Mahasiswa Kulit Hitam di Ukraina Alami Pelecehan Rasis di Tengah Agresi Rusia

2 Maret 2022 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wanita India yang sebagian besar mahasiswa universitas Ukraina di penyeberangan perbatasan Medyka di Polandia Minggu (27/2/2022). Foto: Wojtek Radwanski/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Wanita India yang sebagian besar mahasiswa universitas Ukraina di penyeberangan perbatasan Medyka di Polandia Minggu (27/2/2022). Foto: Wojtek Radwanski/AFP
ADVERTISEMENT
Di tengah keadaan genting Ukraina, mahasiswa asing ternyata masih mengalami perlakuan tak pantas. Fenomena rasialisme, menurut mereka, menghalanginya meninggalkan tanah konflik.
ADVERTISEMENT
Adalah Jean-Jacques Kabeya (30), seorang mahasiswa kulit hitam asal Republik Demokratik Kongo. Ia berkuliah di kota bagian timur Ukraina, Kharkiv, untuk mengejar mimpi menjadi seorang apoteker.
Ia dan beberapa mahasiswa asing menerima perlakuan rasis, baik oleh penjaga perbatasan maupun warga negara Ukraina sendiri.
Dua hari setelah melarikan diri dari ngerinya serangan Rusia di Kharkiv, Kabeya tiba di pos pemeriksaan Shegyni pada Minggu (27/2). Shegyni berlokasi di sebelah barat Ukraina yang berbatasan langsung dengan Polandia.
Layaknya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Para prajurit dan penjaga perbatasan tidak mengizinkan Kabeya memasuki Polandia.
Pengungsi dari berbagai negara Afrika, Timur Tengah dan India yang sebagian besar mahasiswa universitas Ukraina di penyeberangan perbatasan Medyka di Polandia Minggu (27/2/2022). Foto: Wojtek Radwanski/AFP
“Mereka bilang pada saya, ‘Anda tetap di sini [di Ukraina], Anda melarikan diri dari perang, Anda [harus tetap] di sini; Anda bertempur bersama kami—Anda tidak boleh pergi, apalagi kalian semua orang kulit hitam’,” kata Kabeya mengutip ucapan para penjaga perbatasan, kepada kantor berita AFP.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah 36 jam lamanya menunggu dengan sia-sia, Kabeya pun kembali ke Kota Lviv, sebelah barat Ukraina. Di stasiun kereta Lviv, ia bertemu dengan dua kompatriot (sesama warga Kongo).
Kendati melalui perjuangan yang sangat berat, Kabeya menegaskan masih mencoba mencari jalan untuk bisa keluar dari Ukraina.
Kabeya bukan satu-satunya mahasiswa asing yang menghadapi kejinya rasialisme di perbatasan. Mahasiswa dari Pakistan, India, Aljazair, Kamerun, dan Ghana, masih mengantre dengan sabar di pos pemeriksaan Shegyni.
Beberapa dari mereka bahkan menghabiskan waktu hingga empat malam di sana. Suhu dingin yang menggigit, hingga minus 10 derajat celsius, mau tak mau diadang dengan berani oleh mereka.
Pengungsi dari berbagai negara Afrika, Timur Tengah dan India yang sebagian besar mahasiswa universitas Ukraina di penyeberangan perbatasan Medyka di Polandia Minggu (27/2/2022). Foto: Wojtek Radwanski/AFP
Di jalur lainnya, terlihat antrean panjang yang disebut “disimpan” khusus untuk warga Ukraina. Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, mengingat laki-laki Ukraina diperintahkan untuk berjuang melawan Rusia.
ADVERTISEMENT
Antrean itu bergerak dengan cepat, tidak macet seperti antrean para mahasiswa dan warga asing.
“Kita semua, kita semua sudah mendapatkan dokumen kita. Karena kita orang asing, mereka memperlakukan kita layaknya anjing,” ucap seorang mahasiswa program studi komputer dari Pakistan, Mesum Ahmed (23).
“Kita selama ini tidur di sini, di atas trotoar ini. Tapi orang-orang Ukraina itu, mereka tidak peduli,” ungkap Ahmed.
Seorang warga negara Nigeria pun menimbrung, turut menyatakan kejengkelannya.
Pengungsi dari berbagai negara Afrika, Timur Tengah dan India yang sebagian besar mahasiswa universitas Ukraina di penyeberangan perbatasan Medyka di Polandia Minggu (27/2/2022). Foto: Wojtek Radwanski/AFP
“Anda bisa melihat dengan jelas, apa hal yang memisahkan mereka dengan kami. Kami kulit hitam, itulah mengapa,” tegas mahasiswa Nigeria yang tidak menyebutkan namanya itu.
Satu-satunya bantuan yang mereka terima adalah dari relawan setempat. Mereka memberikan minuman hangat dan roti lapis untuk mengisi perut para mahasiswa dan warga asing.
ADVERTISEMENT
Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, rasialisme di tanah ini hampir tidak pernah mereka rasakan. Demikian menurut sekelompok mahasiswa asal Kamerun yang berjumlah 30 orang.
Mereka sebelumnya menimba ilmu di Kota Kirovograd. Selama di sana, mereka mengaku baik-baik saja. Barulah setelah Rusia meluncurkan serangannya, rasialisme mulai menjadi makanan sehari-hari.
“Di stasiun, di kereta, kami secara sistematis dipisahkan dari tempat duduk,” kata Bryan Famini, mahasiswa jurusan ekonomi.
Pengungsi dari berbagai negara Afrika, Timur Tengah dan India yang sebagian besar mahasiswa universitas Ukraina di penyeberangan perbatasan Medyka di Polandia Minggu (27/2/2022). Foto: Wojtek Radwanski/AFP
“Beberapa warga Ukraina bahkan mengejek kami dari mobil-mobil yang mereka tumpangi, karena kami berjalan kaki. Saya kecewa sekali dengan negara ini. Saya tidak akan kembali,” timpal Ghislain Weledji.
Pemerintah Nigeria dan Afrika Selatan pun telah menyuarakan permintaan agar warga negara mereka diperlakukan dengan pantas. Kemudian, pada Senin (28/2), Uni Afrika mengeluarkan pernyataan berisi keprihatinan soal dugaan perlakuan rasis terhadap mahasiswa asing.
ADVERTISEMENT

Sanggahan Petugas Perbatasan

Petugas penjagaan perbatasan Ukraina langsung membantah terjadinya rasialisme di perbatasan.
“Tidak ada yang dilarang meninggalkan Ukraina,” tegas badan perbatasan Ukraina kepada AFP. Mereka pun mengatakan tidak pernah menerima laporan diskriminasi apa-apa.
Diperkirakan saat ini ada 680.000 pengungsi yang sudah meninggalkan Ukraina. Sedangkan di dalam negeri, diperkirakan ada 1 juta penduduk yang mengungsi dari kediamannya.
Penumpang, termasuk pengungsi dari kota Sumy dan Kyiv, berjalan di sepanjang peron stasiun kereta api setibanya mereka di Lviv, Ukraina, Jumat (25/2/2022). Foto: Pavlo Pamararchuk/REUTERS
Tidak semua warga asing mengalami kesulitan ketika meninggalkan Ukraina menuju Polandia. Seorang mahasiswi asing bernama Amanjyot mengaku berhasil menaiki kereta di stasiun Lviv menuju Polandia.
Kendati demikian, Amanjyot mengatakan warga Ukraina memang diprioritaskan untuk keberangkatan kereta.
Amanjyot tetap merasa bersyukur, ia dan teman-temannya bisa meninggalkan Ukraina dengan bantuan dari petugas Palang Merah Ukraina dan lembaga amal di stasiun Lviv.
ADVERTISEMENT
“Mereka sangat membantu! Banyak makanan yang disediakan, dan mereka melayani semua orang tanpa mendiskriminasi,” tutup dia.