Mahfud MD Sebut Diskusi soal RUU KUHP Sudah 50 Tahun: Terlalu Berlebihan

14 Juni 2021 15:01 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Polhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait revisi UU ITE, Selasa (8/6).
 Foto: Humas Kemenko Polhukam
zoom-in-whitePerbesar
Menko Polhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait revisi UU ITE, Selasa (8/6). Foto: Humas Kemenko Polhukam
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menkopolhukam Mahfud MD menjadi pembicara dalam Diskusi Publik RUU KUHP yang digelar di Hotel JS Luwansa para hari ini, Senin (14/6). Dalam sambutannya, Mahfud menyinggung soal lamanya pembahasan revisi UU KUHP yang tak kunjung selesai dilakukan.
ADVERTISEMENT
Mahfud bicara soal perdebatan dalam revisi UU KUHP yang tak kunjung usai. Ia menyinggung soal tantangan dalam mencapai kesepakatan atau resultante. Dari segi politik, kata dia, resultante bisa muncul karena tiga hal.
Pertama adalah hegemoni. Kesepakatan ini biasanya muncul karena adanya kekuatan politik yang kuat. Kata Mahfud, hal ini biasanya muncul ketika zaman orde baru. Di era saat ini, kata dia, sulit untuk terjadi.
Kedua, yakni oligarkis. Kesepakatan ini yang muncul antara para elite politik. Sehingga dalam merancang sebuah kesepakatan hanya berdasarkan sikap dari masing-masing elite tanpa melibatkan masyarakat.
Ketiga, demokratis. Upaya ini, kata Mahfud, yang tengah dilakukan dalam pengesahan RUU KUHP. Namun ia menyinggung soal sulitnya untuk mencapai kesepakatan dari 270 juta rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Tetapi begini. Keputusan tetap harus segera diambil, mau mencari resultante dari 270 juta rakyat Indonesia, resultante kesepakatan artinya, itu hampir tidak mungkin," kata Mahfud.
Sejumlah pasal dalam revisi Undang-undang KUHP dinilai merugikan perempuan. Foto: STR/AFP
Oleh sebab itu, kata dia, keputusan harus diambil melalui proses yang konstitusional. Sebab, ia meyakini apa pun keputusan pemerintah saat ini pasti menghasilkan pertentangan dari sejumlah pihak. Hal inilah, kata dia, yang menjadikan proses revisi tak kunjung selesai.
"Kalau laporan Pak Benny Kepala BPHN (Benny Riyanto, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional), sejak tahun 1963. Sudah dibentuk berlaku 1 Januari 1918 sudah 103 tahun sampai sekarang, 104 tahun, berlaku ini UU. Didiskusikan terus mau diganti, lama lah diberlakukan UU 1 Tahun 46, diberlakukan lagi UU 73 tahun 58, terus dibentuk panitia sampai sekarang berdebat terus," kata Mahfud.
ADVERTISEMENT
Ia merinci, beberapa hal yang menjadikan perdebatan tidak dapat terhindarkan. Yakni kemajemukan bangsa Indonesia hingga perdebatan panjang tentang hukum secara partikularisme dan universalisme.
"Ya sudahlah dari pada berdebat ribut-ribut berlakukan saja yang lama dulu, ini yang menyebabkan lama. Yang lama itu kan masih bagus ada asas legalitas, asas oportunitas, non-reproaktif, sudah lengkap di situ. Sudah dibicarakan pelan-pelan," kata Mahfud.
"Tapi kalau pelan-pelan lebih dari 60 tahun menurut saya atau lebih dari 50 tahun menurut saya bicara soal hukum terlalu berlebihan. Untuk itu menurut saya mari sekarang kita segera cari resultante baru, toh sudah ada instrumen hukum," sambungnya.
Resultante yang dimaksud oleh Mahfud adalah menggunakan instrumen hukum yang ada. Saat ini di Indonesia sudah ada Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan untuk dilakukannya legislatif review atas sebuah undang-undang. Melalui jalur ini, kata dia, perbedaan pendapat soal UU bisa diselesaikan.
ADVERTISEMENT
"Tidak mungkin kita menutup pada kemungkinan legislatif review meskipun kita bermimpi oh ini berlaku selamanya dan seterusnya tidak bisa diubah, tidak mungkin," kata dia.
"Pasti akan muncul ide legislatif review pada saatnya apalagi dengan adanya perkembangan terbaru sekarang ini hukum digital akan terus mengalami perkembangan yang tak akan terkejar oleh antisipasi hukum. Tapi memang harus diwadahi itu akan banyak terjadi buktinya kita punya banyak hukum sektoral seperti itu," sambungnya.
Mahfud menyatakan setiap produk hukum tak akan diterima 100 persen oleh masyarakat. Namun, pemerintah harus mencari yang terbaik.
"Yakin tidak akan ada 100 persen orang setuju, tadi ada tingkatan mencapai resultante itu, ada hegemoni, oligarki, dan ada dengan masyarakat. Nah kita cari yang terbaik di antara itu," pungkasnya.
ADVERTISEMENT