Laporan Uni Eropa Catat Bencana Iklim Parah di Tahun 2021

22 April 2022 14:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kebakaran di Pantai Le Capannine di Catania, Sisilia, Italia. Foto: Roberto Viglianisi/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran di Pantai Le Capannine di Catania, Sisilia, Italia. Foto: Roberto Viglianisi/Reuters
ADVERTISEMENT
Laporan yang dirilis ilmuwan Uni Eropa pada Jumat (22/4/2022) mengindikasikan kekacauan iklim parah di Eropa untuk tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Dikabarkan, musim panas tahun lalu merupakan musim panas dengan suhu tertinggi sepanjang sejarah benua tersebut. Laporan tahunan yang diterbitkan oleh Copernicus Climate Change Service Uni Eropa (C3S) ini mengacu pada pengamatan satelit, pengamatan lapangan, dan model komputer untuk menyediakan pembaruan informasi tentang keadaan iklim benua.
“Kami menghadapi banyak tantangan,” kata Kepala Unit Copernicus UE Mauro Facchini, demikian dilansir Reuters.
Meningkatnya suhu lingkungan bukan hanya sekadar ketidaknyamanan belaka. Nyatanya, di Eropa, bencana yang disebabkan perubahan iklim telah memakan ratusan korban jiwa pada 2021. Urgensi petaka iklim ini tidak boleh diremehkan, seperti yang ditunjukkan laporan tersebut.
Tumpukan sampah terlihat setelah hujan deras di Bad Neuenahr-Ahrweiler, Jerman, Kamis (15/7). Foto: Wolfgang Rattay/REUTERS
Temperatur musim panas tahun lalu tercatat lebih tinggi 1°C dari rata-rata tiga dekade terakhir. Bahkan, Italia sempat mencatat suhu 48,8°C yang merupakan rekor tertinggi di seluruh benua Eropa.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, musim panas yang seharusnya dinikmati masyarakat benua Eropa malah membawa petaka dan bencana alam, seperti kebakaran hutan, banjir, dan gelombang panas ekstrem.
Pada Juni 2021, gelombang panas akut di Mediterania memicu kebakaran hutan yang menghanguskan lebih dari 800.000 hektare lahan, yang tersebar di wilayah Yunani, Turki, dan Italia.
Sementara itu, rekor curah hujan menyebabkan banjir dahsyat di Belgia dan Jerman barat, menewaskan lebih dari 200 orang.
Tumpukan mobil-mobil di tengah banjir usai hujan lebat, di sebuah bundaran di kota Verviers, Belgia, pada 15 Juli 2021. Foto: Francois WALSCHAERTS/AFP
Laporan C3S juga mencatat kenaikan suhu permukaan laut di beberapa bagian Laut Baltik dan Mediterania. Bahkan mencapai angka tertinggi sejak pencatatan satelit dimulai pada awal 1990-an.
“Bagian dari Baltik bersuhu 5°C di atas rata-rata, kenaikan tersebut tergolong tinggi untuk (lautan),” kata Ilmuwan Iklim Senior C3S, Freja Vamborg.
ADVERTISEMENT
Facchini mengatakan rekor suhu dan cuaca ekstrem pada tahun 2021 menunjukkan kebutuhan mendesak bagi negara-negara untuk memangkas emisi gas rumah kaca demi menghindari pemanasan lebih lanjut yang akan memperparah keadaan.
Secara global, dalam tujuh tahun terakhir, bumi mencapai rekor suhu terpanas dalam sejarah.
Tahun lalu, emisi CO2 global kembali naik drastis. Emisi itu sempat mengalami penurunan sementara imbas pandemi COVID-19.
Potret udara di Laut Marmara Turki yang ditutupi lapisan lendir seperti jeli yang berkembang di permukaan air karena proliferasi fitoplankton yang berlebihan, pada 6 Juni 2021. Foto: Francois WALSCHAERTS/AFP
Beberapa negara sebelumnya telah berkomitmen di bawah Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Namun, sebagian besar telah gagal membuat kemajuan yang memadai. Konsekuensi kegagalan ini mulai dapat dirasakan di berbagai belahan dunia.
Pada 2021, ilmuwan iklim menemukan bahwa bencana banjir di Eropa barat musim panas lalu, 20% penyebabnya mungkin oleh perubahan iklim. Sebab, untuk setiap satu derajat kenaikan suhu atmosfer, jumlah cairan akan meningkat 7%, sehingga meningkatkan kemungkinan hujan lebat.
ADVERTISEMENT
"Ini adalah salah satu perubahan yang paling terlihat dan nyata dengan pemanasan global," kata seorang ilmuwan iklim di Vrije Universiteit Brussel, Wim Thiery.
Ditulis oleh: Airin Sukono