Masyarakat Sipil: Pergantian Aswanto dengan Guntur Hamzah Pelanggaran Konstitusi

23 November 2022 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto saat sidang Perselisihan Hasil Pemilu Umum 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat(21/8). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto saat sidang Perselisihan Hasil Pemilu Umum 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat(21/8). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ICW, Perludem, TII, SETARA, Pusako UNAND, dan Pattiro Semarang, mengecam pergantian Hakim Konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah. Guntur telah resmi bertugas usai mengucapkan sumpah dan janji di depan Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Perwakilan koalisi yang juga peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengungkapkan pergantian hakim MK ini melanggar hukum dan serampangan. Diawali dengan langkah DPR RI yang mengusulkan pergantian tersebut, karena menilai Aswanto kerap tak meloloskan produk-produk DPR seperti UU di MK.
"Celakanya, niat buruk DPR untuk mengintervensi MK dibenarkan dan diikuti oleh Presiden Joko Widodo dengan melantik Guntur pada hari ini di Istana Negara," kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (23/11).
Kurnia menilai, pemberhentian Aswanto inkonstitusional, sebab tak terdapat satu pun ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk memberhentikan Hakim Konstitusi.
Selain itu, pemberhentian tersebut dilakukan di tengah jalan. Sebab seharusnya Aswanto baru merampungkan tugas pada Tahun 2029.
ADVERTISEMENT
Kurnia mengatakan, regulasi sejatinya tidak memberikan keleluasaan DPR untuk menggunakan logika ownership dalam hubungannya dengan MK. Artinya, DPR tidak dapat mengganti Hakim Konstitusi sebelum masa jabatannya berakhir, walaupun hakim tersebut merupakan usulan DPR.
"Bila dipaksakan, tindakan DPR yang sewenang-wenang tersebut akan berdampak pada prinsip imparsialitas dan kemandirian MK. Hal ini juga akan berujung pada melemahnya komitmen Indonesia terhadap konsep negara hukum yang telah ditegaskan pasca reformasi," kata Kurnia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Di sisi lain, MK secara kelembagaan dinilai juga tidak bersikap secara tegas dan seolah membiarkan keserampangan ini terjadi. Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah, yang juga merupakan pengganti Hakim Aswanto, tidak menolak usulan DPR. Padahal, baik hakim-hakim MK maupun Sekjen merupakan negarawan dan ahli hukum tata negara yang tentu memahami urgensi imparsialitas MK.
ADVERTISEMENT
"Secara kelembagaan, seharusnya MK dapat bersikap tegas untuk menentang keputusan serampangan yang dilakukan DPR dan Presiden," kata Kurnia.
"Mengingat nilai konstitusi serta masa depan MK sebagai lembaga negara sedang dipertaruhkan, di sini menjadi amat dibutuhkan progresivitas MK dalam menjalankan perannya selaku guardian of the constitution," sambung Kurnia.
Kurnia mengatakan, terlepas ada atau tidaknya kewenangan tertulis untuk menentang keputusan DPR dan Presiden, perlu ada sikap tegas dari MK, terkhusus dari Anwar Usman selaku Ketua MK terkait dengan pergantian ini.
"Penting untuk dilakukan agar kekhawatiran sejumlah pihak terkait pernikahan Anwar Usman dengan adik Presiden Jokowi dapat menghadirkan Conflict of Interest (CoI) dapat terbantahkan. Jika tidak ada penyikapan sampai nanti pelantikan Guntur, maka indikasi CoI antara MK dengan Presiden semakin kental terlihat oleh masyarakat," ucap Kurnia.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah bersiap berfoto bersama keluarganya setelah resmi menjadi hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/11/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Terlebih lagi, urgensi bagi MK agar dapat bertindak progresif menentang penyerangan inkonstitusional terhadap independensi MK dan tidak berlindung dibalik kewenangan tekstual undang-undang memiliki signifikansi historis.
ADVERTISEMENT
Kurnia mengulas bagaimana Supreme Court Amerika Serikat melalui putusan Marbury v. Madison pada tahun 1803 memutus bahwa mereka dapat memiliki kewenangan untuk menguji dan membatalkan undang-undang yang telah melanggar konstitusi.
Hal ini dilakukan atas dasar progresivitas hakim demi melindungi spirit konstitusi, tanpa ada kewenangan eksplisit dalam undang-undang untuk melakukan hal tersebut.
Di luar itu, Kurnia menyebut ada dua hal yang menjadi sorotan dari sikap Jokowi terhadap permasalahan pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi:
ADVERTISEMENT
"Betapa tidak, pada tanggal 5 Oktober 2022 lalu, Presiden sempat menyatakan keberpihakannya terhadap peraturan perundang-undangan menanggapi usulan DPR tersebut. Dengan argumentasi hukum yang diulas pada bagian sebelumnya, maka semakin terbukti Presiden tidak konsisten dengan ucapannya karena justru membenarkan seluruh langkah DPR," ucap Kurnia.
Koalisi menyatakan telah melaporkan persoalan ini kepada sejumlah entitas pengawas, seperti Mahkamah Kehormatan Dewan dan Ombudsman. Namun, alih-alih ditangani dan ditindaklanjuti, laporan dugaan pelanggaran etik Ketua Komisi III DPR RI dan tindakan malaadministrasi Pimpinan DPR malah dibiarkan begitu saja.
"Jadi, lengkap sudah pembiaran pelanggaran konstitusi ini dipertontonkan sejumlah lembaga negara," ungkap Kurnia.
Presiden Jokowi memimpin pengucapan sumpah Guntur Hamzah sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi menggantikan Aswanto, di Istana Negara, Rabu (23/11/222). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden

Kontroversi Pencopotan Aswanto

Kontroversi soal pergantian hakim MK ini diawali keputusan DPR mencopot Aswanto yang diketok dalam rapat paripurna pada Kamis (29/9), sebagai tindak lanjut keputusan Komisi III DPR. Pencopotan bermula dari surat MK ke DPR yang meminta konfirmasi perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi imbas berlakunya UU baru MK pada 2020.
ADVERTISEMENT
Dalam surat itu, MK menyebut ada 3 hakim konstitusi usulan DPR yakni Arief Hidayat, Aswanto, dan Wahidudin Adams, yang masa jabatannya bertambah sesuai UU baru yaitu berusia maksimal 70 tahun atau masa kerja maksimal 15 tahun.
Surat MK ke DPR itu menegaskan masa jabatan hakim MK diperpanjang seusai UU MK baru. Namun, surat dimanfaatkan Komisi III untuk mencopot 1 dari 3 hakim.
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) mengungkap alasan penggantian Aswanto karena kerap menganulir produk DPR, seperti UU. Meski Pacul tak mengungkap apa UU yang dimaksud.
"Ada surat dari MK, untuk mengkonfirmasi hakim-hakim yang diajukan oleh DPR. Begitu juga MA, lembaga yudikatif juga eksekutif. Nah, DPR anggap konfirmasi ini kita jawab aja dengan kita mau ganti orang," kata Pacul di Gedung DPR RI, Jumat (30/9).
ADVERTISEMENT
"Tentu mengecewakan dong [kalau diganti]. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu enggak sesuai direksi, owner ya gimana? Kan kita dibikin susah," jelas dia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan pergantian Aswanto sama dengan pemecatan. Namun, kata dia, pemecatan itu tidak sah karena menurut UU MK terbaru, Aswanto masih menjabat sebagai hakim hingga 2029.