Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Eko Budisumantri punya sederet jadwal padat sepanjang bulan April ini. Kemampuannya sebagai pawang hujan laris manis dicari konsumen. “Bulan april ini tgl 11 sampai 29 full 17 hari. Karena musim di Indonesia juga tidak menentu,” katanya kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan yang ditekuninya sejak 2007 itu tak pernah sepi peminat. Ia pernah mendapat pesanan mengawal sebuah proyek infrastuktur di Jakarta selama empat bulan nonstop dari sebuah perusahaan konstruksi.
Percaya atau tidak, jasa pawang hujan digunakan banyak kalangan. Tengok saja pengakuan Muhammad Zul, seorang karyawan stasiun televisi swasta. Kantornya rutin menggunakan pawang hujan untuk acara syuting di luar ruangan. “Dari dulu ada aturan enggak tertulis kayak gitu,” katanya. Dia yang kebagian tugas menghubungi pawang hujan.
Saking tingginya kebutuhan, Zul punya tiga kontak pawang hujan langganan di ponselnya. Tak cuma perusahaan besar, peran pawang hujan juga punya andil dalam kegiatan mahasiswa. Pengalaman Dany, lulusan sebuah universitas di Depok, bisa jadi contoh.
ADVERTISEMENT
Saat aktif di kampus, organisasi yang diikutinya kerap menggunakan jasa pawang hujan yang biasa dipanggil Babeh. Danny menuturkan, Babeh biasanya akan meminta panitia melakukan sejumlah instruksi yang terbilang nyeleneh sebelum acara dihelat.
“Permintaan khusus dari dia (pawang hujan), nasi goreng dengan jumah timunnya ganjil,” tutur Danny mengingat kejadian beberapa tahun silam.
Di tengah-tengah acara, biasanya akan terlihat pula pemandangan unik. Ada beberapa mahasiswa yang bertugas khusus menjaga tanaman bonsai dengan ditutupi ember. Aktivitas itu, kata Danny, bagian dari ritual menangkal hujan yang disyaratkan sang pawang.
“Perumpamaan tanaman itu acara kita, ember itu awan. Harus dijagain, enggak boleh kesenggol embernya,” beber Danny.
Permintaan semacam itu yang membuat pawang hujan seperti Eko Budisumantri selalu sibuk. Ia mematok Biaya Rp 1,5 juta untuk jasanya selama delapan jam. Bandrol itu untuk hitungan konsumen dalam negeri.
Eko sudah melanglang buana ke separuh benua untuk menghalau hujan. Dia pernah menjejakkan kakinya di India, Dubai hingga Italia. Eko ingat betul pernah dibayar dalam mata uang dolar untuk jasanya menghalau hujan di sebuah acara pernikahan di India. “Kalau dirupiahkan Rp 60 juta untuk lima hari kerja,” kenang Eko.
ADVERTISEMENT
Ia pun tergolong pintar memasarkan diri dengan membuat situs internet berpenampilan bonafide. Selebihnya, kemampuan Eko sebagai pawang hujan tersebar dari mulut ke mulut.
Selain Eko, bisnis dengan penghasilan lumayan ini juga dilakoni Abah Ipin. Pawang hujan asal Kota Kembang, Bandung, itu dalam sebulan bisa mendapat dua hingga tiga pelanggan yang memakai jasanya dengan bayaran hingga jutaan.
Dia pernah mendapat bayaran Rp 15 juta dari seorang warga Ibu Kota yang memakai jasanya. Abah Ipin diminta menghalau hujan selama akad pernikahan anak si pengguna jasa berlangsung.
Bermodal minyak dan sekotak rokok untuk ritual, Abah Ipin berhasil menghalau hujan yang datang. “Acara akad anaknya jam 7 sore sampai selesai, jadi saya disuruh ke rumahnya,” kata pria 66 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Hingga beberapa tahun lalu, Abah Ipin juga tak pernah absen tiap laga kandang klub sepak bola Persib Bandung. Di tengah keriuhan suporter dan kerasnya laga, ia selalu tampak di pinggir lapangan menjalankan ritual untuk memindahkan hujan. Meski kini, karena satu dan lain hal, ia tak pernah lagi mengawal laga Persib.
Banjir orderan di musim hujan berarti fulus tebal bagi sang pawang. Namun ternyata tak semua pawang hujan mengincar pundi-pundi uang dari profesi ini. Ada pula pawang hujan yang semata ingin melestarikan budaya spiritual, seperti yang dilakukan Wayan.
Pria asal Bali ini tak pernah mematok harga untuk jasanya. Baginya, kemampuan menghalau hujan merupakan warisan tradisi spiritual yang tak boleh dikomersilkan. “Ini kan budaya spiritual, seharusnya nonprofit. Pekerjaan ini tidak untuk mencari keuntungan,” tegas Wayan.
Wayan mengeluhkan perilaku masyarakat Bali yang sudah jarang melestarikan budaya spiritual warisan nenek moyang mereka. Saat ini, kata Wayan, orang-orang cenderung lebih realistis dan tidak percaya dengan hal-hal berbau klenik.
ADVERTISEMENT
Semangat untuk melestarikan budaya spritual itulah yang membuat Wayan enggan mematok tarif. Dia lebih senang pengguna jasanya memberikan upah sesuai budget yang mereka miliki. Ia pun mengaku orang-orang di kampungnya biasa memberikan upah Rp 500 ribu yang digunakan sebagai pengganti membuat sesaji.
Di Pulau Dewata, selain Wayan, juga dikenal seorang pawang hujan tersohor bernama Made Warmana. Wajahnya dan sang istri kerap menghiasi pemberitaan di sejumlah media berbahasa asing.
Persis seperti Wayan, Made juga tidak ingin ambil pusing soal bayaran. Pria yang juga berprofesi sebagai Director of Housekeeping di salah satu hotel di Bali ini mengaku memiliki ketertarikan besar pada hal-hal berbau spiritual. Kegemaran tersebut telah banyak membantunya menekuni profesi pawang hujan sejak 18 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
“Dari tahun 2001, awalnya saya dari meditasi, artinya saya belajar bagaimana agar sinkron dengan alam,” kisah Made.
Saat melakukan pekerjaannya, Made mengandalkan meditasi untuk menyelaraskan diri dengan alam. Made juga mengombinasikannya dengan unsur adat Bali. Ia mengelak disebut sebagai penangkal hujan, karena apa yang dilakukannya hanya menggeser hujan ke tempat-tempat gersang yang memang membutuhkan guyuran hujan. Ritual tersebut biasanya berlangsung selama 20 hingga 30 menit.
Sementara untuk tarif, kisaran yang diterima Made dari pengguna jasanya senilai Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta. “Tapi sekali lagi, kita membantu itu tidak harus dengan pamrih,” tutupnya.
Profesi pawang hujan di Indonesia memang tak pernah tergerus meski zaman makin bergerak ke arah modernitas. Soal fenomena ini, Pakar Budaya Jawa Prapto Yuwono punya penjelasannya. Menurutnya, kondisi alam pikiran masyarakat Indonesia yang masih irasional menjadi salah satu faktornya. “80 persen masyarakat masih irasional. Mau apa lagi sekarang?” ujar Prapto.
ADVERTISEMENT
Pria yang juga berprofesi sebagai seorang dosen ini percaya bahwa modernitas belum sepenuhnya menyentuh sisi kehidupan masyarakat di Indonesia. Hal ini menurut Prapto karena sulitnya mengubah pola pikir masyarakat yang irasional tersebut.
Kebanyakan perilaku masyarakat Indonesia, kata Prapto, masih didorong keinginan untuk melaksanakan adat istiadat selaiknya kebiasaan nenek moyang mereka. Hal senada juga diungkap Hary Djatmiko, Kepala Bidang Manajemen Observasi Meteorologi BMKG, yang menyebut cara-cara yang berlandasakan keyakinan masih digemari masyarakat Indonesia untuk menghentikan hujan.
Dari kacamata ilmiah, Hary menegaskan tak ada istilah menangkal hujan seperti yang identik dengan profesi pawang hujan. Sebaliknya, yang ada adalah teknologi memodifikasi cuaca, yakni dengan mempercepat atau memperlambat proses turunnya hujan. Namun cara seperti ini tidak cukup populer di kalangan masyarakat karena harganya cukup mahal. Dibutuhkan dana ratusan juta rupiah untuk menerapkan teknologi memodifikasi cuaca ini.
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu teknologi memodifikasi cuaca lebih banyak digunakan terkait penerapannya untuk mengisi waduk, memadamkan api atau titik panas,” imbuh dia.
Disinggung soal eksistensi pawang hujan, Hary enggan berkomentar. Menurutnya, belum ada kajian khusus atau penelitian ilmiah yang bisa membuktikan fenomena tersebut.
Simak selengkapnya dalam topik Kisah Para Penghalau Hujan .