Kritik Wacana Presiden 3 Periode: Seperti Orba; Jokowi Dinilai Tak Tegas Menolak

28 Juni 2021 8:46 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo meninjau vaksinasi corona massal di RSUI Depok, Jawa Barat, Rabu (9/6). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo meninjau vaksinasi corona massal di RSUI Depok, Jawa Barat, Rabu (9/6). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode belakangan terus bergulir. Salah satu isu yang beredar, alasan wacana tersebut disuarakan agar negara semakin fokus selesaikan pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian dikritik sejumlah pihak. Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menegaskan alasan itu tak bisa dijadikan landasan dalam memperpanjang masa jabatan presiden.
"Perpanjangan karena darurat? Tidak bisa serta merta. Kondisi darurat harus ditetapkan dengan pernyataan Perpu Nomor 23/PRP/1959," kata Bivitri dalam diskusi virtual terkait wacana presiden 3 periode, Minggu (27/6).
Baginya, keadaan sekarang tak masuk dalam kategori tersebut. Karena, ada pada kondisi bencana nonalam yang diakibatkan pandemi COVID-19.
"Dan saat ini tidak masuk rezim kondisi darurat melainkan bencana nonalam dan kedaruratan kesehatan masyarakat," ujarnya.
Bivitri menilai, munculnya wacana presiden 3 periode ini dimainkan pihak-pihak dalam oligarki saat ini.
Bivitri Susanti. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dia menilai pihak-pihak ini sudah berupaya menjadikan presiden sebagai tumpuan kekuasaan. Salah satu yang dicontohkan seperti bagi-bagi jabatan baik dubes dan komisaris.
ADVERTISEMENT
Sehingga, pihak-pihak tersebut sudah merasa nyaman dan tak menginginkan adanya pergantian kepemimpinan.
"Tidak hanya dubes, komisaris juga dibagi-bagi. Kalau kita baca kita tarik ke hal yang kita zoom out, kita akan bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Maka kita akan bisa lihat bahwa oligarki ini yang sedang mengontrol, sudah nyaman mereka, maka tentu saja lebih baik tak usah diganti (presiden)," pungkasnya.
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Amnesty International Kritik Presiden 3 Periode
Direkrut Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, menyebut demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Salah satu bukti, munculnya wacana presiden 3 periode hingga isu presiden kembali dipilih MPR.
Usman menyebut jika hal itu benar-benar terjadi, maka Indonesia akan kembali seperti zaman Orde Baru.
"Terdapat upaya misalnya mengembalikan pilpres dari rakyat menjadi tak langsung oleh anggota DPR, begitu pula perpanjangan masa jabatan dengan alasan pandemi," kata Usman dalam diskusi virtual bertajuk Ambang Batas Calon dan Pembatasan Masa Jabatan Presiden, Minggu (27/6).
ADVERTISEMENT
"Ambang batas, wacana 3 periode apalagi pilpres ke MPR seluruhnya mencederai demokrasi dan kalau itu terjadi, Indonesia bisa terjerumus pada absolutisme kekuasaan seperti Orde Baru," tambahnya.
Usman juga mencontohkan beberapa peristiwa yang menjadi indikator kemunduran demokrasi di Indonesia. Misalnya, penyampaian kritik kepada pemerintah Jokowi yang mengalami penurunan.
"Kita telah melalui dua fase kemunduran demokrasi. Berkurangnya menyampaikan kritik di ruang publik, kedua, berkurangnya hak untuk menjadi oposisi partai politik. Melemahnya oposisi dan wacana 3 periode hanya membawa Indonesia pada absolutisme," ujarnya.
Agar hal itu bisa dicegah maka Usman meminta semua pihak untuk berani bersuara. Khususnya, menolak wacana presiden 3 periode atau segala bentuk perpanjangan masa jabatan presiden.
"Komponen masyarakat sipil perlu menyampaikan secara tegas menolak 3 periode maupun ambang batas," pungkasnya.
Feri Amsari. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Jokowi Dinilai Acap Pakai Kalimat Bersayap, Tak Tegas Tolak
ADVERTISEMENT
Peneliti Pusat Studi Komunikasi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari menyoroti sikap Presiden Jokowi yang pernah menanggapi soal wacana 3 periode. Dia menilai pernyataan Jokowi soal isu itu acap bersayap, tak ada kalimat menolak.
"Bagaimana bahasa Pak Presiden Jokowi soal itu? Dia (Jokowi) mengatakan bahwa dia tak berminat dengan usulan itu karena ada kriteria menampar muka, mencari muka, menjerumuskan," kata Feri dalam diskusi virtual terkait perpanjangan masa jabatan presiden, Minggu (27/6).
"Tapi ditimpali dengan dia hanya akan patuh dengan konstitusi, nah bahasa-bahasa ini bersayap," tambahnya.
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai meninjau vaksinasi corona di Terminal Bus Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Kamis (10/6). Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Hal ini karena ada kemungkinan jika konstitusi berubah dan memperbolehkan pencalonannya kembali maka ada kemungkinan Jokowi memiliki keinginan tersebut. Karena secara regulasi tak ada aturan yang dilanggar.
ADVERTISEMENT
"Kenapa? kalau konstitusi ini berubah jadi masa jabatan presiden, dia akan mudah mengatakan bahwa saya sebagaimana yang saya katakan dahulu saya taat pada konstitusi, ya artinya mau 3 periode," ujarnya.
Menurut Feri, sudah seharusnya kepala negara tersebut bersikap tegas menolak. Sama seperti yang dilakukan Presiden Obama dulu ketika mendapatkan tawaran untuk mencalonkan lagi di Amerika Serikat.
"Obama ketika digoda dengan lihai, dengan tegas sekali mengatakan ada dua hal yang membuat dia tak maju dengan menjadi presiden ketiga kali. Satu, istrinya atau keluarga, kedua, alasan konstitusi yang tak membolehkan dia maju," ujarnya.
Sementara, terkait dengan adanya penolakan 3 periode oleh sejumlah elite partai politik di parlemen, Feri menilai ada kemungkinan bagian dari drama politik yang berujung pada amandemen UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Saya melihat masing-masing pihak melakukan proses jual beli terhadap pasal yang dibutuhkan oleh lawan, teman masing-masing. Jangan-jangan soal masa jabatan lebih kepada drama politik saja menuju perubahan UUD 1945," ujarnya.
Sejauh ini, sudah ada pihak-pihak yang menyuarakan amandemen tersebut. Mulai dari PDIP hingga salah satu pimpinan DPD.
"PDIP sudah berbicara pada kembali UUD yang notabennya pada penguatan MPR, ada juga DPD juga berbicara pada pilpres ke MPR. Kan kita lihat usulan ini memundurkan reformasi konstitusi dan bukan tak mungkin akan merusak konsep kedaulatan," pungkasnya.
Universitas Indonesia. Foto: Dok. UI
BEM UI Sebut Jokowi King of Lip Service
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) melempar kritik pedas kepada Presiden Jokowi. Jokowi bahkan diberi gelar 'King of Lip Service' oleh BEM UI dengan sejumlah alasan.
ADVERTISEMENT
Merespons hal ini, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera ikut berkomentar. Mardani mendukung kritik yang disampaikan BEM UI itu.
"Mahasiswa penjaga hati nurani bangsa. Suara mahasiswa jujur," kata Mardani saat dimintai tanggapan, Minggu (27/6).
Mardani Ali Sera. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Mardani menekankan, semua pihak tak perlu menanggapi kritik BEM UI itu secara berlebihan.
"Semua pihak mesti melihatnya sebagai bagian dari proses pematangan peran kepemimpinan para mahasiswa. Dan enggak usah baper semua pihak," beber anggota Komisi II DPR ini.
Kendati demikian, Mardani mengingatkan agar ke depan jangan sampai ada aksi mahasiswa yang destruktif.
"Semua punya hak bersuara, tetapi jangan ada aksi yang destruktif," pungkas legislator dapil Jakarta ini.
Kritik BEM UI itu disampaikan melalui akun Instagram mereka, @bemui_official yang dikutip kumparan, Minggu (27/6). Berikut petikan pernyataan BEM UI tersebut:
ADVERTISEMENT
"Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk "lip service" semata," tulis BEM UI.