Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menelepon Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly , tiga hari setelah penandatanganan paket perjanjian Flight Information Region (FIR ), ekstradisi , dan Defense Cooperation Agreement (DCA) di Bintan pada 25 Januari 2022 lalu. Jokowi resah.
ADVERTISEMENT
Ia meminta Yasonna memberi penjelasan pada masyarakat soal substansi perjanjian ekstradisi. Permintaan Jokowi ini bukan tanpa sebab. Tiga hari setelah diteken, publik justru mulai ramai-ramai meributkan sembari mengkritik substansi FIR , DCA, dan ekstradisi. Tidak sedikit yang menilai pemerintah ‘gagal’ berdiplomasi. Poin dianggap perjanjian lebih banyak menguntungkan Singapura.
Soal FIR, yang diributkan soal Indonesia tidak memegang kendali penuh wilayah udara di Langit Natuna . Sebab, Indonesia hanya mengelola di ketinggian di atas 37 ribu kaki. Sementara soal ekstradisi, masyarakat mengkritik perjanjian ekstradisi dengan Singapura yang hanya berlaku 18 tahun retroaktif. Padahal banyak kasus hukum yang usianya sudah lebih dari 18 tahun, termasuk yang terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI ).
Berbagai pakar juga pesimistis DPR bakal meratifikasi perjanjian ekstradisi, sama seperti 2007 lalu.
Jokowi ingin Yasonna meredam gaduh di publik.
ADVERTISEMENT
“Ini kan perlu detail pemahaman masyarakat supaya benar kata Bapak Presiden. Kadang-kadang masyarakat tidak membaca utuh dan membuat komentar masing-masing. Presiden mengatakan supaya benar tafsirnya,” kata Yasonna saat berbincang dengan kumparan (4/2).
Yasonna menyanggupi perintah Jokowi. “Supaya jangan ada kesalahpahaman di masyarakat,” ujarnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini menjelaskan, masyarakat harus paham, jika perjanjian tidak diteken, Indonesia malah rugi. Ia pun meminta masyarakat mengartikan konsep kedaulatan dengan benar.
“Kalau bilang tolak, berarti kembali ke square one. Siapa yang rugi? Kan kembali ke mereka. Kita melihatnya tidak boleh black and white,” ujar dia.
Indonesia dan Singapura pernah meneken perjanjian ekstradisi pada 2007. Saat itu, salah satu poin perjanjian adalah ekstradisi berlaku retroaktif selama 15 tahun. Salah satu tujuan pemerintah adalah memboyong buronan BLBI yang kabur ke Singapura.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, perjanjian ekstradisi ditolak di DPR. DPR menolak meratifikasi karena menilai perjanjian Defense Cooperation Agreement (DCA) yang dibahas dalam satu paket dengan ekstradisi saat itu, mengganggu kedaulatan Indonesia. Akhirnya, ekstradisi dan DCA mental.
Jika ditandatangani, dan berhasil diratifikasi pada tahun itu, maka keinginan pemerintah terwujud. Karena, kasus BLBI terjadi pada periode 1997 hingga 1998. Selain tentunya, memudahkan proses ekstradisi buronan lain.
Kini, tantangan hampir serupa dihadapi pemerintah. Namun, gaduh perjanjian Bintan dipicu persoalan ekstradisi yang berlaku surut 18 tahun. Artinya, pemerintah hanya bisa memulangkan mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka paling lama pada tahun 2004. Terlalu jauh jika digunakan untuk mengejar kasus BLBI yang terjadi pada akhir 1990-an itu.
Setelah gagal diteken pada 2007, Indonesia kembali intens membahas perjanjian ekstradisi pada 2019. Tepatnya, saat Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan mulai intens membahas soal FIR dan DCA dengan Singapura.
ADVERTISEMENT
Dalam Leaders’ Retreat yang digelar Oktober 2019, Yasonna selaku Menkumham mengusulkan pada Luhut agar ekstradisi sekalian dibahas berbarengan dengan FIR dan DCA. Kepada Luhut, Yasonna menekankan pentingnya penandatanganan ekstradisi dengan Singapura. Ia mengeluhkan sulitnya memboyong buronan yang kadung kabur ke Singapura.
“Karena pengalaman kami berkali-kali di Kemenkumham sebagai central authority, kalau sudah ada deal dengan Singapura, selalu mengalami hambatan dengan ini,” kenang Yasonna.
Indonesia beberapa kali harus mengambil buron dari Singapura tapi ditolak karena ada ketentuan dalam Undang-Undang Singapura, bahwa untuk mengekstradisi seseorang diperlukan perjanjian bilateral.
Ketiadaan ekstradisi membuat buron asal Indonesia bisa bermukim di Singapura, bahkan berpindah kewarganegaraan.
“Usulan kami tersebut diterima dan mulailah intens pembicaraan-pembicaraan dengan pihak Singapura, bersamaan dengan 3 track yang berbeda. DCA (Kemenhan), FIR (Kemenhub), dan Ekstradisi (Kemenkumham) dan tentu ada Pak Menkopolhukam juga,” kata Yasonna.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ekstradisi diharapkan bisa menjadi pijakan yang baik. Untuk konteks saat ini, ekstradisi diharapkan dapat memuluskan kerja Satgas BLBI dan penegak hukum memburu aset dan buron yang bersembunyi di Singapura. Pemerintah memang tengah gencar memburu aset dan buron BLBI.
Soal substansi perjanjian ekstradisi, tidak banyak yang berubah dibandingkan 2007. Perjanjian ekstradisi yang diteken dengan Singapura mengatur 31 jenis kejahatan.
Di antaranya mengatur ekstradisi bagi pelaku kejahatan perbankan, pajak korupsi, pendanaan terorisme, pencucian uang, perkosaan, dan pembunuhan. Yang berbeda hanya perpanjangan waktu dari 15 menjadi 18 tahun.
Yasonna menjelaskan alasan ekstradisi berlaku surut 18 tahun. Menurut dia, ini dibatasi oleh KUHP. 18 tahun menyesuaikan dengan Pasal 78 KUHP soal masa kedaluwarsa sebuah tindak pidana.
ADVERTISEMENT
“Kalau tindak pidana yang melewati batas itu, kita juga tidak bisa pursue, kecuali ada perubahan UU soal ini,” paparnya.
Jika pun pemerintah memaksakan 20 tahun, mereka yang terkait tak akan bisa dituntut pemerintah Indonesia karena kasus sudah kedaluwarsa. “Memang hukum perlu kedaluwarsa untuk kepastian hukum. Di mana pun di dunia, ada kedaluwarsa penuntutan.
Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan KUHP mengatur masa kedaluwarsa pidana 18 tahun karena paling lama seorang terpidana dihukum seumur hidup 18 tahun.
"Kenapa 18 tahun karena maksimal hukuman di Indonesia itu mati atau seumur hidup. Tapi itu kedaluwarsanya 18 tahun. Setelah itu, dia tidak bisa dituntut lagi, sudah hapus, sudah bebas," kata dia.
ADVERTISEMENT
Abdul mengatakan, Indonesia tidak bisa mengambil buron yang sudah diputus kasusnya lebih dari 18 tahun lalu.
Hikmahanto Juwana menilai, perjanjian ekstradisi yang ada saat ini tidak sepenting di 2007. Sebab, saat itu, ekstradisi diusulkan berlaku surut 15 tahun demi menjangkau buron kasus BLBI utamanya yang mengganti kewarganegaraan.
"Indonesia glorifikasinya oh, ada perjanjian ekstradisi. Wong itu juga masih harus diratifikasi, dipertukarkan baru efektif. Ini 18 tahun mau jangkau apa. Kalau menuntut BLBI ya sudah gugur," kata dia.
Lalu, siapa saja yang menjadi target pemerintah?
Pemerintah telah mengantongi nama-nama yang bakal diburu, nanti setelah ekstradisi berhasil diratifikasi di DPR. Namun, Yasonna enggan menyebut siapa saja buronan yang diincar.
“Yang pasti ada sekitar hampir 10 lah, paling tidak itu yang pernah, dan belum yang sekarang ini,” kata Yasonna.
ADVERTISEMENT
Yasonna tak menampik obligor BLBI termasuk yang diburu. “Obligor BLBI yang menyalahgunakan jaminan dan aset-aset mereka,” jelas dia.
kumparan menghimpun beberapa buron Indonesia yang diduga berada di Singapura.
Ada Sjamsul Nursalim, ia adalah obligor bank Dewa Ruci yang terjerat kasus BLBI. Pada tahun 2020, Forbes pernah menempatkannya di jajaran 50 orang terkaya di dunia, dengan harta yang ditaksir mencapai 755 juta dolar Singapura. Sjamsul pernah masuk dalam DPO KPK, pada September 2019, namun bos PT Gajah Tunggal ini kembali bebas setelah KPK menghentikan penyidikannya.
Belakangan, Sjamsul sudah membayar utang kepada pemerintah sebesar Rp 150 miliar, dari total utang Rp 470,65 miliar pada 11, 17 dan 18 November 2021.
Ada juga nama Bambang Sutrisno. Ia adalah komisaris Bank Surya, yang merugikan negara sebesar Rp 1,5 triliun. Ia divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2003 dan hingga kini belum diketahui keberadaanya. Diduga kuat, ia berada di Singapura.
ADVERTISEMENT
Berikutnya ada Eko Adi Putranto yang divonis 20 tahun penjara pada tahun 2002 atas korupsi BLBI. Ia merugikan duit negara sebesar Rp 1,9 triliun. Ia pernah terdeteksi berada di Singapura meskipun dalam website Kejaksaan Agung, diduga berada di Australia Barat.
Lidia Muchtar adalah obligor BLBI yang memberikan bantuan kepada Bank Tamara. Ia diduga berada di Singapura, dan memiliki kewajiban membayar utang sebesar Rp 188,58 miliar kepada pemerintah.
Selain kasus BLBI, ada beberapa terpidana kasus kejahatan perbankan seperti kasus dana talangan pemerintah kepada Bank Century. Beberapa yang sudah divonis dan masih buron antara lain Hesham Al Warraq, pendiri Bank Century. Ia divonis penjara 15 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ulah Hesham merugikan negara Rp 1,9 triliun. Dari data Kejaksaan Agung, Hesham memiliki alamat di Raflles Place, Singapore Lane Tower.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, penangkapan para terpidana yang berada di Singapura memang pernah terjadi. Namun, tidak melalui ekstradisi. Mereka ditangkap karena melanggar hukum di Singapura.
Contohnya adalah Adelin Lis. Ia adalah terpidana kasus pembalakan liar di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ia ditangkap otoritas Singapura pada 28 Mei 2018 karena paspor palsu. Hal itu membuat penegak hukum Singapura berkontak dengan KBRI untuk mengkonfirmasi paspor palsu milik Adelin Lis.
Saat itu, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo segera mengontak Jaksa Agung ST Burhanuddin.
“Ketika akan dideportasi, Kejagung mengirim surat kepada Jaksa Agung Singapura untuk mengatakan Adelin Lis bukan hanya melanggar imigrasi,
tapi buronan 10 tahun dengan bukti keputusan hukum yang tetap. Kemudian kita minta Adelin dikembalikan ke Indonesia,” kata Suryopratomo pada kumparan.
ADVERTISEMENT
Selain Adelin Lis, Hartawan Aluwi juga ditangkap di Singapura. Ia melakukan kasus pelanggaran paspor sehingga status permanent resident yang dimilikinya dicabut oleh Pemerintah Singapura. Ia dideportasi pada 2016.
Hartawan Aluwi adalah terpidana kasus Century. Pada 2015, ia divonis bersalah telah menggelapkan dana Bank Century sebesar Rp 853 miliar.
Yang paling beken mungkin adalah Gayus Tambunan. Tokoh sentral mafia pajak ini sempat kabur ke Singapura pada tahun 2010. Proses penangkapannya tergolong unik. Ia tidak melanggar hukum Singapura, namun Polisi berhasil mengatur pertemuan dengannya pada 30 Maret 2010 di Food Mall, Lucky Plaza, Orchard ROAD. Setelah berdiskusi panjang, polisi berhasil membujuk Gayus pulang ke Indonesia untuk diadili.
Namun, perjanjian ini berpotensi kembali tidak diratifikasi DPR. Berkaca pada peristiwa tahun 2007 lalu, saat Hasan Wirajuda dan George Yeo menandatangani perjanjian ekstradisi yang seharusnya berjalan paralel dengan DCA.
Mulfachri Harahap, anggota Komisi III DPR Fraksi PAN sejak 2007 hingga saat ini menceritakan alasan penolakan DPR meratifikasi paket perjanjian DCA dan ekstradisi. DPR mempermasalahkan Singapura yang menginginkan wilayah Indonesia sebagai tempat latihan militer mereka.
ADVERTISEMENT
DPR menilai hal ini merusak prinsip kedaulatan. Area yang diinginkan Singapura meliputi Kepulauan Riau, Pulau Natuna, Selat Karimata, dan Selat Karimun.
Pemerintah beralasan bahwa pemberian izin pada Singapura ini merupakan konsekuensi Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982. Singapura menjadi salah satu negara yang mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebagai gantinya, Singapura meminta wilayah latihan militer.
Selain itu, ada klausul bahwa Singapura bisa mengajak negara ketiga sebagai peserta latihan militer. Klausul lain, bahwa Singapura bisa menggunakan tempat latihan itu secara permanen dalam waktu 25 tahun.
Mulfachri menilai dengan perjanjian ini, maka Singapura bisa melakukan latihan militer di Indonesia sepanjang perjanjian ekstradisi berlaku efektif. Padahal, seharusnya negosiasi ekstradisi dan DCA dibuat terpisah.
“Kita bisa buat kesepakatan militer yang tidak permanen. Kalau ada perjanjian, kita terikat selama perjanjian itu ada. Ini kan persoalan, kalau itu kebutuhannya, itu dibuat parsial dan tidak permanen. Mereka bisa menggunakan dan kita latihan bersama,” kata Mulfachri.
ADVERTISEMENT
Mulfachri menilai, Singapura telah berlaku curang. Karena mereka tahu, Indonesia sangat membutuhkan perjanjian ekstradisi ini.
“Maka mereka mensyaratkan sesuatu yang sulit kita terima. itu artinya mereka cheating, mereka tidak betul-betul menginginkan adanya perjanjian seperti itu dengan kita,” kata Mulfachri.
Dalam perjanjian di Bintan, ekstradisi lagi-lagi diteken satu paket bersama DCA dan FIR. Substansi DCA masih tetap sama. Maka, bukan tidak mungkin DPR akan kembali menolak ratifikasi.
“Kalau itu digandeng dengan hal yang menyangkut kedaulatan kita, itu pride kita. Kita jangan mau didikte, kita ini negara gede loh. Kan persoalannya itu, kita negara gede. Dalam banyak hal, toleransi kita kepada Singapura sudah jauh,” kata Mulfachri.
Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana menilai permintaan yang diusulkan Singapura soal wilayah latihan militer bakal sulit untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebab, Singapura meminta beberapa wilayah yang berada jauh di dalam teritori Indonesia. Beberapa wilayah, kata Hikmahanto, terletak pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang merupakan perairan pintu masuk ke Indonesia.
“Tempat latihan ini ada di area ALKI untuk pelayaran internasional. Dia (Singapura) minta dekat-dekat situ, ini kan membahayakan ALKI maka TNI AL enggak setuju. Belum lagi kalau personel Singapura melakukan kejahatan selama latihan maka dalam perjanjian itu pengadilan yang mengadili di Singapura, bukan Indonesia, dan hukumnya Singapura,” terang Hikmahanto.
Yasonna Laoly optimistis perjanjian ekstradisi bakal diratifikasi DPR. Ia mengaku sudah melakukan komunikasi dengan Komisi III DPR.
“Kemarin saya rapat di Komisi III sudah saya sampaikan supaya ini dapat kita ratifikasi. Saya mengadakan pembicaraan karena ini manfaatnya cukup besar bagi kita,” kata Yasonna.
ADVERTISEMENT
Yasonna tak bisa membayangkan, jika paket perjanjian FIR, DCA, dan ekstradisi kembali gagal diratifikasi DPR. Padahal, menurut Yasonna, banyak terobosan yang dibuat.
“Kalau sekarang ditolak, kembali ke square one mereka yang beruntung. Jadi harus melihatnya dari strategi kepentingan yang lebih besar dan panjang, tidak emosi,” ucap Yasonna.
ADVERTISEMENT
MLA Kurang Efektif
Indonesia sebenarnya sudah meneken Perjanjian Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA) dengan Singapura dan antar anggota ASEAN lain pada 2008. Namun, MLA dinilai kurang efektif karena hanya mengatur pertukaran informasi.
Penandatanganan ekstradisi dibutuhkan agar perburuan buron bisa terwujud. Anggota Komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan, Johan Budi, menilai MLA saja tidak cukup.
“Misal kita dapat informasi dapat buronan, di sana disimpan uang, itu bisa kerja sama KPK dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Tapi kalau ambil itu harus perjanjian ekstradisi,” kata Johan.
ADVERTISEMENT
Senada, Yasonna Laoly menilai, MLA saja tidak cukup. Sebab, ujung-ujungnya UU Singapura tetap mewajibkan adanya perjanjian bilateral antar dua negara.
“Kalau kita minta Singapura, dia bilang, dalam UU Singapura, dalam perjanjian ekstradisi harus ada perjanjian bilateralnya. Kan ini persoalan. Mau alasan, mau tidak,” kata Yasonna.