Menelusuri Klaim Keraton Agung Sejagat soal Majapahit

15 Januari 2020 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raja dari Keraton Agung Sejagat adalah Totok Santoso Hadiningrat alias Sinuhun saat prosesi kirab Foto: Twitter/@aritsantoso
zoom-in-whitePerbesar
Raja dari Keraton Agung Sejagat adalah Totok Santoso Hadiningrat alias Sinuhun saat prosesi kirab Foto: Twitter/@aritsantoso
ADVERTISEMENT
Kemunculan Kerajaan Keraton Agung Sejagat mengegerkan warga Purworejo, Jawa Tengah. Kerajaan baru ini dipimpin raja bernama Toto Santoso alias Sinuhun. Ia didampingi seorang ratu, Dyah Gitarja, yang merupakan istrinya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Kami muncul untuk menunaikan janji 500 tahun runtuhnya Kerajaan Majapahit di tahun 1518,” ujar Sinuhun, Minggu (12/1/2020), kepada Tugu Jogja, partner 1001 media kumparan.
Janji itu, kata Sinuhun, dibuat oleh penguasa terakhir Majapahit bernama Dyah Ranawijaya dengan Portugis. Menurut dia, ketika kekaisaran Portugis berakhir, maka berakhir pula kekuasaan orang Barat di bumi. Karena itu, kekuasaan harus dikembalikan ke Keraton Agung Sejagat.
Lalu, benarkah klaim tersebut?

Soal Dyah Ranawijaya

Berdasarkan dua sumber utama teks sejarah Majapahit, yakni Nagarakretagama dan Pararaton, tidak ada nama Dyah Ranawijaya dalam daftar raja-raja Majapahit. Disebutkan, bahwa penguasa terakhir Majapahit bernama Singhawikramawardhana yang berkuasa pada 1466-1478.
Sementara itu, dalam A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (2001) karya Ricklefs, Majapahit disebut mengalami kemunduran setelah Hayam Wuruk wafat pada 1389. Kerajaan itu bahkan sempat mengalami krisis suksesi kekuasaan di pertengahan abad 15. Akibatnya, tak ada raja selama 3 tahun berturut-turut pasca pemerintahan Rajasawardhana (1451-1453).
ADVERTISEMENT
“Rumah tangga Majapahit saat itu terpecah menjadi dua cabang, kemudian ketegangan dan konflik di antaranya agaknya berlangsung hingga 1480-an,” tulis Ricklefs.
Usai kekosongan kekuasaan itu, ada dua raja yang naik takhta. Yakni, Raja Girisawardhana (1456–1466) dan Raja Singhawikramawardhana (1466–1478).
Relief Majapahit di Monas Foto: Wikimedia Commons
Namun setelahnya, sejarah detail Majapahit dianggap Ricklefs kurang begitu jelas. Itu karena, sumber-sumber informasinya bukan dari Nagarakretagama dan Pararaton. Sumber-sumber di luar itu, menurutnya, dipertanyakan keabsahannya karena mengandung mitos dan supernatural.
Nah, dari sumber lain itulah nama Dyah Ranawijaya sempat disebut sebagai raja selanjutnya. Menurut Ricklefs, Dyah berusaha menegakkan kembali trah Kerajaan Majapahit (atau cabang dari kerajaan yang sebelumnya telah terbelah) pada tahun 1486.
Dyah Ranawijaya memimpin dengan gelar Girindrawardhana. Di era kepemimpinannya, ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kediri.
ADVERTISEMENT
“Beberapa waktu antara tahun 1486 dan masa Tomé Pires atau Portugis (1512-1515), pusat kerajaan Hindu-Budha dipindahkan dengan alasan tertentu ke Kediri (Daha); apakah masih di bawah dinasti Majapahit, tidak pasti,” terang Ricklefs.
Ricklefs menambahkan, nasib negara Hindu-Budha berada dalam keadaan runtuh tingkat lanjut. Penyebabnya, konflik internal dan terancam oleh negara-negara baru yang muncul di pesisir pantai yakni Kerajaan Demak.
Dalam The History of Java yang ditulis Thomas Stamford Raffles, Majapahit memang telah diruntuhkan Kerajaan Demak pada 1.400 saka atau sekitar 1475 masehi. Namun, data itu masih menjadi perdebatan di antara para ahli sejarah.
Candi Tikus peninggalan Kerajaan Majapahit di Mojokerto Foto: Shutter Stock
Misalnya, arkeolog Hasan Djafar dalam buku Masa Akhir Majapahit menyebut, tahun 1.400 saka lebih masuk akal ditafsirkan sebagai peristiwa penyerangan untuk merebut takhta Majapahit oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
ADVERTISEMENT
“Dalam penyerangan itu, Bhre Krtabhumi gugur di kadaton dan Ranawijaya sebagai pewaris sah berhasil menguasai kembali Majapahit,” kata Hasan mengutip historia.id.
Sementara, antara 1518 dan 1521 ada pergeseran kekuasaan politik Majapahit ke Adipati Unus yang menguasai Demak. Di rentang waktu tersebut itulah dianggap sebagai keruntuhan Majapahit.
“Dengan demikian, pada 1518 untuk sementara dianggap sebagai saat keruntuhan Majapahit,” ujar Hasan.
Lambang Majapahit. (Foto: Gunawan Kartapranata/Wikimedia Commons)

Seputar Perjanjian dengan Portugis

Nama Dyah Ranawijaya sebagai penguasa terakhir Majapahit sebelum keruntuhannya memang muncul di berbagai literatur. Namun, apakah benar ia melakukan perjanjian dengan Portugis sebagaimana disebutkan Sinuhun, Raja Kerajaan Keraton Agung Sejagat?
Sejarawan dan Peneliti Arkeologi di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kemendikbud, Bambang Budi Utomo mengatakan, Majapahit tak pernah bersinggungan dengan Portugis. Selain itu, Majapahit juga tak lagi meneruskan trah kerajaan setelah berdirinya Kerajaan Demak.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada tuh, Portugis enggak pernah urusan ke sana (Majapahit). Portugis itu bikin perjanjiannya itu dengan Kerajaan Sunda. Itu prasastinya ada di Museum Nasional (Republik Indonesia), Patrao namanya,” terang Bambang kepada kumparan, Selasa (14/1).
Bambang Budi Utomo, Peneliti Arkeologi di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dalam Prasasti Patrao, Kerajaan Sunda dan Portugis menjalin kesepakatan perdagangan. Tepatnya, terkait konsesi dagang di wilayah Batavia.
Menurut Bambang, Portugis tak pernah melakukan perjanjian politik di Nusantara, kecuali untuk urusan perdagangan, penguasaan rempah, atau penyebaran agama Katholik.
Bisa jadi, orang mengira klaim perjanjian Majapahit dengan Portugis ini ada hubungannya dengan Perjanjian Tordesillas dan Zaragosa, perjanjian antara Spanyol dan Portugis yang membagi bumi menjadi dua wilayah kekuasaan. Sebab, Perjanjian yang dibuat kala Majapahit di ambang keruntuhan ketika kepemimpinan Dyah Ranawijaya.
Suasana Keraton Agung Sejagad di Purworejo, Jawa Tengah. Foto: Dok. Hiya Fadhilatul Ulya
Namun, Bambang mengatakan, perjanjian tersebut sama sekali tak berkaitan dengan Majapahit. Perjanjian itu murni dibuat antara Portugis dan Spanyol yang difasilitasi Paus dari Vatikan.
ADVERTISEMENT
“Pada akhirnya (karena perjanjian itu), Portugis menyingkir ke Adonara di Flores, sampai ke situ. Itu kan di situ mereka bikin benteng Portugis, dia itu enggak main-main ke Jawa Timur apalagi ke Majapahit,” katanya.

Prasasti Keraton Agung Sejagat

Sebuah batu besar yang diklaim sebagai prasasti Keraton Agung Sejagad di Purworejo: Dok. Hiya Fadhilatul Ulya
Di sekitar Istana Keraton Agung Sejagat tampak sebuah batu besar. Bagian bawahnya pipih membulat, sedangkan atasnya berbentuk meruncing seperti prisma. Batu itu diklaim sebagai prasasti Keraton Agung Sejagat.
Menurut pengamatan Bambang, prasasti itu merupakan prasasti buatan yang mirip dengan prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang dikeluarkan Raja Purnawarman. Sebab, bentuknya runcing di atasnya dan ada cap tapak kaki. Beda dengan karakteristik prasasti Majapahit.
“Prasasti Majapahit itu sama sekali enggak menggambarkan telapak kaki itu. Dan itu prasasti baru, saya yakin itu baru. Baru dibikin sama dia (raja) untuk legitimasinya. Bukan temuan sejarah,” ujar Bambang.
ADVERTISEMENT