Menebar Hoaks di Awal Tahun Politik

15 Maret 2018 14:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Indonesia darurat hoaks. Belum lama ini, publik dibuat resah dengan kabar bohong tentang penyerangan ulama yang katanya dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia.
ADVERTISEMENT
Isu itu mencuat setelah pada akhir Januari, KH Umar Basri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah di Kabupaten Bandung, diserang hingga babak belur oleh seorang yang menderita gangguan jiwa.
Beberapa hari berselang, ustaz lain di Kota Bandung, Ustaz Prawoto, diserang oleh tetangganya sendiri yang juga mengalami gangguan jiwa. Kali ini sang ustaz dianiaya sampai tewas.
Kedua kasus penyerangan itu segera menjadi sorotan. Namun, isu berkembang jadi liar. PKI disebut tengah bangkit dan berada di belakang insiden-insiden penyerangan tersebut.
Izin melaporkan Assalamualaikum.. Mohon kita waspada bahaya PKI sudah sampai ke daerah kita. Informasi dari istri saya Kejadian siang ini di Kampung Gudang RT 01/02 Kel. Karang Satria Kec. Tambun Utara. Korban Ustadz Ridwan Syakir. Beliau sedang sakit, kedatangan 2 tamu yang tak dikenal, namun beberapa lama kemudian beliau diboyong paksa oleh 2 orang tadi, tapi istrinya langsung teriak, gak lama kemudian tetangga langsung menghajar mereka. Sekarang pelaku diamankan di BKPM Karang Satria. Dua orang tadi bawa tas dan di dalam tasnya ada celurit dan golok dan nama-nama ustadz yang akan menjadi sasaran mereka Insya Allah kita semua dalam perlidungan Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Baris-baris kalimat di atas merupakan contoh hoaks yang mudah ditemukan di media-media sosial macam Facebook atau grup Whatsapp. Posting-an tersebut telah diverifikasi oleh akun Indonesian Hoaxes--laman yang bergiat memverifikasi berita atau kabar hoaks--sebagai kabar bohong. Sayangnya, hoaks itu kadung dibagikan 17.937 kali. Luar biasa cepat.
Padahal, kejadian sebenarnya, seperti dikutip dari Indonesian Hoaxes yang telah dikonfirmasi oleh Kapolsek Tambun, Bekasi, adalah seperti ini:
Ustaz Ridwan Syakir didatangi oleh dua orang pria yang mengajukan proposal permintaan dana. Namun Ustaz Ridwan menolak permintaan mereka, dan salah seorang pria lantas berteriak menyumpahinya. Istri sang ustaz yang mendengar sumpah serapah itu kemudian berteriak-teriak, mengundang tetangga datang. Selanjutnya, massa menggiring kedua pelaku ke Polsek Tambun, Bekasi.
ADVERTISEMENT
Kejadian yang mungkin sepele, tapi karena dipelintir, berpotensi berdampak besar. Dan itu baru satu kasus kabar bohong berupa pemelintiran fakta. Tentu ada kasus lain.
Dalam sebuah video yang beredar di Youtube misalnya, tampak segerombolan orang mengerubung seorang pria. Pria kurus itu berjongkok, berada di tengah-tengah massa. Kedua tangannya bersedekap, menutupi dadanya yang tak berbaju. Wajahnya sering kali merunduk. Ia terlihat ketakutan.
Orang-orang yang mengelilinginya berkali-kali bertanya dengan nada mengancam kepada lelaki itu, “Kamu PKI ya? Ngaku aja.”
Ketika bogem mentah mendarat di wajah si pria, seketika dia menjawab lirih, “Iya, PKI bener, PKI”.
Seorang pemuda yang sedari awal getol menanyai sekaligus menganiaya lelaki kurus itu, kembali berseru galak, “Jawab yang tegas: PKI ya?”
ADVERTISEMENT
Ditanya dengan nada membentak, pria kerempeng itu langsung menjawab, kali ini tegas, “PKI”.
“PKI mana?” kata si pemuda. “Pekanbaru, PKI Pekanbaru,” jawabnya.
Seorang di antara massa bertanya lagi, “Pekanbaru mana?” Si lelaki ceking kembali menjawab, “Nanggung.” Ia ditanya lagi, “Nanggung mana? Bogor?”
Lelaki nahas menjawab, “Cibeber.” Sungguh tak jelas. Sebab Nanggung ialah sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor, dan nama Cibeber bahkan terdapat di tiga daerah--Cianjur, Cimahi, dan Lebak. Jauh dari Pekanbaru yang menyeberang pulau.
Tapi orang-orang yang berkerubung itu terus mengulang-ulang pertanyaan soal PKI, sembari menganiaya si pria yang tiada berdaya.
Belakangan, terkuak bahwa lelaki yang mengaku anggota PKI Cabang Pekanbaru itu sebetulnya orang gila. Saat itu, ia sedang berada di Kampung Dayeuh, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Ia ditangkap sekelompok pemuda yang sedang ronda mala, dianiaya, dipaksa mengaku PKI, dan direkam.
ADVERTISEMENT
Saat ini keenam penganiaya yang merekayasa adegan dalam video tersebut telah ditahan oleh Kepolisian Bogor. Sementara video mereka viral dan berhasil menyebarkan ketakutan.
Pengungkapan jaringan MCA oleh Bareskrim Polri. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Beberapa pekan kemudian, aparat Kepolisian membekuk jaringan produsen sekaligus penyebar berita palsu, Muslim Cyber Army. Kelompok ini diduga kuat menjadi otak di balik kabar hoaks yang beredar kencang di media sosial.
Di Mabes Polri, Senin (5/3), Kepala Satuan Tugas Nusantara Polri Irjen Gatot Eddy Pramono menyatakan, dari 45 kasus penyerangan ulama, 42 di antaranya berita palsu alias hoaks. Itu berarti, sampai saat itu, hanya ada tiga kasus penyerangan ulama yang dilakukan oleh orang gila.
Pertama, kasus yang menimpa KH Umar Basri di Kabupaten Bandung. Kedua, tewasnya Ustaz Prawoto di Kota Bandung. Ketiga, penyerangan terhadap KH Hakam Mubarok di Lamongan. Dan kini jumlah itu genap empat dengan satu kasus tambahan di Depok, yakni penusukan Ustaz Abduh Rahman.
ADVERTISEMENT
Gatot mengatakan, Kepolisian tak menemukan indikasi bahwa rentetan kejadian tersebut merupakan upaya konspirasi yang didesain pihak tertentu. Namun, hoaks menyebar seolah ada perencanaan matang di balik itu semua.
Hoaks disebar oleh eks Saracen dan Muslim Cyber Army, dengan motif politik. Tujuan mereka, berdasarkan penelusuran Tim Siber Mabes Polri, ialah untuk “mengganggu pemerintahan yang sah” dan memunculkan konflik sosial sehingga tampak seolah-olah “pemerintah tidak bisa mengelola negara.”
Pengamat intelijen Stainslaus Riyanta sepakat dengan Gatot. “Itu kasus-kasus kecil, terpisah. Tapi diperbesar oleh propaganda (di media sosial). Ada kepentingan politik identitas yang tujuannya adalah untuk menggalang massa,” ujarnya, Minggu (4/3).
Meski begitu, Stanislaus tak menihilkan kemungkinan peran kelompok lain sebagai aktor utama atau dalang di balik fenomena itu. Bukan tak mungkin tengah terjadi gerakan intelijen versus kontraintelijen.
ADVERTISEMENT
“Kalau orang yang tahu intelijen kemudian memperkeruh suasana, mungkin-mungkin saja.”
Menurutnya, dengan melimpahnya literasi intelijen, belajar soal intelijen sampai melakukan kegiatan dengan teknik intelijen, bisa dilakukan.
Sementara Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak memandang fenomena penyerangan ulama oleh orang gila tampak didesain secara sistematis.
“Ada upaya yang sistematis untuk mengakumulasikan kemarahan umat. Jadi justru yang tersudutkan nanti adalah umat Islam,” katanya kepada kumparan, Selasa (27/2).
Produksi Hoaks di Media Sosial (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Hoaks tak bisa dianggap remeh di Indonesia yang sebagian rakyatnya sudah begitu keranjingan media sosial. Laporan Statista per Januari 2018 menunjukkan, angka pengguna Twitter di Indonesia terus meningkat. Dari 16,8 juta pengguna pada 2016 menjadi 18,9 juta pengguna pada 2017.
Terlebih lagi Facebook yang digunakan oleh sekitar 130 juta rakyat, atau hampir separuh populasi Indonesia. Juga WhatsApp, aplikasi berkirim pesan yang juga sering menjadi medium penyebar hoaks, digunakan oleh setidaknya 40 persen populasi Indonesia.
Statistik Pengguna Facebook di Indonesia (Foto: Statista)
Media sosial adalah tempat penyebaran hoaks yang ideal. Menurut hasil studi ilmuwan Massachusetts Institute of Technology, Soroush Vosoughi, penyebaran berita palsu di media sosial jauh lebih cepat dibanding penyebaran berita yang benar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian Vosoughi, ketika berita benar hanya dapat menjangkau 1.000 orang, berita palsu (hoaks) mampu menjangkau 10.000 orang.
Agus Sudibyo, Direktur Indonesia New Media Studies, tak memungkiri media sosial telah menjadi ruang publik yang rentan penyebaran hoaks. Ini terjadi karena “di saat media sosial perlahan menggeser posisi media konvensional sebagai arena pertarungan politik, media sosial berjalan tanpa aturan hukum dan etika yang jelas.”
Itu, imbuhnya, berbeda dengan media konvensional seperti media jurnalistik yang punya seperangkat aturan dan kode etik sebagai panduan.
Hoaks dan Politik Identitas
Politik identitas sedang menemukan momentumnya. Di Amerika Serikat, sentimen primordial anti-Islam dan antiimigran, yang disertai penyebaran hoaks dengan intensitas masif, berhasil menaikkan seorang demagog macam Donald Trump ke tampuk kekuasaan. Sentimen itu pula yang berhasil meningkatkan pamor partai-partai ekstrem kanan di Eropa.
ADVERTISEMENT
Pola semacam itu pun terlihat sedang digunakan di Indonesia untuk kepentingan politik menjelang momen penting Pemilihan Presiden 2019.
Ragam desas-desus yang berembus di jagat maya, menurut Stainslaus, “adalah upaya pihak tertentu untuk menciptakan narasi tentang adanya musuh bersama.”
Penyebaran hoaks, ujar peneliti politik LIPI Wasisto Raharjo Jati, bisa jadi untuk memicu keresahan publik dan menurunkan kredibilitas pemerintah.
Dari Mana Datangnya MCA? (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Aktivis SAFEnet, Damar Juniarto, Kamis (8/3), berpendapat jaringan Muslim Cyber Army ingin mengulang keberhasilan memainkan sentimen politik identitas di Pilkada DKI Jakarta 2018 dalam Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Presiden 2019 nanti.
Bahkan, Damar melihat, jaringan ini sedang berupaya untuk, “menjatuhkan Jokowi sebagai presiden sehingga dia tidak maju sebagai calon presiden di 2019.”
ADVERTISEMENT
Selama ini, politik identitas memang manjur digunakan untuk menghancurkan elektabilitas figur politik, tak peduli apakah sosok itu berprestasi atau tidak. Ditilik dari sudut pandang masyarakat yang menjunjung tinggi budaya meritokrasi, fenomena macam itu adalah sebuah anomali.
Anomali seperti itu pernah dialami mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kala itu, publik Jakarta tampak cukup puas dengan kinerja pemerintahannya. Gambaran yang ditunjukkan lewat survei Indikator Politik yang digelar 15-22 November 2016 menunjukkan, 65 persen dari 800 responden yang warga Jakarta puas atas penanganan banjir, 72 persen puas atas penanganan sampah, 75 persen puas atas biaya pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, dan 57 persen puas atas kondisi pemerintahan.
Namun, masih berdasarkan survei tersebut, elektabilitas Ahok terus merosot. Berbagai faktor, termasuk sentimen primordial yang menguat, tak dapat menyelamatkan Ahok hingga ia akhirnya kalah dalam pilkada, dengan jumlah pemilih ‘hanya’ 42,04 persen.
Wasisto Raharjo Jati. (Foto: Instagram @warjati)
Wasisto melihat, meningkatnya sentimen politik identitas tak dapat dinafikan dari kalkulasi politik seorang figur yang ingin bertarung di kontestasi elektoral. Bahkan, untuk figur yang punya catatan prestasi mengesankan sekalipun.
ADVERTISEMENT
“Tidak selamanya yang namanya merit system itu berkesinambungan dengan peningkatan elektabilitas. Justru ada faktor-faktor tertentu yang tidak dapat dinafikan dalam politik di Indonesia, misalnya politik identitas. Jadi sebaik apapun figur politik itu, bisa saja jatuh karena faktor identitas,” kata dia, Selasa (13/3)
Anomali politik semacam itu akan semakin manjur digunakan apabila dibumbui dengan berita-berita hoaks yang menyeret nama si figur politik.
Dengan menjejali publik lewat berita hoaks, elektabilitas figur politik di mata publik akan cenderung turun. Terlebih, kata Wasisto, mayoritas pemilih di Indonesia ialah massa mengambang, yakni orang-orang yang preferensi politiknya labil, dan tidak lagi ditentukan oleh ideologi.
Kondisi ini membuat berita hoaks di media sosial efektif digunakan untuk memengaruhi pola perilaku pemilih.
ADVERTISEMENT
Yang paling parah, Wasisto melihat hoaks tampaknya sengaja dipelihara, dilanggengkan, bahkan dikembangkan untuk membuat masyarakat saling curiga dan menyimpan friksi satu sama lain. Tujuannya, menurut dia, tak lain tak bukan adalah untuk mengendalikan sisi emosionil massa agar tetap loyal pada kekuatan politik tertentu.
Tanpa keseriusan dalam menangkal gelombang kabar bohong yang tak kunjung surut, entah akan seperti apa negeri ini di masa depan.
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.