Mahasiswa UGM Meneliti Santet: Kearifan Lokal yang Ternyata Punya Sisi Positif

21 September 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama-sama meneliti tentang santet. Sejumlah mahasiswa yang berasal dari prodi Arkeologi, Bahasa dan Sastra Indonesia, Psikologi, dan Sastra Jawa meneliti bagaimana santet dipahami masyarakat.
ADVERTISEMENT
Izza mahasiswa Arkeologi UGM menjelaskan dia dan 4 rekannya meneliti bagaimana persepsi masyarakat akan santet dari sesuatu yang memiliki nilai positif menuju hal yang sepenuhnya negatif.
"Pemahaman masyarakat Indonesia secara umum terhadap santet dapat dibilang hanya sampai pada simpang siur tanpa adanya bukti valid," kata Izza dalam keterangan tertulis yang dikutip kumparan, Selasa (21/9).
Dalam penelitian ini, Izza bersama rekan-rekannya melibatkan berbagai pihak mulai dari wawancara, analisis digital, hingga analisis tekstual.
"Minimnya pengetahuan berbukti valid itu bermuara pada terbentuknya beragam persepsi masyarakat. Mayoritas persepsi tersebut menilai santet sebagai suatu hal yang negatif dan sudah selayaknya ditinggalkan. Persepsi tanpa dasar semacam ini kerap melahirkan reaksi tanpa argumen dan hanya berdasar sentimen belaka," katanya.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan dalam peninggalan manuskrip dan aktivitas manusia ruang praktik dan nalar positif santet dalam masyarakat Jawa terekam. Meski secara tekstual kata santet tidak ditemukan dalam manuskrip kuno.
Kata yang terdekat dalam santet saat itu adalah sathet. Kata ditemukan di dalam Serat Wedhasatmaka tahun 1905. Kata sathet bermakna jenis pesona dengan menggambar.
"Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Wisma Nugraha, Dosen FIB UGM, meskipun secara tekstual kata santet tidak terdapat dalam beberapa manuskrip sebagai objek kajian data, hal ini dirasa wajar sebab dalam kesusastraan Jawa, santet merupakan akronim dari mesisan kanthet dan mesisan benthet," jelasnya.
Izza bersama rekan-rekan juga melakukan wawancara dengan Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu). Dari hasil wawancara dijelaskan bahwa masyarakat Jawa khususnya Banyuwangi diketahui bahwa sifat dari santet yaitu membuat sesuatu menjadi rekat sekalian (mesisan kanthet).
ADVERTISEMENT
Ataupun sebaliknya yaitu membuat sesuatu menjadi retak atau pecah sekalian (mesisan benthet).
Sehingga dapat ditelaah bahwa santet memiliki dua paradigma yaitu nilai positif dan nilai negatif. Hal itu tergambar dari piranti-piranti dan konsep yang membingkai santet itu sendiri
Nilai positif santet tergambar pada masyarakat Madura seperti menangkap ikan, memanggil hujan, hingga menyembuhkan sakit. Santet yang dilakukan itu tidak merusak dan melukai.
"Seperti tersebut di atas bahwa santet memiliki konsep nilai positif dan negatif. Akibat perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya santet menjadi disalahgunakan," katanya.
Dari penelitian ini, Izza yang tergabung dalam Tim PKM-RSH UGM ingin kembali mengangkat nilai positif santet. Nilai positif itu sebelumnya mengalami pergeseran dan marginalisasi di era modern sekarang ini.
ADVERTISEMENT
"Rekontekstualisasi nilai-nilai santet perlu dilakukan dengan tujuan menyelaraskan konsep santet dulu dengan sekarang serta membebaskan santet dalam ruang nalar yang salah akibat marginalisasi dan politisasi ideologi yang berkepentingan," bebernya.
Menurutnya, santet perlu dipandang sebagai kekayaan intelektual bangsa. Santet perlu dipahami dengan arif dan bijaksana sehingga tidak ada marginalisasi antar budaya.