Melihat Pengolahan Minyak Kayu Putih Milik Barend di Desa Suli, Maluku

28 April 2018 9:39 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barend tunjukkan ketel (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barend tunjukkan ketel (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
ADVERTISEMENT
Di sebelah timur Ambon, terdapat Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, yang menyimpan kekayaan minyak kayu putih melimpah. Pada Jumat (27/4) kumparan (kumparan.com) berkesempatan untuk mengunjungi tempat produksi minyak kayu putih yang dikelola oleh UD Sinar Kasih.
ADVERTISEMENT
Ditemani pemilik sekaligus pencetus UD Sinar Kasih, Barend Uspitany, kumparan diajak melihat tempat pengolahan miliknya yang berada di belakang pemukiman warga. Di lokasi pengolahan, terdapat empat buah ketel (mesin pendidih) berukuran hampir 2 meter yang digunakan untuk memanaskan daun kayu putih.
“Sebelum dipanaskan daun dikumpulkan dulu. Ada yang tiga jam sudah bisa kumpul sekarung atau dua karung,” ujar Barend.
Proses pengumpulan daun itupun tak sembarangan. Alih-alih dipetik, Barend menjelaskan bahwa daun diserut dari rantai dan batangnya. Cara ini dilakukan untuk menjaga kelestarian pohon.
“Jadi rantingnya tak pernah dipotong. Kalau sudah besar, baru saya suruh potong biar tambah rendah dan rimbun,” kata dia.
Barend tunjukkan menyerut daun kayu putih (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barend tunjukkan menyerut daun kayu putih (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
Selain itu, Barend menyebut bahwa satu ketel dapat memuat sampai 300 kilogram daun kayu putih. Bila dikalikan empat buah ketel, tiap harinya ia menggunakan 1.200 kilogram daun untuk produksi minyak kayu putih.
ADVERTISEMENT
“100 kilogram daun dapat menjadi satu botol minyak kayu putih ukuran 600 mililiter,” imbuhnya.
Setelah terkumpul, daun dipanaskan dalam ketel dengan api dari kayu bakar selama empat hingga lima jam. Usai dipanaskan, pipa di samping ketel mengeluarkan tetesan-tetesan minyak yang berasal dari daun kayu putih. Semua proses pengolahan ini dilakukan dalam waktu satu hari saja.
“Sehari 14 jam kerja. Sehari kerja bisa dapat tiga botol per ketel. Tapi kalo kami (ada) banyak pesanan, ya kami forsir,” jelas Barend,
Meski demikian, hasil produksi minyak kayu putih ini tidak pernah sama setiap bulannya. Seperti pada Januari lalu, UD Sinar Kasih dapat memproduksi hingga 73 botol. Sedangkan pada Februari, mereka hanya memproduksi 30 botol.
Barend tunjukkan saringan dalam ketel (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barend tunjukkan saringan dalam ketel (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
Selain bergantung pada kuantitas pemesanan, produksi minyak kayu putih juga bergantung pada cuaca. Bila masuk musim hujan, Barend menyebut produksi dapat terganggu. “Kalo musim hujan itu saat daunnya direbus kadang tidak keluar minyaknya,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Untuk kemasan botolnya sendiri, produk minyak kayu putih Barend dibagi dalam empat ukuran. Di antaranya, botol 40 mililiter, 150 mililiter, sampai 600 mililiter. Tiap ukuran dijual dengan harga yang berbeda, mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu.
Lebih lanjut, Barend juga memperhatikan faktor lingkungan dari produksi minyak kayu putihnya. Ia mengakali limbah daun kayu putih dengan menjadikannya pupuk untuk warga bercocok tanam. Bahkan, Barend mempersilakan warganya yang sedang sakit untuk ‘sauna’ di dalam ketel yang belum dibersihkan bekas minyaknya.