Langgar PSBB, Massa yang Datang di Penutupan McD Sarinah Layak Disanksi Denda

11 Mei 2020 19:15 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kasatpol PP DKI Jakarta, Arifin, memberikan teguran keras terhadap pengelola McD Sarinah.  Foto: Dok. Satpol PP
zoom-in-whitePerbesar
Kasatpol PP DKI Jakarta, Arifin, memberikan teguran keras terhadap pengelola McD Sarinah. Foto: Dok. Satpol PP
ADVERTISEMENT
Kawasan Sarinah mendadak ramai pada Minggu malam (10/5). Saat itu, memang menjadi malam penutupan McDonald's Sarinah, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Kedatangan massa itu diduga untuk menyaksikan momen terakhir restoran cepat saji yang dikenal dengan nama McD Sarinah itu.
Namun, hal tersebut sempat menjadi polemik. Sebab, berkumpulnya massa itu terjadi di saat pandemi virus corona. Terlebih, saat Jakarta sedang dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Merujuk pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta, terdapat sejumlah larangan selama PSBB berlaku. Salah satunya larangan berkerumun.
Hal itu termuat dalam Pasal 13 ayat (1), bunyinya:
"Selama pemberlakuan PSBB, penduduk dilarang melakukan kegiatan dengan jumlah lebih dari 5 (lima) orang di tempat atau fasilitas umum".
Pergub itu pun memuat ketentuan soal sanksi, yakni pada Pasal 27, yang berbunyi:
"Pelanggaran terhadap pelaksanaan PSBB dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk sanksi pidana".
ADVERTISEMENT
Pergub PSBB itu merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 menyebutkan:
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)".
Sementara Pasal 9 ayat (1) yang dimaksud dalam pasal itu berbunyi: "Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan".
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, menilai massa yang berkumpul di McD Sarinah itu layak diberi sanksi. Menurut dia, sanksi denda ialah hal yang tepat.
"Sanksi yang tegas, utamanya sanksi denda, karena sanksi denda yang tinggi, merupakan PNBP yang nantinya masuk negara, yang bisa digunakan untuk membantu mencegah COVID-19. Sanksi kurungan sebagai ultimum remidium, sebagai sanksi yang terakhir," kata Hibnu kepada wartawan, Senin (11/5).
Hibnu Nugroho. Foto: ANTARA
Hal yang sama diungkapkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji. Ia menilai bahwa berkerumunnya orang di McD Sarinah merupakan bentuk pelanggaran PSBB.
ADVERTISEMENT
Ia menilai sudah saatnya, tidak hanya upaya persuasif dan peventif yang dilakukan, tapi juga penindakan.
"Mulai pemikiran pendekatan tegas legal represif. Memang sudah waktunya, karena Jakarta sebagai epicentrum penyebaran wabah COVID-19, penegakan hukum lebih dilakukan secara strict dan tegas," kata mantan Wakil Ketua KPK itu.
Ia berpendapat, ketidaktaatan terhadap PSBB justru akan membuat tujuan pencegahan penyebaran virus corona semakin sulit dilakukan.
"Pelanggar ini sudah merendahkan protokol. Masih status PSBB perilaku pelanggaran cukup besar, apalagi akan diterapkan Relaksasi PSBB, dikhawatirkan perilaku ketidaktaatan publik akan mempersulit memutus kata rantai penyebaran COVID-19 ini. Bahkan akan terjadi penyebaran massif COVID-19 ini. Jadi penegakan hukum harus tegas dan konsisten," kata dia.
Prof. Dr. Indriyanto Senoadji, S.H., M.H. Foto: Marcia Audita/kumparan
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, pun menilai kedatangan massa ke daerah Sarinah saat itu melanggar soal physical distancing.
ADVERTISEMENT
"Jelas ini enggak memenuhi physical distancing," ujar Fajri.
Menurut dia, sudah seharusnya petugas menegakkan aturan. Sanksi pidana pun menurut dia bisa diterapkan, meskipun sebagai pilihan terakhir.
"Seharusnya ada tindakan penegakan aturan ya. Saya lihat di videonya memang sudah diperingatkan untuk membubarkan diri, walaupun tidak dihiraukan. Saya kurang tau apakah selanjutnya ada tindakan berikutnya atau tidak," papar dia.
"Namun terlepas dari itu, harus ada pernyataan resmi dari pemda yang menyampaikan bahwa tindakan itu tidak seharusnya dilakukan. Bahkan apabila terulang, harus diingatkan bahwa dalam UU Nomor 6 Tahun 2018, ada sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, walaupun ini sebagai langkah terakhir," imbuh dia.
Ia pun menilai polisi seharusnya tak boleh bersikap kompromi dalam hal ini. Sebab, dikhawatirkan justru akan membuat kepatuhan masyarakat terhadap aturan PSBB berkurang.
ADVERTISEMENT
"Peraturan tidak dapat berjalan dengan sendirinya, diperlukan penegakan, pemahaman dari semua pihak, dan bahkan sampai kepada budaya kepatuhan terhadap peraturan tersebut. Baru adanya peraturan akan berdampak sesuai tujuan," papar Fajri.
Sementara Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta, berpendapat sanksi dalam pergub itu tidak bisa serta merta diterapkan. Sebab menurut dia, pergub tidak bisa mengatur sanksi.
Sanksi, ujar dia, harus diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). "Enggak bisa juga begitu saja sanksi pidana UU diimplementasikan lewat pelanggaran Pergub," ujar Gandjar.
"Menurut saya, enggak bisa diterapkan. Yang nindak siapa? Satpol sebagai penegak hukum tuh alatnya Perda, lho. Kalo sebagai penegak ketertiban, betul alatnya gubernur," sambung dia.
Ia pun mengkritisi soal sanksi dalam pergub yang merujuk pada UU. Sementara rincian perbuatan pelanggaran diatur dalam pergub.
ADVERTISEMENT
"Kenapa para Kepala Daerah itu enggak ngatur sendiri aja sanksi administrasi. Jangan dipidanain. Misalnya denda, penundaan pelayanan administrasi kependudukan, dan lain-lain," ujar dia.

Belajar dari Kasus Pekanbaru

Pekanbaru menjadi daerah pertama yang menjerat pelanggar PSBB. Sudah ada 15 orang yang dijerat dan diajukan ke persidangan terkait hal tersebut.
Pengadilan sudah menjatuhkan hukuman kepada mereka. Namun, mereka dijerat dengan Pasal 216 KUHP karena tidak menuruti perintah atau permintaan pejabat berwenang sesuai UU tugasnya mengawasi sesuatu.
Sebagai informasi, 15 terdakwa ini diamankan aparat kepolisian saat menggelar acara karaoke bersama di tempat hiburan di Kota Pekanbaru, Jumat, 10 April 2020.
Mereka terbukti melanggar Perwako Pekanbaru dan Maklumat Kapolri untuk menghindari kerumunan dalam rangka pencegahan penularan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Tak hanya melanggar physical distancing, para terdakwa terdiri dari delapan pria dan tujuh wanita ini terindikasi mengonsumsi narkoba.
Terdakwa utama, Pardison, divonis hukuman denda Rp 3 juta atau hukuman pengganti dua bulan penjara, sedangkan 14 pelaku lainnya dikenakan denda Rp 800 ribu subsider satu bulan penjara.

Dukungan Jaksa Agung

Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya pernah menyarankan para pelanggar PSBB untuk ditindak. Hal itu diperlukan untuk memberikan efek jera.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Bogor, seorang warga yang tak terima ditegur kemudian memarahi petugas. Menurut dia, hal itu seharusnya tak terjadi.
"Seharusnya dilakukan penindakan," ujar dia.
Ia menyarankan ada waktu sosialisasi dalam setiap berlakunya suatu PSBB. Setelah waktu sosialisasi lewat, maka upaya penindakan yang dikedepankan.
ADVERTISEMENT
"Masukan dari saya adalah tiga hari sosialisasi. Tiga hari kemudian adalah preventif, Tiga hari ke depannya, di hari ke-7, adalah represif," ujar dia.
Burhanuddin mengatakan, hal itu ia sampaikan kepada Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo. Menurut dia, Doni pun sepakat.
"Itu masukan saya ke Beliau (Doni Monardo) dan Beliau setuju memang ini perlu evaluasi," pungkas dia.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona