Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
William “Bill” Ingraham Koch adalah contoh orang kaya betulan. Ayahnya, Fred Chase Koch, adalah pendiri raksasa bisnis penyulingan minyak, Koch Industries. Setelah tak lagi bekerja di perusahaan ayahnya, Bill mendirikan Oxbow, perusahaan induk pengembangan energi yang berbasis di Florida yang tak kalah suksesnya. Uang yang melimpah membuat Bill punya banyak cara menghabiskan uangnya, salah satunya dengan mengoleksi wine.
Bill sebenarnya punya banyak koleksi. Mulai dari model kapal, lukisan, patung, katana, hingga tank 42 Duster yang digunakan di Perang Vietnam. Saudara kembarnya, David, bahkan sampai mengatai rumahnya sebagai “museum” alih-alih tempat tinggal.
Dari segala koleksi, mungkin wine adalah—atau pernah—jadi favoritnya. Saking cintanya, Bill bahkan puya kamar mandi khusus bertema wine dengan susunan cork di langit-langit dan label botol di dinding. Bill adalah pembeli teladan di rumah-rumah lelang wine.
Dari 43 ribu botol di wine cellar rahasia miliknya, ada empat yang dulu selalu ia banggakan: botol-botol anggur milik bapak bangsa Amerika Serikat Thomas Jefferson. Awalnya ia hanya melihat botol itu dari Christopher "Kip" Forbes, vice-chairman Forbes. Begitu melihat, ia langsung jatuh cinta dan bertekad untuk mendapatkannya.
Benar saja, ia langsung menemukan empat botol Château Lafite Rothschild dengan ukiran nama Thomas Jefferson di botolnya. Satu botolnya diberi harga 100 ribu USD atau setara dengan Rp1,4 miliar (kurs November 2021). Bill langsung membeli keempatnya.
Bill begitu bangga dengan koleksi barunya itu. Cerita bahwa Thomas Jefferson pernah memegang botol itu dengan tangannya sendiri membuatnya merasa luar biasa. Tapi kebanggaannya runtuh seketika oleh sebuah telepon di tahun 2005.
“Aku punya kabar buruk untukmu,” kata seorang kurator dari Boston Museum of Fine Arts, tempat Bill hendak memamerkan koleksinya. “Semua botol-botol itu ternyata tidak ada hubungannya dengan Thomas Jefferson.”
Thomas Jefferson rupanya bukan tipe orang yang suka menandai botolnya. Lagipula, setelah diteliti, rupanya goresan di botol milik Bill bukan tanda tangan Thomas. Yang lebih parah lagi, selain empat botol itu, Bill juga menemukan satu botol Château Lafite Rothschild tahun 1737 di lumbungnya. Botol ini jelas palsu, sebab Rothschild baru mengakuisisi Château Lafite pada tahun 1868 atau seabad setelahnya.
Untuk mengurus masalah anggur palsu miliknya, Bill meminta Brad Goldstein, mantan jurnalis investigasi, untuk terbang ke Jerman dan melacak Hardy Rodenstock, orang yang mengaku menemukan botol wine Thomas Jefferson. Brad memang tidak berhasil menemui Hardy, namun ia menemukan seseorang yang mengaku membuat label palsu untuk Hardy selama bertahun-tahun.
Berbekal ini, Bill lalu melayangkan gugatan. Meski Hardy menolak datang ke Amerika Serikat untuk menjawab gugatan itu, namun Bill tetap menang dan berhak mendapat ganti rugi lebih dari 1 juta USD yang sampai sekarang belum dibayar.
Namun masalah tak selesai di situ. Bill lalu meminta Brad untuk mencari tahu, seberapa parah penyakit di lumbung anggur rahasianya itu. Siapa tahu, yang palsu bukan cuma botol-botol anggur yang ia beli dari Hardy saja.
Dan benar saja. Ada sekitar 400 botol anggur palsu yang ada di wine cellar milik Bill. Wine-wine itu ia beli dengan harga lebih dari 4 juta USD. Dan lebih dari setengahnya berasal dari seorang penjual anggur di Los Angeles bernama Rudy Kurniawan.
Anggur-Anggur Burgundy
Tujuh ribu lima ratus kilometer dari Bill, Laurent Ponsot baru saja menerima katalog dari rumah lelang Acker Merall & Cordit edisi April 2008. Laurent bukannya ingin membeli anggur. Ia tertarik dengan katalog rumah lelang di New York itu karena di halaman khusus Domaine Ponsot tertera produk Clos de la Roche 1929.
Laurent, yang mewarisi Domaine Ponsot—pabrik wine terkemuka di Burgundy, Prancis, itu langsung menyadari kejanggalannya. Ia tahu betul, perusahaan keluarganya baru memulai pembotolan pada tahun 1934. Bagaimana mungkin perusahaan yang baru memulai produksi anggur tahun 1934 bisa mengeluarkan produk berlabel tahun 1929?
Botol-botol di halaman selanjutnya juga palsu. Ponsot tak pernah menggunakan segel lilin seperti yang tercetak di halaman katalog. Mereka juga tak pernah menjual anggur ke toko spesialis wine asal Prancis, Nicolas—seperti yang tertera pada keterangan botol di katalog Acker Merall. Belum lagi label vintage yang letak desainnya tak sesuai dengan aslinya. Laurent yakin, semua wine—paling tidak yang membawa merek Domaine Ponsot—yang ditawarkan Acker Merall & Cordit adalah palsu.
Dua hari setelah menerima katalog itu, Laurent langsung terbang ke New York. Dia ingin semua anggur Domaine Ponsot palsu yang ditawarkan oleh John Kapon, juru lelang Acker Merall & Cordit ditarik. Menariknya, John Kapon rupanya juga tercatat sebagai ahli wine yang memberikan skor 99 untuk semua wine Domaine Ponsot palsu yang ditawarkan.
Acker Merall & Cordit awalnya hanya rumah lelang kecil. Ia lebih dikenal sebagai toko wine yang didirikan pada 1820 dan dikelola oleh tiga generasi. Di tangan John Kapon, si generasi ketiga, dan temannya, Rudy Kurniawan, Acker Merall & Cordit melejit jadi rumah lelang terbesar dengan profit terbesar di dunia.
Hari pelelangan pun tiba. Di tengah lelang, Laurent tiba-tiba berdiri dan mengacungkan tangan. “Tarik semua anggurku.”
John Kapon yang berdiri di meja juru lelang mengusap keringat di wajahnya dengan gelisah. Ia lalu mengumumkan telah menarik semua wine Ponsot dari lelang, sesuai permintaan Laurent. Lelang lalu berlanjut kembali. Di akhir lelang, Laurent mendatangi John Kapon untuk menanyakan siapa pemilik semua anggur palsu tersebut.
Jawabannya: Rudy Kurniawan.
Memburu Wine Palsu Rudy Kurniawan
Sehari setelah pelelangan, Laurent bertemu Rudy di restoran Prancis, Jean-Georges. Tentu saja Rudy berkilah saat ditanya soal asal muasal anggur palsu yang ia lelang di Acker Merall. Menurut Rudy, ia hanya membeli anggur dan menjualnya kembali. Jadi dia juga tidak tahu jika anggur itu palsu dan berjanji akan membantu Laurent menemukan asal anggur palsunya.
Satu setengah bulan kemudian, Laurent mendapatkan pesan dari Rudy. Botol-botol anggur palsu itu berasal dari Jakarta dan dijual oleh seseorang bernama Pak Hendra. Laurent lalu kembali terbang ke Los Angeles untuk menemui Rudy, dan mendapatkan dua nomor telepon dari Rudy: (021) 63798000 dan (021) 63858888.
Bard Goldstein, yang diminta oleh Bill untuk menyelidiki Rudy, mencoba menelusuri kedua nomor tersebut. Hasilnya, salah satu nomor terhubung dengan maskapai penerbangan Lion Air; yang satunya adalah nomor kantor Mal Gajah Mada, Jakarta Barat. Keduanya tentu jauh dari kesan “kolektor wine” seperti yang digambarkan Rudy soal sosok Pak Hendra.
Orang-orang Brad mengetuk satu per satu pintu rumah dan toko yang ada di sepanjang Jalan Gajah Mada. Tapi tak ada satu pun yang pernah mendengar nama Rudy Kurniawan atau keluarganya.
Di sisi lain, Laurent memutuskan berpetualang ke Hongkong, Singapura, dan Taipei untuk mencari tahu soal “Pak Hendra” yang disebut-sebut oleh Rudy. Ia yakin, orang-orang kaya Jakarta suka melancong ke Singapura dan Taipei, jadi ia bisa mudah menemukan Pak Hendra.
“Do you know Mr. Pak Hendra?” tanya Laurent ke beberapa orang kaya Indonesia kenalannya di Taipei.
Tak butuh waktu lama bagi Laurent untuk menyadari bahwa perjalanannya ke Asia akan berujung sia-sia. Ia akhirnya sadar, Pak berarti “Mr.”, dan Hendra adalah nama yang pasaran di Indonesia. Mencari Pak Hendra sama susahnya seperti mencari Mr. Smith tanpa nama depan.
Menangkap Rudy
Di awal 2012, FBI mulai menggali informasi tentang Rudy dari teman-teman dekatnya. Termasuk sutradara dan penulis Jefery Levy. Jefery sempat memperingatkan Rudy soal ini, namun peringatannya hanya direspons sambil lalu.
Tanggal 8 Maret 2012, sejak pukul lima pagi personel FBI mulai merapat ke rumah Rudy di Arcadia, California. Garis polisi sudah dipasang. Awalnya mereka ingin menangkap Rudy secara baik-baik. Pintu rumah mewah itu beberapa kali diketuk, tapi tak ada jawaban. Mereka sudah mencoba berteriak juga, tetap nihil.
“Get the lamb!” seru pemimpin tim seperti yang ditirukan oleh anggota FBI James Wynne.
Belum juga pintu didobrak, Rudy Kurniawan keluar dari rumahnya. Wajahnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Dalam rumahnya berantakan. Botol-botol wine ada di mana-mana, kotak-kotak kayu pun ditumpuk di setiap sudut ruangan.
Di dapur, ada beberapa botol wine yang sedang direndam di dalam bak cuci dan siap diambil labelnya. Botol lainnya tergeletak di atas meja dengan tulisan-tulisan resep di permukaannya. Belum lagi, ada beberapa kertas yang berisi catatan revisi label yang harus dilakukan. Semua yang dibutuhkan untuk membuat anggur palsu ada di rumah Rudy.
Sidang Rudy Kurniawan dimulai sejak 8 April 2013 dan menjadi sidang kasus pemalsuan wine pertama di AS. Pada 2014, pengadilan New York menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda $28,4 juta kepada Dr. Conti—julukan Rudy di kalangan teman-temannya—karena terbukti membuat dan mengedarkan anggur palsu.
Selama persidangan, Rudy selalu tutup mulut saat ditanya soal keterlibatan orang lain di kasus ini. Padahal, Laurent Ponsot, sebagai pembuat wine, yakin betul Rudy tak bekerja sendiri. Untuk memalsukan satu botol wine saja dibutuhkan waktu sekitar satu jam, yang artinya butuh waktu belasan ribu jam bagi Rudy untuk menjalankan bisnisnya sendirian. Tentu saja ini hal yang mustahil. Dengan siapa Rudy bekerja?
Masalah lainnya, korban Rudy tak cuma Bill Koch yang kadung membayar jutaan dolar AS untuk membeli 219 anggur palsu, atau Laurent Ponsot yang integritas usaha keluarganya dipertaruhkan, atau malah rumah lelang Acker Marrell & Condit yang reputasinya tercoreng.
The Drink Bussiness—majalah bulanan pecinta wine dan bir—menduga ada 12 ribu botol wine palsu produksi Rudy Kurniawan yang disimpan di seluruh dunia. Dan pakar autentikasi wine, Maureen Downey, menaksir paling tidak nilai botol-botol palsu itu bisa mencapai $550 juta. Dan tak pernah ada yang benar-benar tahu, mana saja wine asli dan mana wine Rudy Kurniawan.
Rudy Kurniawan memang sudah diadili, bahkan telah menjalani masa hukumannya dan dideportasi ke Indonesia. Tapi sosoknya yang misterius masih menjadi tanda tanya, bahkan bagi orang-orang terdekatnya dulu di Amerika Serikat. Siapa sebenarnya Rudy Kurniawan?