SQR - Ilustrasi Bendung Corona

Lambatnya Realokasi Anggaran Pandemi Corona RI Menuai Kritik

23 Maret 2020 12:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemprov DKI Jakarta melakukan penyemprotan dan pembersihan fasilitas umum menggunakan cairan disinfektan. Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Pemprov DKI Jakarta melakukan penyemprotan dan pembersihan fasilitas umum menggunakan cairan disinfektan. Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Pemerintah dianggap lambat memutuskan realokasi anggaran penanganan pandemi COVID-19. Ini menunjukkan pemerintah tak sigap menindaklanjuti ancaman wabah corona.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengkritik keterlambatan pemerintah melakukan realokasi anggaran penanganan pandemi. Realokasi ini baru muncul setelah pasien positif COVID-19 mulai melonjak.
“Harusnya realokasi ini sudah dilakukan sejak pasien positif teridentifikasi,” ucapnya, Sabtu (21/3).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan mengubah prioritas penggunaan anggaran demi penanganan wabah virus Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) pada Kamis lalu (18/3). Anggaran sekitar Rp 27 Triliun dapat dialokasikan untuk penanganan COVID-19.
Pada 14 Maret, Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19 Tahun 2020 tentang Penyaluran dan Penggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2020. Juga Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 6 Tahun 2020 tentang Penyaluran Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan.
Selain itu, pemerintah masih akan menambah anggaran penanganan COVID-19 dengan realokasi bersumber dari pos belanja kementerian sebesar Rp 62,3 triliun.
Tim medis mengevakuasi pasien menuju Ruang Isolasi Khusus RSUP Dr. Kariadi saat simulasi penanganan wabah corona. Foto: ANTARA/Aji Styawan
Roy menganggap langkah pemerintah itu terlalu lamban. Menurutnya, keputusan menteri keuangan itu baru muncul ketika pasien positif COVID-19 mencapai 96 orang dan 5 meninggal dunia. Menurutnya, anggaran ini seharusnya bisa diputuskan lebih cepat.
Ia mengingatkan, Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia pada 17 Juni 2019.
Inpres tersebut berisi tentang peningkatan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespon wabah penyakit, pandemi global dan kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia. Pun Presiden secara spesifik menginstruksikan baik jajaran kabinet dan kepala daerah untuk melakukan aksi pencegahan wabah penyakit dan pandemi global melalui kebijakan program dan menyiapkan skema pendanaan dari APBN dan APBD.
“Inpres itu ada, sayangnya itu tidak tercermin pada politik anggaran kita dan ketika ancaman pandemi corona sudah ada di Indonesia,” kata Roy.
Sayangnya pemerintah daerah tak banyak tahu akan inpres tersebut. Selama ini mereka menggunakan Anggaran Tak Terduga yang besarnya hanya sekitar 0,3 persen dari APBD. Jumlah yang sangat kecil untuk penanganan pandemi ini.
Di Kota Bekasi misalnya, pemerintah daerah baru mengajukan tambahan anggaran sebanyak Rp 750 juta setelah mengalami peningkatan suspect corona dari 18 menjadi 30 orang dan 9 orang telah dinyatakan positif.
Anggaran tersebut bersumber dari APBD Kota Bekasi yang bersifat Anggaran Tak Terduga dan akan digunakan untuk pembelian APD dan penanganan.
Roy khawatir, jika pemerintah sendiri masih gagap menghadapi pandemi ini, maka pencairan dana ke daerah takkan berjalan lancar. Birokrasi anggaran sering kali masih membuat bingung pemerintah daerah.
“Alhasil anggaran ada, tapi pemanfaatannya tetap telat,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyebut, setidaknya ada dua alasan mengapa daerah lambat dalam menyisir anggaran untuk penanganan pandemi corona.
Pertama, soal political will antara kepala daerah dan DPRD untuk melakukan perubahan APBD. Kedua, minimnya kemampuan fiskal daerah.
Akan tetapi menurut Endi, meskipun Anggaran Tak Terduga di daerah kecil, banyak dana yang bisa disisir seperti biaya perjalanan dinas, dan rapat yang nilainya cukup potensial. Dengan begitu, daerah seharusnya bisa lebih tanggap dalam penanganan wabah ini.
“Sesungguhnya kalau bilang daerah nggak mampu atau enggak bisa, dia enggak punya komitmen saja mencari (sumber dana), padahal ada,” katanya, Jumat (21/3).
Masalahnya, menurut Endi, pandemi corona di Indonesia yang terjadi di triwulan pertama tahun 2020 membuat daerah kesulitan menyisir anggaran karena anggaran sebelumnya telah digunakan. Hal itu terjadi karena selama ini, Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat ditransfer secara bertahap dan bukan sekaligus.
“Sistem transfer kita kan bukan gelondongan dan bertahap,” imbuhnya.
Wabah corona belum lagi mencapai puncaknya di Indonesia. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Roy maupun Endi menyarankan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memayungi realokasi anggaran tersebut sehingga alirannya lancar. Karena jika harus melakukan revisi UU, akan memakan waktu cukup lama. Sementara kasus infeksi corona terus melonjak.
“Perppu yang menyatakan Pasal 19, 20, dan 45 (UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana) diubah redaksionalnya dengan menghilang kata ‘alam’ setelah kata ‘bencana’,” ujarnya.
Dengan keluarnya Perppu, maka dana tersebut akan segera cair dan bisa ditransfer ke daerah. Tujuannya bisa digunakan oleh daerah untuk berbagai kebutuhan, termasuk alat pelindung diri untuk petugas medis, obat-obatan, atau rapid test.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu pencegahan penyebaran coronavirus COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten