Memahami Polemik Presiden 2 Periode Menjadi Cawapres

15 September 2022 12:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi surat suara Paslon Capres dan Cawapres. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat suara Paslon Capres dan Cawapres. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Dasar mengatur bahwa seorang Presiden atau Wakil Presiden menjabat selama 5 tahun dan bisa dipilih untuk untuk jabatan yang sama untuk sekali masa jabatan. Artinya, maksimal masa jabatan untuk satu posisi ialah dua periode.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana bila Presiden setelah dua periode kemudian maju sebagai calon Wakil Presiden. Apakah memungkinkan?
Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berikut bunyinya:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, menyebut tak ada aturan secara eksplisit dalam aturan itu yang mengatur soal Presiden yang telah menjabat selama dua periode lalu mencalonkan diri sebagai Cawapres.
”Soal Presiden yang telah menjabat 2 periode lalu mencalonkan diri sebagai cawapres, itu tidak diatur secara eksplisit dalam UUD,” ujar Fajar kepada wartawan, Senin (12/9).
Juru Bicara MK, Fajar Laksono. Foto: Darin Atiandina/kumparan
Sehingga menurut Fajar, jika mengacu pada bunyi Pasal tersebut, tidak terdapat adanya larangan bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
”Secara normatif mau dimaknai 'boleh', sangat bisa. Secara etika politik dimaknai 'tidak boleh', bisa juga. Tergantung argumentasi masing-masing. Intinya, itu tidak ada aturan eksplisit di UUD,” terang dia.

Ditentang Pakar Hukum Tata Negara

Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie menolak pendapat Jubir MK yang menyebut presiden dua periode boleh menjadi cawapres. Jimly mengatakan pernyataan Fajar bukanlah putusan MK.
"Statement Humas MK bukan putusan resmi MK, jangan jadi rujukan. Staf pengadilan dilarang bicara substansi. Lagian isinya salah," ucap Jimly dikutip Kamis (15/9).
Anggota DPD Jimly Asshiddiqie menyampaikan pendapat saat mengikuti Sidang Paripurna DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Jimly mengatakan, UUD 1945 sudah mengatur presiden hanya menjabat selama 2 x 5 tahun. Sesudahnya tidak boleh lagi, termasuk jadi wapres.
"Jika setelah dilantik presiden meninggal, wapres langsung naik jadi presiden," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara, Denny Indrayana. Dia menyebut problem konstitusionalnya adalah jika Jokowi menjadi wapres (2024-2029), maka Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 soal wapres yang menggantikan presiden saat berhalangan, berpotensi tidak bisa dilaksanakan karena berarti Jokowi menjadi presiden lebih dari dua periode dan melanggar Pasal 7 UUD 1945.
"Secara hukum, yang bisa terjadi adalah jika periode pertama 5 tahun seseorang menjadi presiden, lima tahun kedua menjadi wapres, lalu 5 tahun ketiga dia menjadi presiden kembali," tutur Denny, Kamis (15/9)
"Faktanya, tidak ada seorang Presiden yang pada periode kedua mencalonkan diri sebagai wapres. Kalau ada, itu akan menjadi rekor, dan keajaiban dunia Ke-8," tegas eks Wamenkumham itu.
ADVERTISEMENT

PDIP-Gerindra: Mungkin Saja Jokowi Cawapres

Ketua Komisi 3 Bambang Wuryanto memberikan pernyataan saat konferensi pers di lantai 7, Fraksi PDI Perjuangan, Gedung Nusantara 1 Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (12/7/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto atau akrab disapa Bambang Pacul mengatakan, jika aturannya eksplisit hanya melarang presiden dua periode, maka Jokowi sangat bisa maju menjadi cawapres.
Namun, Jokowi harus mendapatkan dukungan parpol untuk maju sebagai cawapres.
"Kalau UU-nya begitu bahkan kalimatnya sangat bisa, ya sangat bisa. Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya sangat bisa. Tapi, syaratnya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol," kata Pacul di Gedung DPR, Senayan, Selasa (13/9).
Meski begitu, Pacul menuturkan bukan berarti PDIP membuka peluang mengusung Jokowi cawapres. Wacana itu kembali pada Jokowi dan Megawati.
"Bukan buka peluang aturan mainnya diizinkan, apakah peluang itu mau dipakai atau tidak? Kan, urusan Pak Presiden Jokowi," kata orang dekat Ketua DPP PDIP Puan Maharani ini.
ADVERTISEMENT
Senada, Waketum Gerindra Habiburokhman mengatakan kemungkinan Prabowo-Jokowi sebagai capres-cawapres bisa saja terjadi.
"Ya, kalau kemungkinan, ya, ada saja. Dan secara konstitusi, kan, dipertegas oleh MK. Tanpa putusan MK, kan, juga sudah jelas, bisa," kata Habiburokhman di Gedung DPR, Rabu (14/9).
Meski begitu, ia menuturkan penentuan capres-cawapres dari Gerindra, merupakan kewenangan Prabowo.
"Ya, kalau secara konstitusi memungkinkan. Tapi dalam konteks politik, ya, itu bukan kewenangan saya. Kewenangannya ada di Pak Prabowo kalau Partai Gerindra," tutur anggota komisi III DPR ini.

PSHK: Lawan Wacana Jokowi Cawapres

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim anggota memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengecam pernyataan Jubir MK yang membolehkan Jokowi menjadi cawapres, karena dinilai dapat membuka keran otoritarianisme dan menciderai nilai-nilai demokrasi.
"Publik perlu mengecam pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono yang menyatakan bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya. Selain melampaui mandat jabatannya sebagai Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, pernyataan itu berpeluang membuka keran otoritarianisme dan menciderai nilai-nilai demokrasi," kata PSHK dalam keterangannya, Rabu (14/9).
ADVERTISEMENT
Pembatasan masa jabatan presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi, 'Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan'. PSHK menilai, muatan Pasal 7 UUD 1945 memang bisa mengundang perdebatan.
"Namun, sejarah dan semangat perumusan pasal ini adalah untuk membatasi masa jabatan agar sirkulasi kepemimpinan nasional berjalan dengan baik. Sejarah Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah menunjukkan bahwa bermain-main dengan masa jabatan presiden telah melahirkan pemerintahan otoritarianisme yang menyangkal pemenuhan hak-hak dasar, baik kesejahteraan maupun hak-hak sipil," jelasnya.