Mahalnya Jadi Kepala Daerah dan Potensi Korupsi

23 November 2020 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Uang Rupiah. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Uang Rupiah. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Maju dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah ternyata tak murah. Setidaknya, dari hasil kajian KPK pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018, butuh puluhan miliar untuk paslon agar bisa menang dalam proses suksesi kepemimpinan daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Mahalnya biaya pilkada ini dinilai sebagai dampak dari praktik transaksional. Sebab, keterbatasan pendanaan pribadi, menyebabkan paslon mencari 'lumbung' pendanaan lain.
Plt juru bicara KPK Ipi Maryati mengatakan, banyak studi yang dilakukan oleh BPKP pada 2016, Kemendagri pada 2016, hingga Perludem pada 2015, menunjukkan bahwa salah satu penyebab kepala daerah melakukan korupsi adalah biaya pilkada mahal.
Sebagai contoh, kajian Litbang Kemendagri pada 2014 menunjukkan bahwa untuk jadi wali kota atau bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp 20-30 miliar. Sementara untuk menjadi gubernur, berkisar Rp 20-100 miliar.
Hal serupa juga diungkapkan dari hasil studi KPK melalui wawancara mendalam dengan kepala daerah terkait biaya Pilkada. Maju di level bupati, setidaknya harus menggelontorkan Rp 5-10 miliar. Sementara idealnya untuk menang, paslon harus memiliki Rp 65 miliar.
ADVERTISEMENT
"Dari wawancara mendalam dengan seorang mantan bupati, didapatkan bahwa untuk menjadi bupati di pulau Jawa biaya politik yang harus dikeluarkan mencapai Rp 100 miliar," kata Ipi dalam keterangannya, Senin (23/11).
Ilustrasi gedung KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
"Bahkan biaya untuk menjadi kepala daerah lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya menjadi anggota dewan yang hanya mencapai Rp 300 juta-Rp 6 miliar," sambung Ipi.
Data ini berbanding terbalik dengan kemampuan paslon untuk maju di Pilkada. Ipi mencontohkan dari data LHKPN kepala daerah 2017, menunjukkan bahwa ada paslon yang tak mampu membiayai sendiri.
"Bahkan terdapat cakada dengan harta Rp 0 sebanyak 4 orang, dan cakada dengan harta minus sebanyak 2 orang," kata dia.
Atas dasar data itu, KPK pada 2015, 2017, 2018, melakukan studi yang mengidentifikasi potensi benturan kepentingan dalam Pilkada. Tujuannya, kata Ipi, mengidentifikasi adanya potensi atas penerimaan sumbangan dalam pilkada.
ADVERTISEMENT
Terlebih terkait sumber pendanaan paslon di Pilkada, Ipi menyebut pada 2015 ada 70,3 persen paslon yang mengaku didukung sponsor; pada 2017 sebanyak 82,6 persen; dan 82,3 persen mengaku didukung sponsor.
"Dengan demikian, secara umum, calon kepala daerah maju pilkada karena didukung dana dari sponsor," kata Ipi.
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
Ipi mengatakan, KPK menemukan adanya benturan kepentingan berhubungan erat dengan profil penyumbang terhadap Paslon.
Adapun donatur yang berasal dari pengusaha atau pebisnis, mengharapkan balasan berupa: kemudahan perizinan bisnis; kemudahan untuk ikut serta tender proyek pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Di samping itu, para paslon pun menyatakan apabila menang di Pilkada mayoritas dari mereka akan memenuhi harapan para donatur tersebut.
Pada 2015 sebesar 75,8 persen paslon menyatakan akan memenuhi harapan donatur, sementara pada 2017 sebanyak 82,2 persen, dan pada 2018 sebesar 83,8 persen.
ADVERTISEMENT