Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Keberadaan pawang hujan di Nusantara merupakan fakta yang hingga kini sulit terelakkan. Kepercayaan kepada kemampuan semacam itu hampir ada di setiap daerah. Pertanyaan besarnya, sejak kapan pawang hujan mulai muncul dan dipercayai oleh masyarakat? tak ada jawaban pasti. Akan tetapi, eksistensi mereka bisa ditelusuri dari tradisi setiap daerah.
ADVERTISEMENT
Dalam cerita rakyat Betawi, misalnya, dahulu kala diyakini ada sepasang dewa-dewi yang diturunkan ke Bumi untuk memperbaiki kondisi alam yang tak seimbang. Mereka dikenal sebagai nenek dan aki Bontot. Pasangan tua itu mengajari manusia mengelola Bumi, mengenali tanda-tanda alam dan hewan, serta memperkenalkan dengan alam gaib.
Misalnya begini, jika kambing berbau prengus, kemungkinan besar saat musim hujan akan terjadi badai. Sementara, kalau ayam dalam kondisi tenang alias masih cekar-ceker, maka keadaan cenderung aman. Lalu, bila para ayam tampak gelisah, maka masyarakat disuruh membedah sawah mereka agar tidak terjadi banjir.
Cerita yang dituturkan secara turun menurun ini tetap lestari di tengah masyarakat Betawi. Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, kisah nenek dan aki Bontot juga menjadi dasar eksistensi dari profesi unik yang ada dalam masyarakat Betawi, yakni pawang hujan.
ADVERTISEMENT
“Yang begini sudah muncul jauh-jauh hari. Zaman Hindu-Budha, zaman sebelum Islam. Jadi sudah cukup tua ilmu perdukunan ini,” sebut Yahya kepada kumparan.
Di masyarakat Betawi, pawang hujan dibutuhkan di berbagai macam acara, seperti resepsi pernikahan, sunatan, dan perayaan hari-hari besar Islam. Dalam praktiknya, pawang hujan tidak menolak ataupun menghentikan hujan. Mereka hanya bisa memindahkan awan mendung dari satu tempat ke tempat lainnya.
Biasanya pawang hujan, dalam tradisi masyarakat Betawi, akan menggunakan doa-doa Islami dan beragam medium untuk memindahkan awan. Medium itulah yang dewasa kini dikenal oleh masyarakat sebagai sesajen.
“Sesajen-sesajen itu tetap ada seperti bekakak ayam, nasi kuning, bisong, ayam, telor bebek, telor ayam, kopi pahit, pisang raja. Kemudian kembang tujuh rupa, dan kue apem,” Yahya menyebutkan.
Dalam pemahaman masyarakat Betawi, pawang hujan tak melulu berasal dari kalangan ulama atau orang pintar. Semua orang bisa menjadi pawang hujan asal berikhtiar dan memahami ilmunya. Secara umum tak ada sebutan khusus bagi orang dengan kemampuan memindahkan hujan dalam tradisi Betawi.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, menurut Yahya, ada julukan khusus bagi pawang hujan untuk kebutuhan tertentu, yaitu dukun pangkeng. Mereka adalah perempuan paruh baya yang diminta menyukseskan sebuah resepsi pernikahan.
Dukun pangkeng biasanya menjalankan ritual dengan duduk di atas gerabah dalam satu kamar khusus. Ia tidak akan keluar sebelum resepsi pernikahan selesai. Dukun pangkeng punya kemampuan menjampi-jampi makanan agara tamu bisa menikmati makanan dan cepat kenyang.
“Dia mempunyai kewajiban juga untuk menyukseskan acara resepsi itu dengan cara membaca rapal-rapal untuk mengalihkan, memindahkan hujan ke lain tempat,” ungkap Yahya.
Tradisi mengendalikan hujan punya corak yang berbeda di masyarakat Jawa. Menurut budayawan Prapto Yuwono, di Jawa praktik memindahkan hujan lebih merupakan cerminan tradisi kolektif ketimbang personal. itu sebabnya istilah pawang hujan lebih populer digunakan di Jakarta dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
“Kalau orang Jawa itu bukan orang atau dukun, tetapi dia lihat primbon,” ujar Prapto kepada kumparan.
Dari primbon tersebut beragam tradisi kemudian berkembang di masyarakat Jawa. Prapto mencontohkan, di beberapa daerah perdesaan ada kebiasaan masyarakat yang masih melemparkan celana dalam perempuan ke atas genteng untuk menolak hujan. Selain itu, juga ada praktik menusuk cabai dan bawang untuk kemudian dilemparkan ke atas.
Cara-cara semacam itu tertera dalam primbon, sehingga masyarakat tinggal mengikuti panduannya. Tetapi, tidak sembarang orang langsung bisa mempraktikkan ritual tersebut. Ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu semisal tirakat, puasa, membersihkan jiwa, serta memberi sesajen
“Termasuk yang dilemparkan ke atas genteng itu sebenarnya sajen juga,” imbuh Prapto.
ADVERTISEMENT
Di dalam primbon juga sudah tertulis berbagai mantra untuk memindahkan hujan. Mantra ini dipercaya sebagai kesepakatan nenek moyang orang Jawa dengan makhluk dunia lain, khususnya roh alam.
“Ketika mantra itu dibacakan dia punya pengaruh. Sudah ada perjanjian nenek moyang kalau mantra ini dibacakan mereka akan membantu,” Prapto menjelaskan.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga mengenal orang-orang pintar yang dianggap bisa memindahkan hujan. Mereka adalah para sesepuh yang dimintai doa oleh orang-orang yang memiliki hajatan. Para sesepuh itu tidak perlu datang ke tempat acara.
“Karena dia punya mantra, punya doa. Kalau orang semacam itu khas kesaktiannya itu dari apa yang diucapkan dia itu punya pengaruh kepada alam,” tutur Prapto.
ADVERTISEMENT
Biasanya, mereka enggan meminta bayaran. Sebab, jika meminta upah kesaktian mereka akan dicabut oleh sang Maha Kuasa. Masyarakat Jawa, kata Prapto, punya kepercayaan kuat terhadap makhluk-makhluk gaib. Mereka yakin, makhluk yang tak kasat mata itu berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan manusia.
“Mereka punya hak (hidup). Dikasih sajen untuk komunikasi,” Prapto menegaskan.
Akan tetapi, lanjutnya, pada era serba modern manusia cenderung mengedepankan hitungan matematik dan meninggalkan hal-hal batiniah.
Meski begitu, Prapto menyebut masyarakat Indonesia belum sepenuhnya ‘modern’. Hal itulah yang kemudian menyebabkan beragam tradisi, seperti memindahkan hujan, tetap lestari hingga saat ini. Tak cuma di masyarakat Betawi atau Jawa, di berbagai tempat lain berlaku pula hal serupa. Sebagai contoh di Bali, masyarakat menggunakan jasa pawang hujan yang disebut Nerang Hujan. Sementara, di Riau pawang hujan dikenal dengan istilah Bomoh.
Kepercayaan tersebut cukup kuat mengingat sulitnya mengubah pola pikir masyarakat, terutama di perdesaan.
ADVERTISEMENT
“Mengubah pola pikir itu kalau dia masih irasional ya sudah irasional saja. Irasional tidak berpikir kan. Dia hanya melaksanakan adat istiadat saja. Seperti kebiasaan nenek moyang,” terang Prapto.
Ia berpendapat, 80 persen masyarakat Indonesia masih berpola pikir irasional. Sisanya adalah masyarakat perkotaan yang mulai mengedepankan rasionalitas. Prapto menganalogikan masyarakat Indonesia dengan seseorang yang kaki kirinya masih berpijak di alam pikir tradisional dan kaki kanannya belum sepenuhnya menapak ke modern.
“Harusnya ada kolaborasi. Kekuatan-kekuatan yang semacam ini, yang di batin tadi dibawa ke alam modern. Jadi imbang,” pungkas Prapto.
Simak konten spesial soal pawang hujan selengkapnya dalam topik Kisah Para Penghalau Hujan