apa. Apakah Prabowo mengkritik tiga tahun Jokowi ini, atau time series-nya kita panjangin. Nah kalo kita panjangin sampai pasca-Reformasi, memang makin timpang.
ADVERTISEMENT
Artinya tidak semua adalah dosa kepemimpinan tiga tahun terakhir. Tapi ini adalah ketimpangan turunan pasca-Reformasi. Salah satu yang kita kritik habis-habisan adalah gara-gara otonomi daerah yang menciptakan elite capture atau raja-raja kecil. Pemerintah pusat sudah kasih uang tapi ternyata pemdanya banyak yang korup, banyak yang nggak efisien ketika belanja.
Kemiskinan juga gitu. Bisa dicek di BPS. Kemiskinan gimana persentasenya? Persentase kemiskinan menurun, itu harus diakui. Tapi membaca kemiskinan tidak sesederhana itu. Karena ada yang namanya indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. Saya lebih suka memakai itu.
Jadi antara kedalaman dan keparahan itu sama-sama memburuk trennya. Ini artinya sesama orang miskin yang tadinya gap-nya nggak terlalu jauh, tapi ternyata sekarang ada yang miskin, miskin parah. Itu yang disebut keparahan kemiskinan. Yang kedalaman itu definisinya makin menjauh dari garis kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Jadi perkembangan dari garis kemiskinan tidak naik signifikan. Jadi orang yang masih 300 ribu per bulan masih dianggap sudah tidak miskin. Kan repot. Buset, Rp 300 ribu per bulan mau makan apa.
Jadi akumulasi-akumulasi itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi sudah tidak berkualitas ya, rendah, kurang berkualitas, dan makin membuat ketimpangan makin parah.
Jadi, semua kritik ekonomi yang disampaikan Prabowo kredibel?
Kredibel bila disertai sumber. Jadi nggak bisa kita ngomong itu dari pakar, itu nggak bisa. Kalau ngomong utang, bilang bahwa utang pemerintah itu Rp 4.100 triliun itu data dari Kementerian Keuangan. Kalau misalkan data kredit perbankan, kalau disebut utang juga, itu data dari OJK. Kita gabungkan menjadi angkanya Rp 9.000 triliun misalkan, atau lebih.
ADVERTISEMENT
Masyarakat juga perlu diedukasi. Jadi jangan bicara soal nominal (saja), karena nominal pasti akan penuh perdebatan, dan akhirnya mengaburkan substansi dari kritik itu sendiri. Lebih baik indikator-indikatronya lebih mendalam. Jadi kredibilitasnya bisa dilihat dari situ.
------------------------
Simak ulasan mendalam Siasat Prabowo di Liputan Khusus kumparan.