Mahfud MD Bicara Pentingnya Perlindungan Saksi Tindak Pidana: Sering Terlupakan

1 September 2021 2:38 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Polhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait revisi UU ITE, Selasa (8/6).
 Foto: Humas Kemenko Polhukam
zoom-in-whitePerbesar
Menko Polhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait revisi UU ITE, Selasa (8/6). Foto: Humas Kemenko Polhukam
ADVERTISEMENT
Menkopolhukam Mahfud MD memberikan kuliah umum dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-13 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) secara daring di Jakarta, Selasa (31/9).
ADVERTISEMENT
Dalam paparannya, Mahfud membahas mengenai pentingnya perlindungan bagi saksi tindak pidana yang kerap terlupakan.
"Saya akan sampaikan beberapa pikiran sesuai tema. Pertama, masalah perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana kita," kata Mahfud.
Mahfud memulai kuliahnya dengan pernyataan mengenai isu korban dan saksi merupakan pihak yang dirugikan dan menderita akibat pelanggaran hukum.
Mereka dinilai kurang diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, sampai LPSK lahir.
Saksi dan korban, kata Mahfud, kerap hanya dilibatkan sebatas memberikan kesaksian. Bahkan, bagi korban, tak diberikan peran untuk terlibat langsung dan aktif dalam proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.
"Sehingga, korban kehilangan kesempatan memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan," kata dia.
Kantor LPSK. Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan
Mahfud menyatakan, korban tak pernah dimintai pendapat model penghukuman yang ia inginkan terhadap pelaku kejahatan. Apakah menghendaki hukuman terhadap pelaku secara retributif, menginginkan ganti kerugian secara restorative, atau bahkan kasus ditutup.
ADVERTISEMENT
"Kalau misal kasus perkosaan itu kadang kala kalau KUHP konvensional, Anda melakukan kejahatan, kami tangkap, kami adili secara terbuka. Tapi korban, kan, begitu karena orang diperkosa, menjadi tersiar di depan pengadilan, sehingga menjadi tercemar," kata Mahfud.
Contoh macam itu, kata Mahfud, seharusnya bisa masuk dalam konsep restorative justice bahwa korban harus diperhatikan dalam proses pidana dan tak hanya menghukum pelaku.
"Hal-hal seperti itu, tekanan retributif sering terjadi. Korban merasa tak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan JPU (Jaksa Penuntut Umum) dan atau putusan oleh hakim karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan bagi korban," ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Mahfud menyatakan sistem peradilan pidana ditujukan untuk kepentingan negara dan masyarakat. Padahal, kata dia, peradilan ditujukan untuk kepentingan personal warga yang menjadi korban.
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Shutterstock
Namun, itu semua adalah sistem peradilan pidana di masa lalu. Saat itu, kerugian akibat kejahatan masih dinilai menjadi musibah yang harus ditanggung korban.
ADVERTISEMENT
"Negara melepas tangan, kenapa? Karena menolong korban bukan fungsi sistem peradilan pidana. Fungsi peradilan pidana adalah menanggulangi pelaku kejahatan, hukum pelaku kejahatan, rehabilitasi narapidana, supaya enggak ulangi perbuatan," ucapnya.
"Tapi tidak untuk restorasi kerugian korban. Jadi, sering korban alami perlakuan yang dirugikan, terdakwa diadili keras bahkan disiksa, tapi korban dilupakan," sambungnya.
Atas dasar itu, kata Mahfud, orang kerap takut untuk menjadi saksi dan buka suara. Mereka memilih memendam penderitaan sendiri tanpa pertolongan negara.
Namun, seiring berjalannya waktu, mulai ada sejumlah perubahan dalam sistem pidana. Negara-negara di dunia mulai tertarik untuk memberikan perhatian lebih kepada saksi dan korban.
Salah satu perlindungan yang muncul adalah dalam bentuk hak korban menuntut ganti rugi. Hal tersebut pun diterapkan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Tuntut ganti rugi dengan ketentuan orang yang dirugikan dapat dituntut dengan ajukan ke ketua sidang pengadilan perkara pidana yang bersangkutan, supaya dikabulkan gugatan ganti rugi dengan perkara pidana itu," kata Mahfud.
Menko Polhukam Mahfud MD Dialog Virtual Bersama Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta dari 820 kampus. Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam
Mahfud pun bicara mengenai tiga alasan mengapa perlindungan terhadap saksi dan korban perlu dilakukan.
Pertama, untuk terbentuknya masyarakat yang percaya kepada kehidupan sosial yang berjalan baik. Korban dinilai harus dilindungi.
Kedua, Mahfud bicara soal kontrak sosial. Negara harus bertanggung jawab memenuhi hak korban dan semua itu dijamin dipenuhi dengan menyediakan sarana serta prasarananya.
"Ketiga, perlindungan korban dewasa ini dikedepankan penyelesaian konflik dan datangkan rasa damai," jelas dia.
Mahfud kemudian menyinggung soal peran LPSK dalam melindungi saksi dan korban. Hal tersebut didasari oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
"Kerja LPSK harus diam-diam, menyangkut korban kejahatan yang harus dilindungi, menyangkut saksi-saksi terjadinya kejahatan yang harus dilindungi," kata Mahfud.
Ia mengingatkan LPSK jelas harus menempatkan posisi kelembagaan yang berada di antara dua kepentingan, yakni kepentingan yang dimandatkan oleh UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang bersifat mandiri.
Namun, LPSK juga harus melaksanakan kepentingan kedua, yakni menjalankan program yang didukung oleh institusi terkait.
Mahfud berharap, LPSK tetap melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan perlindungan saksi dan korban bersama penegak hukum serta memastikan terpenuhinya hak-hak asasi saksi dan korban dalam sistem peradilan di Indonesia.