MA soal Sering Potong Hukuman Koruptor: Standar Setiap Hakim Tak Sama

17 Desember 2019 17:20 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) menanggapi kritik ICW karena kerap mengurangi hukuman untuk koruptor. Misalnya, mengabulkan pemotongan hukuman lewat kasasi dan peninjauan kembali (PK).
ADVERTISEMENT
Kabiro Humas dan Hukum MA, Abdullah, menjelaskan hakim memiliki standar berbeda-beda dalam memutus setiap terdakwa. Abdullah menyebut, hakim mengadili terdakwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan.
"Tentunya rasa keadilan itu masing-masing, hakim memiliki standar yang tidak sama, karena prinsip adil itu adalah ketidaksamaan. Perlu diketahui, prinsip adil adalah ketidaksamaan. Sementara prinsip hukum itu kesamaan," ujar Abdullah di Mahkamah Agung, Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (17/12).
"Tapi apakah masing-masing seperti ini nanti hasilnya sama, kan selalu berbeda. Awalnya pun sama-sama di sini, mendapatkan informasi yang sama, begitu nanti dapat sesuatu, pasti tidak sama. Itulah prinsip keadilan itu," sambungnya.
Abdullah juga menjelaskan mengapa putusan di tingkat pertama, banding, dan kasasi sering berbeda. Menurutnya, putusan tingkat pertama dan banding berdasarkan pada fakta sidang, sementara kasasi di MA merujuk pada penerapan hukumnya.
ADVERTISEMENT
"Begitu pula dengan pengadilan tingkat banding, masih disebut judex facti (memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut), karena dasarnya adalah fakta. Sedangkan di MA ini judex juris, yang diadili Mahkamah Agung hanya penerapan hukumnya saja, tidak sampai faktanya," kata Abdullah.
Sehingga, jika terdakwa atau penuntut umum mengajukan kasasi, fakta persidangan tidak akan disentuh lagi. MA akan melihat kasus tersebut dengan melihat pasal yang didakwakan kepada pelaku.
"Tapi kalau pasalnya yang terbukti menurut penerapan hukum di kasasi beda, maka akan terjadi dasar-dasar hukumnya, yaitu pasal yang terbukti baru, itu terjadi perbedaan. Nah, perbedaan inilah yang dinilai terdapat disparitas. Seolah-olah yang pertama adalah tinggi, kemudian dikurangi, rendah," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Jika penerapan sudah benar, maka hakim berikan keadilan sesuai rasa di majelis itu sendiri. Kami tak bisa menjelaskan bagaimana rasa keadilan yang diputuskan oleh majelis," sambung Abdullah.
Tentunya ini akan berdampak pada ancaman atau sanski yang akan dijatuhkan. Meski begitu, pihaknya terbuka akan kritik. Nantinya, kritik tersebut akan dijadikan bahan untuk membuat peraturan.
"Seandainya teman-teman sampaikan kenapa putusnannya segini, pasalnya segini, ya, pasal yang terbukti pasal 11 tingkat pertama, pasal banding, pasal 12 ancamannya tinggi lagi, ternyata kasasi, oh ini bukan pasal 12 tapi, 11 sehingga kembali merujuk pasal 11 yang ancamannya tidak setinggi pasal 12," tuturnya.
"Sejak awal saya katakan semua kritik yang konstruktif akan dijadikan pertimbangan MA. Untuk membuat kebijakan jadi jangan berhenti untuk mengkritik ya," sebut Abdullah.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, hal itu menjadi tanggung jawab MA dalam membenahi lembaganya dari tindak-tindak korupsi.
"Namanya kritik itu ditampung kemudian diolah menjadi kebijakan dan jawabannya apa? Ya Mahkamah Agung membenahi seluruh peradilan supaya bebas dari korupsi. Itu lah jadi sebenarnya tujuan kita sama," ucap dia.
Sebelumnya, ICW mencatat, di tahun 2019, MA mengurangi hukuman enam terpidana kasus korupsi pada tingkat PK. Enam terpidana itu di antaranya eks Ketua DPD Irman Gusman menjadi 3 tahun penjara, mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, dan eks Mensos Idrus Marham. Juga eks Dirut PLN Sofyan Basir yang divonis bebas.
Belum lagi ada 21 nama koruptor yang upaya PK-nya masih berproses. Beberapa nama itu seperti Anas Urbaningrum dan Setya Novanto.
ADVERTISEMENT
Selain itu, per 2018, tren vonis di tingkat peradilan rata-rata hanya menjatuhkan hukuman kepada koruptor dua sampai lima tahun penjara. Data tersebut berbanding lurus dengan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya MA memerangi tindak pidana korupsi.